Menu Close

Pendewi-tololan perempuan dan Pancasila: sama-sama diagungkan, namun disalahgunakan untuk kepentingan politik

Warga mengikuti Kirab Bhineka bertajuk Pengejawantahan Pancasila Dalam Kehidupan di Gandekan, Solo, Jawa Tengah.
Kirab bhineka dalam memeringati Hari Lahir Pancasila. Maulana Surya/Antara Foto

Ada apa dengan Juni sehingga empat presiden Indonesia – yang pertama, kedua, ketiga dan ketujuh – lahir pada bulan ini? Sukarno (1901-1970), lahir pada 6 Juni, Soeharto (1921-2008) pada 8 Juni, B.J. Habibie (1936-2019) pada 25 Juni, dan Joko “Jokowi” Widodo (1961-) pada 21 Juni.

Apakah ada kaitannya dengan kenyataan bahwa 1 Juni 1945 adalah hari kelahiran Pancasila, falsafah dasar negara kita, dan Juni dianggap sebagai bulan Pancasila?

Banyak yang menyebut Pancasila sebagai ideologi, tetapi lima sila ini lebih seperti cita-cita atau nilai dan tolok ukur etika politik kita.

Lima sila itu adalah: 1) Ketuhanan yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Franz Magnis Suseno, seorang pendeta Jesuit, filsuf dan ahli politik, Pancasila adalah ideologi yang mampu menjawab tantangan bangsa yang majemuk, menyatukan berbagai suku, budaya, dan kepercayaan di Indonesia.

Kalau begitu, bisakah Pancasila menyelesaikan masalah kesetaraan gender juga?

Inilah tema bab yang saya tulis untuk antologi berjudul “Mythos Pancasila”, yang diprakarsai Berthold Damshäuser, seorang profesor sastra Indonesia berkebangsaan Jerman dari Universitas Bonn, yang akan diterbitkan bulan depan oleh Regiospectra Verlag Berlin, kantor penerbitan Jerman.

Mengapa seorang dosen sastra Indonesia tertarik menyusun buku 10 esai tentang Pancasila dalam bahasa Jerman?

Awalnya ia menulis tentang bahasa yang digunakan dalam Pancasila, yang menurutnya bukan merupakan mahakarya. Tetapi kemudian ia dan co-editor antologi “Mythos”, Wolfgang Brehm, berpikir bahwa akan bagus jika menerbitkan buku “yang tidak hanya memberikan pengenalan umum tentang Pancasila, tetapi juga memberikan jawaban baru atas pertanyaan tentang apa itu semua, apa esensinya, serta fungsi dan maknanya”.

Saya diminta menyumbang satu bab. Saya beritahu mereka bahwa saya akan menulis tentang perempuan, karena mayoritas kontributornya adalah laki-laki dan tidak satupun dari mereka menulis tentang perempuan atau gender.

Judul bab saya adalah “Pancasila, Perempuan dan Patriarki”. Cukup gamblang kan? Karena memang negeri ini jelas sangat patriarkis, di mana ketidaksetaraan gender masih membudaya.

Indonesia sendiri berada di urutan ke-101 dari 149 dalam peringkat kesenjangan gender global. Menurut PBB, Indonesia termasuk yang terburuk di antara negara-negara ASEAN, dengan hanya Myanmar, Kamboja dan Laos yang memiliki peringkat lebih rendah.

Dalam bab saya, saya berusaha melihat hubungan antara Pancasila dan ideologi gender dalam sejarah Indonesia dari masa revolusi hingga masa kini.

Namun sebelum membahas itu, perlu saya ceritakan bahwa Sukarno pernah menulis buku tentang perempuan, berjudul “Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia”, yang diterbitkan pada tahun 1947. Sangat jarang seorang kepala negara secara khusus fokus pada peran perempuan, apalagi sampai menulis buku tentangnya.

Dalam buku itu, Sukarno mengkritik sebagian besar pria yang memandang perempuan sebagai dewi-tolol – memuji-muji mereka seperti dewi, tetapi pada saat yang sama memperlakukan mereka seperti orang tolol.

Beliau mendorong perempuan agar menolak pendewi-tololan ini dan menjadi “revolusioner”, karena ia percaya bahwa mencapai kemerdekaan adalah mustahil jika tanpa partisipasi perempuan. Bahkan setelah kemerdekaan, pembangunan berbangsa dan bernegara tidak dapat terwujud tanpa partisipasi perempuan.

Terkait relasi gender, Sukarno menyebutkan dalam bukunya bahwa perempuan dan laki-laki harus berjuang bersama secara setara, seperti dua sayap burung yang tidak bisa terbang dengan baik, apalagi jauh, jika keduanya tidak sama-sama kuat.

Pemikiran di dalam buku tersebut dianggap progresif – cerminan dari kecenderungan sosialistis Sukarno. Menurut saya, karya ini dapat dianggap sebagai artikulasi gender Pancasila. Meski mengandung berbagai kontradiksi, buku “Sarinah” tetap merupakan karya ilmiah politik yang luar biasa, kaya dengan referensi dan menunjukkan kesadaran gender yang tinggi.

Setelah Sukarno, tidak ada pemimpin Indonesia lain yang pernah menyerukan perempuan Indonesia untuk menjadi revolusioner. Sesudah Sukarno, perempuan cenderung terus-menerus didomestikasi dan disubordinasikan.

Jika ada pendewi-tololan perempuan Indonesia, gejala serupa terjadi pada Pancasila. Ia digagas untuk memberikan landasan kokoh bagi Indonesia karena keTuhanannya, pluralismenya, humanismenya, semangat demokrasinya, dan penekanannya pada keadilan sosial.

Namun, di setiap rezim yang berbeda, para politisi dan pemimpin Indonesia – bahkan Sukarno sendiri menjelang akhir masa kepresidenannya – mengkhianati Pancasila, bangsa, serta kaum perempuan Indonesia.

Pengkhianatan ini terlihat jelas selama periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ketika Sukarno menjadi seorang diktator, dan melibatkan sembilan perempuan ke dalam pernikahan poligaminya yang sohor itu. Ia tidak lagi peka terhadap kebutuhan (ekonomi) rakyat atau perasaan para perempuan yang menjadi istri-istrinya.

Karena begitu terbuka, Pancasila sangat mudah menjadi ideologi karet yang berubah-ubah bentuk. Ideologi tidak pernah berada dalam ruang hampa, dan Pancasila berubah rona, bahkan warna, dengan rezim yang berbeda-beda.

Di era Sukarno, menjelang pemilu 1955, partai-partai nasionalis menggunakan Pancasila untuk melawan partai-partai Islam. Sikap anti-Islam oleh kaum nasionalis ini mungkin digerakkan kepentingan partai, tetapi juga dimaksudkan agar menjamin Pancasila tetap melindungi masyarakat Indonesia yang majemuk seperti yang dicanangkan oleh slogan Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan salah satu tujuan dasar Pancasila.

Masa Orde Baru pimpinan Soeharto (1966-1998) juga menganut Pancasila sebagai ideologi negara, namun menjadikannya alat penindasan. Menurut sejarawan Robert Cribb, “Pamor Pancasila merosot ketika digunakan oleh presiden kedua yang otoriter, Soeharto. Apa yang awalnya adalah serangkaian pernyataan untuk menstabilkan negara, menjadi kalimat untuk memecah-belah”.

Seruan Sukarno agar perempuan Indonesia menjadi revolusioner masih sangat relevan bagi perempuan masa kini, yang sejak rezim Orde Baru telah didomestikasi dengan ideologi ibuisme negara, di mana ketergantungan perempuan pada suami dilembagakan dan diidealkan.

Bahkan di era Reformasi, Arabisasi masyarakat Indonesia merupakan upaya terselubung untuk mendirikan negara khilafah, dengan semacam ibuisme Islam.

Jilbab telah menjadi simbol baru konstruksi sosial keperempuanan Indonesia yang tunduk pada nilai-nilai patriarki yang diterapkan di semua sekolah Islam, bahkan juga sekolah negeri.

Ada kecenderungan untuk mengislamkan hukum, yang memunculkan serangkaian konstruksi sosial baru yang serupa, bahkan mungkin lebih opresif, daripada yang terjadi pada masa Orde Baru.

Menurut aktivis feminis Eva Kusuma Sundari, “ketika Pancasila telah lulus uji kesetaraan gender, ia juga dapat mengakomodasi kelompok lain, termasuk minoritas agama dan seksual. Kesetaraan gender sering dikatakan memecah belah persoalan masyarakat patriarki, terutama terkait subordinasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), yang seringkali berdampak diskriminatif”.

Jadi, apakah perempuan dan Pancasila benar-benar didewi-tololkan?

Perempuan disebut sebagai “tiang bangsa”, dan Pancasila dianggap landasan suci negara, namun pada kenyataannya, keduanya hanya digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan Machiavellian.

Tapi tunggu! Pancasila adalah seperangkat cita-cita abstrak, sedangkan perempuan adalah nyata.

Secara historis, gerakan perempuan Indonesia telah menunjukkan ketangguhannya, malah menjadi lebih kuat dengan setiap pukulan dan pengkhianatan.

Jadi, kepada semua pemimpin politik kita, tunjukkan komitmen Anda untuk mendukung perempuan. Marilah kita menjadi revolusioner, demi Indonesia tercinta!


Artikel ini diterjemahkan oleh penulis dari versi bahasa Inggris yang diterbitkan oleh The Jakarta Post.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now