Menu Close
Dua orang petugas kepolisian berjaga di depan hotel JW Marriot di Jakarta setelah serangan terorisme yang menewaskan setidaknya 9 orang pada tahun 2009. Mast Irham/EPA

Pentingnya melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam program deradikalisasi pemerintah

Penanggulangan terorisme biasanya mengandalkan negara sebagai tokoh sentral yang biasanya menggunakan pendekatan kekerasan.

Banyak pemerintah di dunia menggunakan kekuatan militer dan instrumen hukum mereka untuk mengatasi terorisme.

Hal ini terlihat dalam penggunaan pesawat bersenjata oleh Amerika Serikat dalam pemberantasan teroris atau penanganan khusus untuk narapidana kasus terorisme di fasilitas penjara seperti Abu Ghraib dan Teluk Guantanamo.

Pendekatan dengan cara kekerasan seperti ini banyak menuai kritik karena dinilai tidak berhasil menanggulangi terorisme secara utuh.

Cara-cara ‘keras’ tersebut justru kontraproduktif karena cenderung mendorong korbannya mengadopsi paham ekstrim

Maka muncullah inisiatif program deradikalisasi yang muncul sebagai alternatif pendekatan ‘keras’. Program deradikalisasi menawarkan cara mengembalikan seseorang yang terpapar paham ekstrimis kembali menjadi normal.

Sebenarnya, deradikalisasi sudah menjadi bagian dari program pemerintah untuk menanggulangi terorisme di Indonesia sejak 2006.

Deradikalisasi awalnya dijalankan oleh satuan khusus antiterorisme Densus-88 dengan bantuan mantan pelaku aksi terorisme untuk membuka dialog dengan para narapidana terorisme lainnya.

Selain itu, pemerintah juga menjalankan program deradikalisasi yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai kebangsaan di penjara serta pemberian modal ekonomi bagi mantan narapidana terorisme.

Namun yang menjadi pelaku kunci di balik keberhasilan banyak program deradikalisasi adalah organisasi masyarakat sipil atau organisasi masyarakat non-profit. Mereka biasanya bekerja bersama pemerintah dan organisasi internasional lainnya dan berfungsi sebagai penengah antara pembuat kebijakan dan jaringan akar rumput.

Studi yang saya lakukan menemukan bahwa organisasi masyarakat sipil dapat berperan penting dalam menanggulangi terorisme karena program mereka dapat melengkapi program deradikalisasi milik pemerintah.

Hasil temuan

Dalam penelitian saya, saya meneliti dua organisasi masyarakat sipil, Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) dan AMAN Indonesia sejak 2017 hingga awal 2019. Sedikitnya sampel wawancara ini karena tidak banyak organisasi masyarakat sipil terlibat dalam program deradikalisasi.

Temuan penelitian saya menunjukkan setidaknya dua keunggulan organisasi masyarakat sipil yang menjadi kunci mengapa program deradikalisasi mereka lebih berhasil dibanding yang dimiliki pemerintah.

1. Organisasi masyarakat sipil cenderung lebih dekat dengan akar rumput Ini membuat organisasi tersebut memiliki kehadiran sosial yang tidak ‘semenakutkan’ aparat negara sehingga dapat membangun jaringan sosial yang organik dan lebih efektif untuk mencegah mantan narapidana mengulangi kejahatannya lagi.

2. Program deradikalisasi dari masyarakat cenderung lebih ‘lunak’ Program-program mereka biasanya menekankan pada pembentukan kemampuan-kemampuan sosial, seperti vokasi dan pelatihan kerja, yang dibutuhkan oleh mantan narapidana teroris. Program-program ini tidak memaksa narapidana ini mengubah ideologinya, melainkan berusaha memicu perubahan ini secara pribadi.

Jika dibandingkan dengan program deradikalisasi resmi pemerintah, maka program pemerintah hanya fokus menjauhkan mantan narapidana terorisme dari kemungkinan melakukan kekerasan kembali.

Konten program deradikalisasi pemerintah yang terlalu menekankan penanaman ideologis serta kapasitas pelaksana yang belum memadai masih menjadi hambatan program deradikalisasi pemerintah untuk berhasil.

Kondisi tersebut yang menyebabkan pendekatan organisasi masyarakat sipil cenderung lebih efektif.

Contoh keberhasilan

Salah satu contoh yang berhasil adalah YPP.

YPP memberikan pelatihan kerja seperti mengurus restoran yang dikelola YPP, Dapur Bistik di Solo, Jawa Tengah. Mereka juga memberikan pelatihan menjalankan bisnis kecil kepada mantan narapidana sehingga kelak mereka dapat menjalankan usaha sendiri atau mencari kerja di tempat lain.

Pelatihan tersebut memberi kesempatan pada mantan narapidana untuk bekerja dan berinteraksi dengan berbagai kalangan.

Saat ini, YPP sedang bekerja sama dengan aparat lembaga pemasyarakatan lokal untuk menyusun modul yang lebih terstruktur bagi mantan narapidana terorisme.

YPP merupakan salah satu organisasi masyarakat sipil yang memiliki privilese langka dapat bekerja sama dengan aparat pemerintahan secara dekat.

Kendala

Meskipun peran organisasi masyarakat sipil terbukti efektif dalam program radikalisasi, masih terdapat tiga tantangan besar yang mereka hadapi untuk lebih terlibat dalam program deradikalisasi milik pemerintah.

Pertama, terdapat pandangan yang berbeda antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah dalam memahami istilah ‘deradikalisasi’.

Di satu sisi, organisasi masyarakat sipil memandang deradikalisasi sebagai sebuah proses perubahan yang memerlukan pendampingan. Di sisi lain, pemerintah cenderung memandang proses deradikalisasi sebagai sebuah proses yang bisa dilakukan melalui penanaman ideologi kebangsaan.

Organisasi masyarakat sipil umumnya menolak asumsi bahwa deradikalisasi dapat dipaksakan melalui penanaman ideologi. Perbedaan pandangan ini kerap membuat organisasi masyarakat sipil enggan bekerja sama dengan pemerintah.

Kedua, organisasi masyarakat sipil masih menghadapi masalah finansial terlebih bagi mereka yang tidak memiliki jaringan donor yang besar.

Ketiga, ada masalah kepercayaan antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah dalam menangani kasus terorisme. Pemerintah masih menganggap penanggulangan kasus terorisme adalah ranah eksklusif aparat keamanan dan negara sehingga turut campur organisasi masyarakat sipil terkadang dianggap menentang otoritas negara.

Meskipun sejak berdirinya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mulai terdapat ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk terlibat dalam program deradikalisasi pemerintah. Namun hingga saat ini, belum tersedia adanya skema yang koheren untuk pembentukan kemitraan strategis antara organisasi masyarakat sipil dan BNPT.

Usulan

Jika pemerintah ingin merangkul organisasi masyarakat sipil untuk membuat program deradikalisasi menjadi lebih efektif, ada dua hal utama yang harus dipersiapkan.

Pertama, pemerintah perlu melibatkan organisasi masyarakat sipil secara lebih mendalam dalam program deradikalisasi yang ada.

Karena itu, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil harus mulai menjembatani masalah saling tidak percaya di antara mereka.

Ini dapat dilakukan dengan menggunakan BNPT sebagai fasilitator. BNPT bisa mengadakan serangkaian lokakarya untuk mempertemukan perwakilan baik organisasi masyarakat sipil maupun pemerintah. Dari lokakarya ini, diharapkan muncul kolaborasi yang lebih kuat.

Kedua, pemerintah harus melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam program deradikalisasi secara lebih luas. Misalnya melibatkan mereka dalam merancang kurikulum program deradikalisasi yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan.

Organisasi masyarakat sipil juga bisa memberikan pelatihan vokasi dan pembinaan bagi mantan narapidana terorisme.

Selama ini, program pemerintah masih bersifat lokal dan sporadis karena BNPT masih belum memiliki perwakilan di daerah.

Yang terakhir, pemerintah juga bisa menyediakan bantuan finansial bagi organisasi masyarakat sipil yang membutuhkan dana untuk menjalankan program mereka. Teknis pemberian bantuan finansial ini masih perlu dibahas dan diteliti lebih lanjut.

Organisasi masyarakat sipil merupakan mitra yang tepat membantu program deradikalisasi pemerintah. Namun, pemerintah sendiri pun harus mulai memikirkan cara agar bisa menjalin kerja sama dengan mereka pada masa depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now