Menu Close
Banjir Indonesia
Warga Samarinda, East Kalimantan, saat banjir di tengah-tengah permukiman. (Bramanyuro/Shutterstock)

Perubahan iklim menambah sengsara warga miskin kota di luar Jawa

Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim telah menyebabkan begitu banyak kejadian dan bencana di seluruh dunia.

Pertengahan 2023 silam, banjir bandang membuat jalan-jalan terendam dan membuat jutaan orang mengungsi di Amerika Serikat (AS), Korea Selatan, Pakistan, dan Turki. Asia juga mengalami lebih dari seratus kematian akibat periode monsun tahun ini. Di India utara, banjir mematikan akibat hujan ekstrem menelan 22 korban jiwa.

Di Indonesia, banjir parah pada April 2023 yang melanda Kalimantan Tengah mengakibatkan 16 ribu korban. Rumah-rumah dan bangunan publik turut terdampak. Sementara, saat kemarau tiba, kekeringan makin menyulitkan warga kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam mengakses air bersih.

Dalam riset terbaru, kami mencoba menggali bagaimana cuaca ekstrem berdampak pada kawasan urban, khususnya masyarakat miskin yang sangat dirugikan akibat kejadian tersebut.

Warga miskin dan masalah terkait air

Kami mempelajari tiga kota rawan banjir di Indonesia: Pontianak, Kalimantan Barat; Bima, NTB; dan Manado, Sulawesi Utara.

Penelitian kami berbasiskan studi lapangan, observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Kami mewawancarai 57 informan sepanjang proses pengumpulan data. Mereka terdiri dari aktor pemerintah, pemimpin komunitas, aktivis organisasi masyarakat sipil, dan pelaku usaha.

Penelitian kami bertujuan untuk mempelajari bagaimana pembangunan perkotaan berdampak pada masalah seputar air, terutama yang terkait perubahan iklim.

Riset kami menemukan bahwa masalah terkait iklim seperti banjir, kekeringan, dan serangan panas dapat berdampak pada seluruh kota, miskin maupun kaya. Namun, warga miskin menjadi golongan yang paling terdampak karena beberapa alasan.

Saat penduduk berpenghasilan menengah ke atas tinggal di kawasan perumahan yang nyaman dan terencanakan, kaum miskin kota terpaksa tinggal di kawasan yang paling rawan banjir.

Selain itu, mereka juga tinggal di permukiman yang padat dan kumuh, dengan akses air bersih yang terbatas. Di lokasi yang kami datangi, warga permukiman ini tidak mendapatkan pasokan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat, meskipun jaringannya berdekatan dengan rumah mereka.

Walhasil, masyarakat miskin menggunakan cara-cara tersendiri untuk bertahan hidup, seperti menggunakan sumur gali, memompa air tanah, membangun kolam penampungan ataupun tandon air untuk menampung air hujan.

Cara senada juga dilakukan masyarakat miskin saat menghadapi banjir. Mereka langsung memindahkan barang-barang berharga ke tempat yang tinggi, memantau kenaikan muka air di selokan, parit, dan sungai. Mereka juga membuat saluran komunikasi dengan platform digital untuk berbagi info cepat untuk merumuskan langkah antisipasi jika risiko banjir meningkat.

Sayangnya, langkah-langkah di atas cenderung reaktif dan belum menyentuh akar persoalan sebenarnya.

Akibat pembangunan tak merata

Kami menemukan bahwa masalah terkait air di Indonesia, seperti banjir dan kelangkaan air, berhubungan erat dengan pembangunan yang tak merata di berbagai kawasan perkotaan. Semua kota yang kami pelajari menunjukkan pola serupa.

Di beberapa kawasan kota, pertumbuhan ekonomi meningkat pesat. Gedung-gedung pencakar langit menjulang. Kawasan bisnis menggeliat. Perumahan mewah dengan pusat perbelanjaan di dekatnya pun bertumbuh.

Kawasan kumuh di Bandung
Kawasan kumuh di Bandung, Jawa Barat, yang timbul karena perencanaan kota yang tak memadai dan pembangunan tak merata. (Ikhlasul Amal/Flickr), CC BY-NC

Pesatnya pembangunan memicu lonjakan harga tanah, biaya sewa rumah, dan ongkos kebutuhan dasar seperti air bersih dan listrik. Akibatnya, area-area mewah ini menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.

Sementara itu, di pedesaan dan kawasan yang kurang berkembang, orang-orang mengubah hutan menjadi lahan pertanian untuk memenuhi permintaan penduduk kota. Perubahan ini kemudian mengganggu siklus alami air.

Akhirnya, ketika cuaca ekstrem melanda, kawasan kota ketiban bencana. Hujan deras meningkatkan risiko banjir, sedangkan kemarau membuat warga kota sulit mendapatkan air bersih.

Apa yang bisa kita lakukan

Temuan kami menunjukkan bahwa aktivitas berburu keuntungan oleh para pengembang, ditambah dengan kebijakan yang lemah, telah memperparah bencana terkait air dan dampaknya paling dirasakan oleh kaum miskin kota. Di tengah situasi tersebut, kaum miskin kota kelimpungan untuk menyesuaikan diri, apalagi meningkatkan kehidupan mereka.

Perencanaan berbasis warga untuk memastikan pembangunan yang adil di Kampung Akuarium, Jakarta. (Rujak Center for Urban Studies)

Riset kami merekomendasikan sejumlah langkah untuk membenahi kondisi warga miskin kota dalam menghadapi bencana terkait air, bukan cuma bertahan terhadapnya.

Sebagai langkah pertama, kita harus memastikan agar praktik pengelolaan air dapat meningkatkan ketangguhan masyarakat.

Penting juga bagi kita untuk mempertimbangkan dan menangani ketimpangan di seluruh kawasan. Misalnya, kita dapat mengembangkan lingkungan terpadu yang dapat menghubungkan kembali kehidupan warga kota dengan sungai.


Read more: Hadapi perubahan iklim, Indonesia perlu perkuat diplomasi air


Lalu, langkah kedua adalah kita harus mempertimbangkan risiko perubahan iklim saat merumuskan kebijakan tentang pelayanan dan kelembagaan terkait air. Kita harus mencari cara mendanai aksi-aksi pencegahan dan penanggulangan bencana supaya lebih berkelanjutan dan responsif.

Terakhir, penting bagi kita untuk berhati-hati saat merencanakan pembangunan infrastruktur. Kita harus memasukkan opsi-opsi yang valid, tapi bisa terus diperbarui dan diperbaiki. Opsi semacam ini membutuhkan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan dan meningkatkan kesadaran mereka soal isu ini.

Untuk jangka panjang, rekomendasi ini dapat mengintegrasikan aksi kita dalam seluruh siklus air untuk melindungi akses air, lingkungan, dan kesehatan masyarakat.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now