Menu Close
Harimau Sumatera (Phantera Tigris Sumatrae) bernama Sean bersama dua dari tiga anaknya yang berumur sekitar dua bulan saat mulai dilatih naluri berburunya di Bali Zoo, Gianyar, Bali. (Nyoman Budhiana/Antara)

Penelitian genomik jadi salah satu bekal terbaik pelestarian satwa Indonesia

Seiring dengan ongkos perunutan gen (genomic sequencing) yang semakin murah, penelitian genomik semakin banyak dilakukan pada berbagai jenis hewan.

Sebelumnya, data genomik dan penelitian genetika hanya umum dilakukan untuk manusia, mencit (tikus), dan lalat buah. Saat ini, kita mulai banyak melihat data genom utuh untuk badak, komodo, dan harimau.

Kini, data genomik sangat penting untuk menghadapi tantangan global berupa kepunahan biodiversitas dan perubahan iklim.

Kemampuan satwa liar beradaptasi dengan perubahan lingkungan, misalnya, sangat tergantung dengan variasi genetik yang mereka miliki. Agar satwa liar terjaga dari kepunahan, kita perlu menjaga variasi genetik spesiesnya tetap tinggi. Variasi genetik yang tinggi dapat memperluas spektrum kerja sistem imun tubuh.

Selain itu, perubahan-perubahan genetika juga perlu diketahui untuk melihat sejauh mana tantangan-tantangan yang ada telah mengubah ukuran populasi mereka.

Nah, penelitian genomik menjadi pilihan peneliti untuk menilik sejarah evolusi hewan yang terancam punah. Sebab, aktivitas perunutan genom utuh (whole genome sequencing) mampu mengungkap jutaan penanda genetik dari beberapa individu saja.

Mengungkap sejarah hewan endemik Indonesia

Penelitian genomik komodo yang dipublikasikan oleh Alessio Iannucci dari University of Florence, Italia, dan koleganya pada tahun 2021 menemukan bahwa spesies tersebut pernah mengalami penurunan ukuran populasi yang cukup drastis sekitar satu juta tahun yang lalu.

Setelah itu, ukuran populasi komodo sempat meningkat sesaat, lalu stabil pada kira-kira 400-100 ribu tahun silam. Dinamika tersebut berdasarkan penurunan variasi genetik yang dapat dihitung dari keragaman genomik suatu populasi.

Perubahan iklim global yang terjadi akibat periode glasial maksimum terakhir (LGM) – ketika Bumi memiliki lapisan es terluas pada sekitar 20 ribu tahun yang lalu – diperkirakan mengubah habitat komodo secara drastis. Perubahan itu kemudian menyebabkan penurunan ukuran populasi komodo yang berlangsung hingga kira-kira beberapa ribu tahun yang lalu, sebelum keragaman genomik komodo tampak stabil.

Kisah serupa juga diperoleh dari penelitian genomik terhadap keluarga badak (Rhinoceratidae). Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Cell pada 2021, peneliti membandingkan genom spesies badak yang punah melalui fosilnya dengan genom spesies badak yang masih hidup.

Hasilnya, keragaman genomik yang rendah memang merupakan fitur hasil ’warisan’ dari keluarga badak.

Riset genomik pernah dilakukan kepada harimau di seluruh dunia oleh peneliti genetika Yue-Chen Liu bersama timnya yang diterbitkan di jurnal Cell pada 2018. Dari studi ini, harimau-harimau dari berbagai lokasi di Asia didapati mengalami penurunan keragaman genomik sejak 100 ribu tahun yang lalu, termasuk harimau sumatera.

Berbagai penelitian genomik di atas menunjukkan bahwa satwa yang terancam punah memang memiliki keragaman genomik yang relatif rendah. Hal tersebut adalah hasil adaptasi terhadap perubahan iklim global yang terjadi ratusan ribu tahun silam. Karena itu, aspek genetik mereka sebenarnya tidak akan menjadi faktor yang menyebabkan kepunahannya.

Kendati demikian, seiring perubahan iklim dan gangguan habitat yang semakin intens, pemantauan berkala lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui apakah kecenderungan ini akan terus berlaku.

Informasi genomik untuk menjaga keanekaragaman hayati

Penelitian genomik memperkaya sejarah alam spesies-spesies selama ratusan ribu tahun. Dengan mengapresiasi sejarah populasi spesies, masyarakat dan pembuat kebijakan dapat semakin memahami pentingnya menjaga habitat mereka.

Selain itu, melalui pengungkapan berapa lama keragaman genetik yang dimiliki suatu populasi spesies, kita dapat memetakan risiko kepunahan populasinya.

Banyak negara berlomba menghasilkan sebanyak mungkin data genomik berbagai spesies yang mereka miliki dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Di Inggris, misalnya, ada proyek ambisius Darwin Tree of Life, kolaborasi berbagai institusi untuk merunut genom 70,000 spesies eukariotik (organisme dengan sel berinti) di seluruh Inggris dan Irlandia.

Eropa pun memiliki dokumen referensi genom berbagai macam spesies bernama European Reference Genome Atlas. Baru-baru ini, sejumlah ilmuwan menginisiasi proyek pengurutan genom lebih dari 105 ribu spesies asli Afrika melalui African BioGenome Project (AfricaBP).

Dalam tulisan yang terbit di jurnal terkemuka Nature pada Maret 2022 tentang AfricaBP, peneliti Afrika menegaskan pentingnya sumber daya genomik untuk membantu upaya konservasi biodiversitas, peningkatan kualitas pangan, dan meningkatkan praktik berbagi data dan manfaat yang lebih berkeadilan. Konsorsium ini menginvestasikan ratusan juta dolar per tahun untuk mengembangkan sumber daya mereka.

Semakin banyak genom makhluk hidup yang kita ketahui, semakin banyak informasi tentang bagaimana kehidupan bekerja, termasuk di dalamnya gen, protein, dan jalur metabolisme lainnya. Aspek-aspek ini dapat bermanfaat bagi kesehatan, pangan, dan ekosistem secara umum.

Mengingat sumber daya perunutan genom yang timpang secara global, kolaborasi internasional yang seimbang diperlukan jika kita ingin memastikan perolehan sumber daya genomik untuk biodiversitas di seluruh dunia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now