Menu Close
Tradisi pengolahan sagu tradisional di Mentawai, Sumatra Barat. Sagu adalah pokok orang Mentawai tradisional selain ubi dan pisang. (Syofiardi Bachyul Jb/Wikimedia Commons)

Pentingnya merawat sistem pangan lokal untuk menghadapi El Nino dan cuaca ekstrem

Artikel ini terbit untuk memeringati Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2023.

El Nino yang berlangsung sejak Mei 2023 lalu terus menguat dan cukup berdampak bagi sektor pertanian Indonesia. Data Kementerian menyebutkan ada 258 ribu hektare (ha) sawah yang berisiko mengalami kekeringan sedang.

Risiko kekeringan juga kian meluas karena El Nino diprediksi berlangsung sampai Maret tahun depan.


Read more: Produksi beras juga bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, syaratnya riset iklim harus diperbanyak


Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional, Budi Waryanto, mengungkapkan meski pasokan pangan Indonesia masih cukup, fenomena El Nino menyebabkan produksi beras nasional berkurang. “Namun sejauh ini masih cukup,” ujar Budi dalam diskusi daring bertajuk “Hari Pangan Sedunia: Refleksi Ketahanan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Kekeringan Dampak El Nino” pada Kamis lalu.

Untuk menstabilkan harga, pemerintah terpaksa menggelontorkan beras impor dari Vietnam, Thailand, hingga Kamboja. Ada juga wacana untuk impor beras dari Cina.

Dosen dan peneliti pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Angga Dwiartama, mengatakan cuaca ekstrem yang diakibatkan oleh El Nino akan selalu menjadi risiko bagi pasokan pangan Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki sistem penyediaan pangan yang terpusat dari pemerintah, badan usaha milik negara, lalu diturunkan ke daerah-daerah.

Walhasil, ketika ada gangguan pasokan pangan karena cuaca, kondisi pasar global, ataupun kondisi geopolitik, dampaknya bisa terjadi secara nasional.

Karena itulah, Angga menyarankan Indonesia seharusnya memperkuat sistem pangan lokal untuk menyangga sistem pangan yang terpusat. Dalam sistem ini, suatu daerah memiliki sistem produksi, distribusi, dan konsumsi tersendiri sehingga bisa bertahan dalam risiko gangguan pasokan, misalnya karena cuaca ekstrem.

Dua sistem yang saling melengkapi

Angga mengatakan, dalam sistem pangan lokal, suatu kawasan biasanya memiliki caranya sendiri dalam penyediaan pangan. Jenis pangannya pun tak melulu beras, tapi juga pangan-pangan lainnya seperti sagu, jagung, ataupun singkong.

Sistem ini pun jamak diberlakukan penduduk desa ataupun masyarakat adat di Indonesia.

Kesenian Rengkong khas masyarakat adat Ciptagelar di Jawa Barat yang lahir dari kebiasaan warga menanam padi. (Mangeded/Wikimedia Commons)

Dia mencontohkan sistem pangan yang berlaku di Kasepuhan Ciptagelar, masyarakat adat sunda Jawa Barat. Masyarakat di Kasepuhan ini, kata Angga, jarang terdengar memiliki masalah pasokan pangan karena mereka memiliki sawah sendiri. Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki cara menyimpan padi sehingga, meskipun hanya panen sekali setahun, mereka bisa bertahan tanpa banyak bergantung pada daerah lainnya.

“Jadi, walaupun ada El Nino, masyarakat Kasepuhan Cipta Gelar tidak ada masalah,” ujar Angga.

Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari–organisasi pegiat advokasi lingkungan di Papua, Emil Kleden, mengemukakan sistem serupa juga berlaku secara tradisional bagi banyak masyarakat adat di Papua. Mereka biasanya mengandalkan sagu dan ubi jalar yang tumbuh liar di hutan-hutan. Masyarakat Papua juga memiliki kebiasaan menyimpan sagu di tanah basah, di dalam daun, hingga bisa bertahan sampai berbulan-bulan.

Sayangnya, kata Emil, tren sistem pangan lokal ini mulai tergerus karena maraknya alih fungsi hutan di Papua. Beberapa kelompok masyarakat di Papua juga terkena stigma bahwa beras adalah makanan orang kaya. Akibatnya mereka perlahan-lahan mulai meninggalkan pangan lokal yang sudah dikonsumsi sejak dulu.

“Selain itu, konversi hutan sagu untuk kebutuhan lain ini semakin mengancam keberlangsungan pangan lokal dari Orang Asli Papua (OAP) karena berkurangnya lahan produksi untuk sagu. Belum lagi tentang potensi hilangnya sumber protein hewani seperti rusa, babi, dan kasuari karena habitat asli mereka sudah dihancurkan,” kata Emil.


Read more: Dilema pangan ramah iklim yang bernutrisi dan terjangkau di Indonesia. Bagaimana cara mengatasinya?


Angga turut membenarkan risiko sistem pangan lokal yang terancam. Menurut dia, pangan lokal dapat tergerus oleh proyek-proyek besar yang datangnya dari luar, misalnya perkebunan berskala besar.

Menurut Angga, pemerintah harus berupaya menjaga agar sistem pangan lokal di desa-desa tidak berkurang. Pelestarian sistem lokal ini, kata dia, justru membantu ketahanan pangan Indonesia di daerah-daerah rural. Jika sistem pangan lokal berlangsung dengan baik, pemerintah hanya perlu berkonsentrasi memenuhi kebutuhan pangan masyarakat kota dengan sistem pangan tersentralisasi.

“Jadi dua sistem ini (yang tersentralisasi dan sistem pangan lokal) tidak saling meniadakan, justru saling melengkapi,” ujar dia.

Merombak stigma, membenahi kebijakan

Peneliti pertanian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Riska Ayu Purnamasari, mengemukakan sebenarnya pemerintah memiliki kebijakan yang mendorong konsumsi pangan lokal.

Misalnya kebijakan Isi Piringku, panduan konsumsi makanan dari Kementerian Kesehatan yang mempromosikan sumber karbohidrat tidak hanya dari beras tapi juga ubi jalar, singkong, dan lain-lain. Selain itu, beberapa Dinas Pertanian juga memiliki program untuk menggalang konsumsi pangan lokal.

(Pemerintah Provinsi NTB)
Salah satu gerakan pangan lokal oleh Pemerintah NTB dan Kementerian Pertanian.

Sayangnya, menurut Riska, kebijakan ini tidak dilaksanakan secara memadai dan saling bertentangan. Misalnya, dalam program pangan bagi masyarakat miskin, cenderung membagi-bagikan beras sebagai makanan pokok.

“Dulu pas Orba (era Orde Baru) aparatur sipil negaranya dibagi-bagi beras,” kata Riska dalam diskusi “Belum Ketemu Nasi, belum Makan?” di akun Instagram @ConversationIDN, Jumat lalu.

Keinginan masyarakat mengonsumsi pangan lokal, tutur Riska, juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap pangan selain nasi. Selama ini, dia mengatakan banyak masyarakat yang hanya menganggap singkong, jagung, ubi, sebagai makanan sampingan.

Karena itulah, dia mengatakan pemerintah perlu mempromosikan pangan lokal sesering mungkin. “Selama ini tidak ada imbauan yang benar-benar masif, kita tidak pernah lihat di TV, ayo konsumsi ubi atau sudahkah konsumsi ubi bulan ini?” kata dia.

Riska juga menggarisbawahi pentingnya mempromosikan pangan-pangan lokal yang endemik di suatu tempat. Misalnya, umbi jalawure yang tumbuh liar di pinggir pantai di pesisir Garut, Jawa Barat. Tidak banyak orang yang mengenal umbi ini, padahal potensinya untuk menggantikan beras ataupun terigu—-yang banyak dikonsumsi orang Jawa Barat—-cukup tinggi.

“Pangan lokal itu keutamaannya adalah beragam. Jadi kalau bahas pangan lokal berarti tak hanya satu, tapi semua yang ada merupakan satu kesatuan,” ujar Riska.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now