Menu Close
Dua partai progresif terkemuka harus membentuk pemerintahan koalisi - sebuah tugas yang dapat dipersulit oleh partai-partai yang bersekutu dengan militer.

Pemilu Thailand 2023: akankah demokrasi hidup kembali di Thailand dan apa saja tantangannya?

Terakhir kali para pemilih pergi ke tempat pemungutan suara di Thailand adalah pada tahun 2019, setelah lima tahun berada di bawah kediktatoran militer yang represif. Para pemilih di Thailand dengan gugup menyuarakan aspirasi demokratis mereka dan membiarkan pemerintah dipimpin militer.

Sekarang, setelah berada di bawah parlemen demokratis selama empat tahun demokrasi, para pemilih Thailand akhirnya bersuara. Dengan hampir semua suara telah dihitung dalam pemilihan parlemen hari Minggu, mereka telah dengan tegas menolak kepemimpinan junta dan partai-partai proksi militer penggantinya.

Partai paling progresif di Thailand,_ Move Forward_, tampaknya akan mendapatkan kursi terbanyak di parlemen baru. Di belakangnya ada partai Pheu Thai yang lebih mapan dan juga liberal dari dinasti Shinawatra yang terpecah belah.

Berada di posisi ketiga adalah Bhumjaithai. Partai yang berbasis di pedesaan dan lebih tradisional dalam politik patronase ini baru-baru ini menjadi mitra koalisi pemerintah sebelumnya.

Jauh di belakang, di tempat keempat dan kelima, ada dua partai proksi militer: Palang Pracharat, yang dipimpin oleh mantan wakil perdana menteri dan kepala angkatan darat Prawit Wongsuwan, dan United Thai Nation, yang dipimpin oleh Perdana Menteri saat ini Prayuth Chan-ocha, pemimpin kudeta tahun 2014.

Apakah ini akan menjadi awal dari era demokrasi?

Hasil ini mencerminkan dorongan besar di belakang Move Forward yang memenangkan setengah dari jumlah kursi yang diperoleh pada pemilu 2019. Sekarang, Move Forward tampaknya akan merebut semua kecuali satu dari 33 kursi parlemen di Bangkok yang di masa lalu dipandang sebagai kubu Pheu Thai.

Sulit untuk tidak bertanya-tanya apakah kinerja yang kuat dari Gubernur Bangkok yang baru saja terpilih, Chadchart Sittipunt, seorang independen yang telah menetapkan standar baru dalam hal transparansi, akuntabilitas, dan kerja keras, mungkin telah mempengaruhi pilihan para pemilih di Bangkok.

Move Forward memiliki karakter pemimpin yang serupa dalam diri mantan pengusaha lulusan Harvard Pita Limjaroenrat - seseorang yang berpendidikan tinggi dan berpikiran bisnis.

Pita Limjaroenrat berkampanye di Bangkok
Pita Limjaroenrat menyapa para pendukungnya dalam rapat umum kampanye terakhir menjelang pemilu di Bangkok. NARONG SANGNAK / AFP

Pembentukan pemerintahan baru yang secara tegas menentang keterlibatan militer dalam politik tampaknya logis, dan berpotensi mengantarkan era baru yang progresif dan demokratis dalam politik Thailand, dengan Pita sebagai perdana menteri yang baru.

Hal ini dapat menjadi perubahan yang transformasional bagi negara di kawasan Asia Tenggara - terutama negara-negara di kawasan darat. Demokrasi telah diserang di kawasan ini dalam beberapa tahun terakhir dengan kudeta tahun 2021 di Myanmar dan Kamboja yang semakin otokratis di bawah pemerintahan Hun Sen.

Dukungan terhadap pemerintah petahana Thailand yang bersekutu dengan militer yang mengalami penurunan dramatis kemungkinan besar mencerminkan sentimen umum di antara rakyat Thailand bahwa sudah waktunya bagi militer untuk pergi.

Prayuth telah menjadi perdana menteri sejak Mei 2014, ketika sebagai perwira militer ia melakukan kudeta terhadap pemerintahan Yingluck Shinawatra yang terpilih secara demokratis. Sejak saat itu, rakyat Thailand sudah bosan dengan gaya pemerintahannya yang otokratis, pemarah, dan manajemen ekonomi yang biasa-biasa saja.

Untuk berspekulasi lebih jauh, rakyat Thailand mungkin merasa bahwa tugas militer dalam mengawasi transisi monarki dari Rama IX ke Rama X telah selesai.

Namun masih ada hambatan

Namun, hasil pemilu ini juga tidak menjamin kekuatan oposisi Thailand akan mampu membentuk pemerintahan.

Tantangan utama yang dihadapi partai-partai yang menang kali ini adalah desain konstitusi 2017 yang tidak liberal. Karena konstitusi ini berisi klausul yang mengizinkan 250 senator yang tidak terpilih dan ditunjuk oleh junta untuk berpartisipasi dalam sidang bersama untuk memilih perdana menteri berikutnya, partai-partai pro-kekuasaan militer secara teori masih dapat membentuk koalisi untuk mempertahankan kekuasaan.

Jika mereka menerima dukungan dari partai-partai yang membentuk pemerintahan sebelumnya (Bhumjaithai dan Demokrat), mereka dapat membentuk koalisi yang berkuasa dengan sekitar 170 kursi yang mereka menangkan secara total dalam pemungutan suara pada hari Minggu, bersama dengan dukungan dari 250 senator yang ditunjuk oleh junta.

Jika hal ini terjadi, partai pemenang tetap menjadi minoritas dan tidak dapat meloloskan undang-undang tanpa dukungan oposisi, dan tunduk pada mosi tidak percaya. Namun, mereka mungkin berharap dapat memikat anggota parlemen oposisi dengan menggunakan berbagai strategi seperti menawarkan posisi menteri, untuk mencapai mayoritas di parlemen.

Tantangan kedua bagi partai-partai oposisi adalah membentuk koalisi yang demokratis. Akankah Pheu Thai menerima Pita sebagai perdana menteri dan bukan salah satu dari tiga kandidatnya sendiri, Srettha Thavisin, Paetongtarn Shinawatra, atau Chaikasem Nitisiri, sebagai kandidat perdana menteri? Akankah Pheu Thai mencoba mengangkat Paetongtarn - putri mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra - ke dalam posisi tersebut?

Paetongtarn Shinawatra di sebuah tempat pemungutan suara
Paetongtarn Shinawatra menyapa warga setelah memberikan suaranya di sebuah tempat pemungutan suara di Bangkok. RUNGROJ YONGRIT / AFP

Pertanyaan besar lainnya adalah apakah Pheu Thai akan menyetujui kebijakan kontroversial Move Forward untuk mereformasi hukum lese majeste yang kejam di Thailand. Hukum ini mengatur bahwa warga negara yang “tak hormat” terhadap monarki dianggap sebagai kejahatan. Move Forward ingin mengubah hukum yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap monarki, sehingga tidak terlalu rentan untuk digunakan sebagai cara untuk menyerang lawan politik. Partai bersikeras bahwa ini bukanlah langkah untuk menjadi sebuah republik.

Peluang kedua partai untuk membentuk koalisi kerja akan diperkuat jika mereka dapat membawa Bhumjaithai ke dalam pemerintahan. Partai tersebut berada di antara kedua sisi spektrum politik selama beberapa dekade.

Namun, hal ini berarti Bhumjaithai menerima sikap Move Forward dan Pheu Thai untuk membatalkan keputusan kontroversial Thailand tahun lalu untuk mendekriminalisasi ganja. Kedua partai mengusulkan untuk membatasi penggunaan untuk tujuan medis.

Pemimpin Bhumjaithai, Anutin Charnvirakul, menteri kesehatan saat ini dan pendukung ganja, telah bersikeras bahwa mengubah undang-undang ganja Thailand bukan sesuatu hal yang dapat dinegosiasikan partainya.

Dapatkah ‘kudeta yudisial’ menggagalkan negosiasi?

Tantangan ketiga yang dihadapi partai-partai oposisi mungkin yang paling mengkhawatirkan. Ini adalah kemungkinan kelompok konservatif di Thailand akan menemukan cara untuk membatalkan hasil pemilu melalui tindakan pengadilan, atau “kudeta yudisial”, seperti yang dikenal di Thailand.

Ada preseden yang kuat untuk hal ini, karena partai-partai progresif sebelumnya telah dibubarkan melalui keputusan pengadilan - sebuah kemalangan yang belum pernah terjadi pada partai-partai konservatif.

Pita saat ini sedang menghadapi gugatan hukum terkait dengan kepemilikan sahamnya di sebuah perusahaan media. Sementara itu, Pheu Thai sedang menghadapi litigasi terkait dengan mengizinkan “orang luar” untuk menjalankan urusannya.

Ada alasan untuk berpikir bahwa kita mungkin akan mengetahui hasil pemilu lebih cepat daripada tahun 2019. Komisi Pemilihan Umum tampaknya telah bekerja lebih kompeten dalam menghitung suara kali ini dan tidak perlu memutuskan bagaimana menerapkan formula yang rumit untuk mengalokasikan kursi partai. Ini berarti sidang gabungan parlemen akan berlangsung lebih cepat dan koalisi akan segera terbentuk.

Tetapi hanya dengan demikian kita akan memiliki kepastian bahwa suara rakyat benar-benar didengar.


Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now