Menu Close
PLTU Suralaya Unit 8 dan 9 di Suralaya, Cilegon, Banten. (Symber: Asep Fathulrahman/Antara)

Pemulihan ekonomi pasca-COVID-19 yang bertumpu pada energi kotor bisa timbulkan masalah lingkungan

Pandemi COVID-19 yang melanda sejak 2020 berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Krisis yang juga dialami banyak negara lain ini disebabkan terhentinya aktivitas perekonomian secara masif akibat pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat guna menekan penyebaran COVID-19.

Indonesia mencoba menggenjot perekonomian nasional kembali ke level pra-COVID-19 atau lebih baik melalui berbagai kebijakan, salah satunya melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sayangnya, program PEN masih bertumpu pada bahan bakar fosil guna memenuhi kebutuhan energi.

Langkah ini semestinya direvisi karena pemulihan ekonomi semestinya sejalan dengan upaya komitmen iklim Indonesia untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060. Tanpa upaya yang agresif mengurangi penggunaan bahan bakar fossil dan menambah kapasitas energi bersih, program PEN justru menciptakan masalah baru.

Pemulihan minim kelestarian

‘Dukungan’ Indonesia terhadap penggunaan bahan bakar fosil tercermin dari dana dukungan untuk penggunaan bahan bakar fosil mencapai sekitar 8% dari total anggaran PEN. Anggaran ini terbagi ke dalam 15 langkah strategis untuk mendukung sektor energi.

Sayangnya, sebagian besar langkah tersebut cenderung menguntungkan sektor energi berbasis bahan bakar fosil dibandingkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Anggaran terbesar bagi sektor energi (Rp95,3 triliun) ditujukan untuk mendukung keberlangsungan badan usaha milik negara yang terasosiasi dengan energi fosil, seperti PT Pertamina, PT PLN, PT Garuda Indonesia, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Selain itu, Rp13,1 triliun digelontorkan untuk subsidi listrik bagi masyarakat yang sebagian besar dihasilkan dari pembakaran batu bara. Pemerintah Indonesia juga melanjutkan subsidi rutin sebesar Rp97,4 triliun pada 2020 untuk berbagai jenis energi fosil seperti listrik, Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Anggaran subsidi dan dana dukungan untuk bahan bakar fosil di tahun 2020 (dalam triliun rupiah). (Sumber: IISD)

Di sisi lain, PEN hanya mencantumkan besaran dana subsidi untuk satu jenis EBT yakni biodiesel. Sementara, dukungan untuk jenis EBT lainnya hanya disebutkan tanpa rincian alokasi dana ataupun program. Sebagai contoh, PEN mendukung instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di sektor swasta dan pemberian insentif untuk proyek EBT. Pelaksanaan dukungan ini akhirnya menjadi tidak jelas dan berpotensi terabaikan.

Kebijakan yang bertumpu pada bahan bakar fosil memang cara instan untuk mendongkrak perekonomian. Namun, dalam jangka menengah hingga panjang, kebijakan ini dapat menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia maupun kelangsungan bumi.

Contoh yang masih hangat saat ini adalah kenaikan harga minyak mentah hingga US$100 per barel akibat invasi Rusia ke Ukraina. Kenaikan ini mengakibatkan pemerintah kelimpungan mengalokasikan anggaran subsidi BBM dan gas LPG. Lonjakan harga komoditas tersebut turut mengerek harga barang-barang lainnya.

Maraknya aktivitas industri dan perkantoran pun terkait erat dengan polusi udara yang memburuk, terutama di perkotaan. Situs pemantau kualitas udara IQAir beberapa mencatat Jakarta sebagai kota dengan udara terpolusi di dunia.

Sedangkan dampak lainnya, ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fossil mengakibatkan penggunaan energi bersih tersendat. Misalnya, sebelum krisis COVID-19, lebih dari 90% kebutuhan energi Indonesia dipasok dari bahan bakar fosil dan hanya sekitar 8% menggunakan EBT.

Pertumbuhan EBT di Indonesia tergolong sangat lambat, sekitar 23% (2015-2020), jauh tertinggal di bawah negara tetangga Vietnam yang mampu mencapai 120% (2015-2020). Apabila tren semacam ini berlanjut, rencana untuk mencapai target emisi nol bersih 2060 terancam buyar.

Pemenuhan keamanan energi harus seimbang dengan aspek lingkungan

Pemerintah Indonesia perlu mengkaji ulang strategi transisi energinya agar target emisi nol bersih 2060 serta pemulihan ekonomi pasca-krisis COVID-19 dapat tercapai.

Pemerintah perlu memanfaatkan teknologi ramah lingkungan serta berbagai potensi energi terbarukan untuk menggenjot pembangunan yang berkelanjutan. Pada bidang industri, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon dapat diterapkan dengan biaya yang relatif rendah. Melalui teknologi ini, industri dengan kebutuhan energi yang tinggi tetap dapat berjalan menggunakan bahan bakar fosil dalam jangka pendek hingga menengah dengan jejak karbon yang lebih rendah.

Pemerintah perlu memberikan dukungan pada sumber energi terbarukan potensial yang andal dan murah. Sebagai contoh, energi panas bumi, nuklir, dan air adalah jenis-jenis EBT yang potensial untuk menyangga keamanan energi nasional.

Teknisi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) melakukan perawatan rutin di pabrik PT Sanghiang Perkasa (KALBE Nutritionals) Cikampek, Jawa Barat. (Sumber: Yulius Satria Wijaya/Antara)

Selain itu, energi matahari yang melimpah di nusantara dan teknologi panel surya yang semakin murah juga dapat dimanfaatkan untuk memasok listrik bersih di daerah pemukiman dan perkantoran.

Tak kalah pentingnya, teknologi penyimpanan energi seperti baterai, penyimpanan energi berbasis tenaga air (pumped storage hydropower), dan hidrogen perlu dikembangkan untuk memastikan pasokan EBT yang andal.

Pemerintah dapat mengimplementasikan rekomendasi tersebut secara bertahap sembari mengambil langkah-langkah strategis terkait pembiayaan dan kebijakan pendukung. Misalnya, Pemerintah perlu menambah dana subsidi untuk sektor energi terbarukan agar semakin banyak digunakan di masyarakat maupun industri.

Sumber pendanaan dapat diperoleh dari pengurangan subsidi energi fosil dan menetapkan pajak karbon terutama untuk sektor industri yang tinggi emisi. Selain itu, Indonesia, sebagai negara yang saat ini memegang presidensi G20, berada pada posisi yang strategis untuk menarik minat investor asing menanamkan modal dalam sektor teknologi rendah karbon dan EBT.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now