Menu Close
(Sukjai Photo/Shutterstock)

Penularan senyap pertusis di Indonesia karena pemantauan lemah

Pertusis adalah penyakit batuk rejan akibat infeksi bakteri Bordetella pertussis. Orang yang terkena penyakit ini akan mengalami gejala batuk yang kuat dan terus menerus disertai “mengi” karena pasien berupaya keras menarik napas. Pada akhirnya, orang tersebut batuk disertai dengan bunyi yang khas.

Pertusis menular melalui kontak langsung. Satu orang yang terinfeksi dapat menimbulkan 17 kasus pertusis baru di populasi yang tidak diimunisasi. Hampir 75% kasus pertusis pada bayi terjadi akibat kontak di lingkungan keluarga.

Pertusis dapat menyerang semua golongan umur. Bagi bayi yang terkena penyakit ini, 1 dari 10 di antaranya menderita pneumonia atau radang paru-paru. Sementara, kasus meninggal dunia terjadi pada 1 dari 100 pasien pertusis.

Bagi orang dewasa, pertusis mungkin tidak berdampak fatal. Namun bila tidak terdeteksi, mereka dapat menjadi sumber penularan sehingga pertusis bisa saja mewabah di suatu lokasi. Oleh karena itu, strategi imunisasi bagi segala usia berperan penting mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat pertusis di Indonesia, terutama pada bayi.

Untuk mencegah pertusis mewabah, Indonesia juga perlu memperluas sistem deteksi pemeriksaan laboratorium yang memadai di setiap daerah untuk menyokong pemantauan dan identifikasi kasus.

Sayangnya, informasi penyebaran pertusis masih tergolong senyap karena bisa jadi tidak terdeteksi dengan baik. Kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk melaksanakan pemantauan kasus yang memadai dan imunisasi untuk mengendalikan penularan pertusis di tanah air.

Kasus pertusis rendah karena lemahnya pemantauan

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, ada 415 kasus kasus pertusis di tanah air pada 2022. Jumlah ini naik signifikan dibandingkan tahun 2021 dan 2020 yang masing-masing 12 dan 41 kasus. Sementara pada 2019, tercatat ada 386 kasus pertusis.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) turut melaporkan jumlah kasus pertusis Indonesia yang ternyata jauh lebih rendah dibandingkan negara lain, khususnya negara maju.

Apakah angka tersebut menunjukkan keberhasilan pengendalian penyakit pertusis? Jawabannya tidak.

WHO menggarisbawahi bahwa pertusis merupakan penyakit endemik di hampir seluruh negara di dunia. Sekitar 95% kasus pertusis berada di negara berkembang.

WHO juga mengingatkan bahwa kasus pertusis di negara berkembang umumnya tidak terlaporkan dengan baik. Ini kemungkinan terjadi lantaran sistem dan infrastruktur pemantauan pertusis belum optimal, terutama sistem pelaporan kasus dan sumber daya manusia di dalamnya.

Walhasil, data hasil yang dilaporkan bisa jadi lebih kecil dibandingkan kondisi sebenarnya. Dengan kata lain, data kasus pertusis di Indonesia ada kemungkinan under-reported alias lebih rendah dari kenyataan.

Imunisasi pertusis dalam program vaksin DPT

Ada dua jenis vaksin pertusis, yaitu vaksin whole cell (wP) dan vaksin aseluler (aP). Keduanya dianggap dapat menginduksi respons imun terhadap pertusis dan dinilai efektif untuk memberikan proteksi terhadap penyakit pertusis, terutama pada bayi.

Program vaksinasi pertusis di Indonesia menggunakan jenis vaksin DPT (difteri, pertusis, dan tetanus) yang berisi salah satunya adalah whole cell (wP) pertusis. Vaksin tersebut ada dalam kemasan DPT-HB dan DPT-HB-Hib dan wajib diberikan sebanyak tiga dosis kepada bayi berusia 0-11 bulan.

WHO menyarankan cakupan imunisasi DPT minimal sebesar 90% dari total bayi dan anak di bawah 2 tahun. Di Indonesia, cakupan Imunisasi DPT selama 2018 – 2022 berkisar 83,3% - 99,6%.

Dengan cakupan imunisasi sebesar itu, kasus DPT di Indonesia masih ada, begitu juga di negara maju seperti Cina, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Pun, kisaran cakupan imunisasi di empat negara ini cukup tinggi: 94% - 104%.

Peningkatan kasus pertusis di tengah cakupan imunisasi yang tinggi dapat terjadi karena sistem imunitas bayi belum berkembang dengan baik. Akibatnya, imunisasi DPT tidak membentuk kekebalan sehingga bayi tetap menjadi kelompok paling rentan tertular pertusis.

Untuk menutup kesenjangan ini, imunisasi pasif pada bayi melalui vaksinasi pertusis untuk ibu hamil mestinya juga menjadi prioritas. Vaksinasi ini diperkenalkan pada 2011 di Amerika Serikat. Sejak saat itu, pelaksanaannya telah diadopsi oleh lebih dari 40 negara.

Menurut WHO strategi nasional di setiap negara bagi ibu dengan usia kehamilan 27–36 minggu wajib menerima vaksinasi DPT dapat menjadi pertimbangan. .

Program inilah yang belum ada di Indonesia. Pemerintah baru mewajibkan imunisasi dasar lengkap, salah satunya adalah program imunisasi DPT terhadap bayi (0-11 bulan) dan anak (12-24 bulan).

Mengendalikan penularan pertusis

Indonesia perlu memperhatikan jumlah kasus pertusis di Indonesia yang rendah dibandingkan negara maju. Persoalan jumlah kasus yang tidak diselidiki dan diatasi berisiko membuat pertusis merebak dan mewabah di kemudian hari.

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan perlu memperbaiki upaya pengendalian penyakit pertusis dengan cara :

  • Pengkajian dan evaluasi data under-reported kasus pertusis melalui pelaksanaan sistem surveilans penyakit pertusis.

  • Peningkatan akses jejaring pemeriksaan laboratorium pertusis melalui sistem jejaring laboratorium kesehatan masyarakat untuk meningkatkan temuan kasus, lalu menindaklanjutinya dengan upaya pencegahan. Saat ini, sesuai dengan petunjuk teknis surveilans pertusis, akses pemeriksaan pertusis di laboratorium hanya dapat dilakukan di laboratorium rujukan nasional Kementerian Kesehatan.

  • Penerapan strategi imunisasi DPT untuk segala usia: tidak hanya pada bayi dan anak, tetapi juga remaja, ibu hamil dan orang dewasa, termasuk program booster imunisasi DPT.

Dengan pengetahuan situasi kasus yang valid dan upaya yang memadai, kita dapat berharap pengendalian penularan pertusis bisa lebih optimal.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now