Menu Close

Penurunan populasi Cina: Hasil dari kegagalan kebijakan keluarga berencana dan akan mempengaruhi dunia

Keluarga di Cina kini bisa memiliki lebih dari satu anak, namun populasinya masih terus menurun. EPA-EFE/Alex Plavevsky

Untuk pertama kalinya dalam 60 tahun, populasi Cina menurun dan diperkirakan akan berkurang setengahnya pada akhir abad ini.

Setelah penurunan selama beberapa tahun, saat ini Cina telah memasuki era, yang disebut oleh pejabat pemerintahnya sebagai, “pertumbuhan populasi negatif”, dengan tingkat kelahiran nasional mencapai rekor terendah. Angkanya sebesar 6,77 kelahiran per 1.000 orang.

Cina telah lama menjadi negara terpadat di dunia. Terlepas dari tahun-tahun masa kelaparan (sekitar 1959-61) yang disebabkan oleh kampanye politik industrialisasi “Great Leap Forward” (Lompatan Jauh ke Depan), populasi Cina meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir.

Pertumbuhan populasi Cina yang cepat mulai melambat mulai tahun 1970-an, ketika pemerintah memperkenalkan program keluarga berencana karena mengkhawatirkan overpopulasi. Langkah yang berdampak paling luas adalah kebijakan satu anak (one-child policy) - diadopsi pada tahun 1980. Kebijakan ini yang membatasi setiap rumah tangga untuk hanya memiliki satu anak (dengan pengecualian untuk anggota etnis minoritas, rumah tangga di pedesaan, dan anak dari dua anak tunggal).

Menurut logika pemerintah Cina saat itu, pengurangan pertumbuhan penduduk akan membuat sumber daya langka – yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan mendorong pertumbuhan ekonomi – lebih mudah didapat. Laju pertumbuhan populasi Cina kemudian melambat selama beberapa dekade. Sekarang, untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, populasinya bahkan mulai menyusut.

Namun, masih tidak jelas dan menjadi subjek perdebatan perihal apakah populasi Cina benar-benar telah mencapai puncaknya, serta kapan dan seberapa cepat penyusutan ini. Prospek Populasi Dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (the UN World Population Prospects) 2022 pada awalnya memperkirakan populasi Cina baru akan menurun sekitar tahun 2030.

Sumber data mengenai populasi Cina dikenal tidak dapat diandalkan dan sangat bervariasi, tergantung pada siapa yang menghitungnya. Menurut Badan Statistik Nasional Cina, negeri panda itu berpenduduk 1,4117 miliar jiwa pada akhir 2022. Angka tersebut menurun jika dibandingkan dengan 1,4126 miliar pada tahun sebelumnya.

Namun, data dari United Nations Population Fund memperkirakan jumlah populasi di Cina mencapai 1,4485 miliar. Sementara itu, data World Population Review memperkirakan 1,426 miliar populasi.

Perbedaan mengenai proyeksi tren populasi ini didasarkan pada asumsi dan sumber data yang berbeda. Ini mengarah ke harapan yang berbeda tentang bagaimana masyarakat Cina akan berkembang dari waktu ke waktu.

Semakin maju proyeksi ini dibuat, semakin sulit jadinya. Banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana tingkat kesuburan meningkat selama dekade terakhir ini - apalagi setengah abad. Jadi, prediksi bahwa populasi Cina akan berkurang setengahnya pada tahun 2100 perlu dipahami dengan hati-hati. Ini karena prediksi-prediksi tersebut bergantung pada asumsi tentang bagaimana perkembangan masyarakatnya.

Kegagalan pemerinath

Selama beberapa dekade, pemerintah Cina berusaha aktif mengelola perkembangan populasi dengan mempengaruhi tingkat kesuburan. Setelah kebijakan satu anak berhasil menurunkan tingkat kesuburan di Cina(sebesar 1,3 pada tahun 2020), kebijakan ini berakhir pada 2016. Pemerintah kemudian mengizinkan keluarga memiliki dua anak, kemudian tiga anak.

Pemerintah juga mulai mendukung kesejahteraan keluarga dengan cara lain, misalnya dengan mempromosikan cuti melahirkan yang lebih panjang dan pemberian insentif pajak bagi yang memiliki anak.

Namun, perubahan-perubahan kebijakan yang dilakukan tampaknya belum cukup, dan sudah terlambat. Banyak ahli – di Cina dan di negara lain – berpendapat bahwa penghapusan kebijakan satu anak sengaja diberlakukan terlambat satu dekade untuk mempengaruhi kecepatan pertumbuhan penduduk.

Dampak penerapan kebijakan keluarga berencana yang baru juga masih belum terlihat. Setelah berpuluh-puluh tahun mempromosikan prinsip keluarga inti hanya terdiri dari tiga orang, kebijakan satu anak telah mengakar kuat dalam masyarakat Cina. Terlebih lagi, biaya pendidikan, perumahan, dan perkawinan pun meningkat. Banyak keluarga menganggap bahwa memiliki banyak anak terlalu mahal.

Bagi beberapa ahli yang telah memprediksi, penurunan populasi ini terjadi lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Salah satu alasannya mungkin karena pandemi COVID-19 yang membuat keluarga enggan memiliki anak lagi. Namun efek pandemi sulit dinilai. Data tentang kematian terkait COVID-19 di Cina juga tidak dapat diandalkan.

Apa artinya bagi dunia?

Ketika lebih banyak orang hidup lebih lama – dan lebih sedikit bayi yang lahir – akan ada dua konsekuensi: jumlah tenaga kerja yang menyusut dan biaya yang meningkat untuk orang-orang di usia tua.

Pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat merupakan hasil dari besarnya jumlah tenaga kerja bergaji murah. Dengan lebih sedikit pekerja yang tersedia dan gerakan global untuk memisahkan diri dari Cina, sejumlah perusahaan kini memindahkan produksinya ke negara lain. Hal ini jelas mengancam pertumbuhan ekonomi Cina yang saat ini sedang bertransisi dari ekonomi padat karya ke ekonomi padat pengetahuan.

A Chinese man adjusts the mask on an elderly woman.
Cina menghadapi tantangan berupa padatnya populasi usia menua. EPA-EFE/Alex Plavevski

Kekhawatiran lain yang berkembang adalah bagaimana merawat populasi lanjut usia (lansia) yang meningkat cepat. Banyak prediksi mengungkapkan bahwa pada tahun 2079 akan ada lebih banyak penduduk Cina berusia di luar angkatan kerja daripada usia angkatan kerja. Bahkan jika penuaan penduduk berjalan lebih lambat dari yang diperkirakan, biaya pensiun, kesehatan dan perawatan sosial tetap menjadi beban berat bagi pembangunan ekonomi, kecuali jika produktivitas meningkat.

Cina tidak sendirian dalam menghadapi masalah populasi semacam ini. Negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan, juga menghadapi penuaan populasi yang cepat. Banyak pula negara Eropa, termasuk Jerman dan Italia, yang telah menghadapi penurunan populasi selama beberapa dekade.

Namun, situasi di Cina berbeda. Pertama, negara ini menghadapi penuaan dan penurunan populasi ketika masih menjadi negara berpenghasilan menengah, sehingga sulit untuk membiayai perubahan sosial-ekonominya.

Kedua, dari sudut pandang internasional, Cina telah mengambil posisi sentral dalam rantai pasokan global – sehingga apa pun yang memengaruhi negara ini akan berdampak langsung pada ekonomi dunia. Dengan demikian, kisah penurunan populasi Cina ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi posisi Cina di dunia dan ekonomi global pada umumnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now