Menu Close

Pentingnya pemerintah menjamin hak asasi nakes: bukan hanya insentif tapi juga hak protes

Sejumlah tenaga kesehatan mengenakan alat pelindung diri (APD) saat uji rapid test COVID-19 masal di Kota Pekanbaru, Riau. ANTARA FOTO/FB Anggoro/nz

“Pilihannya dua, lanjut mengurus jenazah yang tiada henti atau beralih menolong pasien lain yang masih hidup. Kami memilih fokus menyelamatkan nyawa,” ujar seorang suster di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, Jakarta kepada saya ketika saya harus menjadi salah satu pasien COVID-19 sejak 21 Juli hingga 6 Agustus 2021.

Selama dirawat selama kurang lebih 16 hari di RSUD Tarakan, saya menyaksikan beratnya perjuangan tenaga kesehatan (nakes) bertaruh nyawa menyelamatkan orang lain: menyelamatkan hak asasi manusia yang paling absolut: hak untuk hidup.

Namun tampaknya pemerintah masih menutup sebelah mata terhadap hak-hak mereka, bahkan akibatnya banyak nakes yang meninggal di tengah-tengah perjuangan bangsa ini melawan pandemi.

Per awal September, LaporCOVID-19 mencatat 1.967 tenaga kesehatan kehilangan nyawa, menjadi yang tertinggi di Asia dan salah satu yang terbesar di dunia. Sementara kondisi pekerjaan mereka jauh dari layak. Banyak dari mereka yang harus berjibaku dengan meluapnya pasien dan jam kerja panjang terlebih ketika Indonesia mengalami gelombang kedua pandemi COVID-19 beberapa bulan lalu.

Sementara itu, para nakes tersebut tidak mendapat kompensasi yang layak. Amnesty International mencatat, sejak Juni 2020 hingga awal Agustus 2021, ada 26.717 tenaga kesehatan di 21 provinsi, tersebar di 36 kabupaten/kota yang pembayaran insentifnya tertunda bahkan ada yang dipotong. Padahal, semua bekerja keras melayani korban pandemi.

Untuk itu, pemerintah harus memperhatikan hak-hak asasi nakes. Dari mulai pemberian insentif hingga jaminan hak-hak asasi mereka untuk berpendapat dan protes. Pemenuhan hak mereka sama artinya dengan pemenuhan hak asasi manusia dari semua orang.

Masalah insentif

Pemerintah pusat perlu lebih serius menyalurkan insentif. Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menjanjikan pembayaran insentif kepada nakes sejak tahun lalu, rinciannya adalah Rp 5 juta untuk para dokter spesialis, Rp 10 juta untuk dokter umum dan dokter gigi, Rp 7,5 juta untuk bidan dan perawat, dan Rp 5 juta bagi tenaga kesehatan lainnya.

Namun pembayarannya masih ada yang menunggak.

Contohnya, nakes di Jombang, Malang, dan Banyuwangi Jawa Timur harus menerima kenyataan bahwa pembayaran insentif mereka terkatung-katung selama enam bulan tahun ini, dan baru dibayar Juli 2021.

Data dari Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa realisasi insentif untuk nakes di daerah hingga Juni 2021 baru mencapai 5,7% dari total Rp 7,6 triliun yang dianggarkan.

Pemerintah beralasan, pencairan terhambat akibat kekeliruan data. Tapi untuk memperbaiki data, nakes harus datang ke Kementerian Kesehatan di Jakarta.

Apakah kemudian nakes yang berdomisili di luar Jakarta (setidaknya berjumlah 750.000 orang) harus ke Jakarta sementara pasien sangat membutuhkan mereka?

Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong pemerintah daerah agar mengoptimalkan dana tambahan dari dana alokasi umum (DAU) yaitu dana yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk pembangunan. Tambahan dana ini perlu dialokasikan untuk Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dalam ini untuk pembayaran insentif.

Aturan hukum tentang otonomi daerah memang dapat menjadi kendala bagi pemerintah pusat untuk memberikan instruksi kepada pemerintah daerah. Tapi dalam urusan kesehatan, apalagi dalam situasi darurat kesehatan berskala nasional seperti pandemi COVID-19, langkah itu semestinya bisa dilakukan.

Sebaliknya pun demikian, pemerintah daerah perlu mengambil peran lebih aktif dalam menjamin terpenuhinya insentif nakes. Sejumlah pemerintah daerah seperti DKI Jakarta relatif lebih baik, tapi masih banyak pemerintah daerah lain yang kinerjanya belum sepenuhnya maksimal.

Penetapan kuota penerima insentif juga harus adil. Contohnya, di Kulon Progo, Yogyakarta, insentif hanya diusulkan untuk nakes yang merawat pasien positif COVID-19. Jadi yang tidak merawat pasien COVID-19 tidak mendapat insentif padahal mereka juga menghadapi risiko terpapar virus.

Hak berpendapat nakes

Pemerintah juga harus memberi perlindungan hukum bagi nakes yang ingin protes jika memang insentif menunggak.

Laporan dari Amnesty International menunjukkan beberapa tenaga kesehatan yang angkat bicara soal keterlambatan pembayaran menjadi korban intimidasi dan ancaman.

Kasus yang paling menonjol terjadi di Wisma Atlet Darurat Rumah Sakit COVID-19 Kemayoran, Jakarta. LaporCOVID-19 melaporkan, hingga awal Mei 2021, setidaknya 500 tenaga kesehatan – sekitar 75% dari seluruh pekerja – di Wisma Atlet belum menerima pembayaran insentif sejak Desember 2020 yang mendorong mereka untuk melakukan protes.

Hasil wawancara kami menyebutkan bawah para nakes di Wisma Atlet yang mengajukan protes mendapat intimidasi dari pihak kepolisian dan militer setelah aksi protes mereka. Bahkan, ada seorang nakes yang dipecat karena aktif menyuarakan keberatannya.

Pemerintah wajib memenuhi hak-hak nakes, tidak hanya kondisi kerja yang adil, hak kesejahteraan, insentif, tapi juga hak-hak berpendapat.

Hidup kita ditentukan oleh seberapa serius pemerintah menghormati hak-hak nakes yang berjuang menyelamatkan nyawa manusia.

Banyak nyawa telah hilang. Banyak pula yang terselamatkan oleh mereka. Di tengah penuhnya rumah sakit–yang saya rasakan sendiri saat sempat antri dan dirawat di atas velbed dalam tenda darurat RSUD Duren Sawit–saya merasa beruntung karena mendapat akses fasilitas isolasi maupun perawatan dari dua rumah sakit umum milik pemerintah provinsi DKI Jakarta. Bahkan selama berhari-hari menjadi pasien RSUD Tarakan, saya merasakan langsung dedikasi para nakes: dokter paru-paru, internis, jantung, darah, gizi, hingga dokter jaga dan suster juga bruder yang merawat siang malam.

Tapi saya tetap gelisah selama pemerintah belum memenuhi hak-hak para nakes yang bekerja keras menyelamatkan banyak nyawa dari pasien COVID-19. Perjuangan nakes itu berada di batas kemanusiaan. Pertaruhan antara hidup dan mati.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,400 academics and researchers from 5,063 institutions.

Register now