Dalam waktu kurang dari dua minggu, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang terdiri dari pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) secara serentak. Diselenggarakan tepat pada Hari Valentine, pemilu ini disebut-sebut sebagai pemilu satu hari terbesar di dunia.
Read more: Indonesia will hold the world's biggest single day election: here is what you need to know
Terdapat tiga kandidat presiden yang bertarung. Apabila mengharapkan tidak ada putaran kedua, salah satu kandidat harus memenangkan lebih dari 50% suara nasional dan setidaknya 20% suara di setiap provinsi, berdasarkan aturan Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini.
Berbagai lembaga survei di Indonesia telah memprediksi bahwa calon presiden yang sejauh ini paling unggul, yakni Prabowo Subianto, dan calon wakil presidennya, Gibran Rakabuming Raka, kemungkinan besar akan memenangkan putaran pertama. Namun, masih belum bisa diprediksi apakah pasangan ini akan mendapatkan cukup suara untuk memenangkan pemilu satu putaran atau akan terpaksa ikut maju di putaran kedua.
Mereka bersaing dengan dua pasangan calon (paslon) lainnya - Anies Baswedan, mantan gubernur Jakarta, dan pasangannya, Muhaimin Iskandar; dan Ganjar Pranowo, mantan gubernur Jawa Tengah, dan pasangannya, Mahfud MD.
Sebuah lembaga survei yang kredibel, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), memprediksi Prabowo akan mampu meraih kemenangan di putaran pertama dengan perolehan suara 50,7%. Hal ini berdasarkan pada survei LSI terhadap 1.200 responden.
Lembaga survei Indikator, yang juga dianggap kredible, menunjukkan hasil survei mereka bahwa Prabowo meraih 56,2% suara di Jawa Timur, provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak kedua setelah Jawa Barat.
Proyeksi terbaru Indikator juga sedikit merevisi survei nasional sebelumnya yang menunjukkan bahwa kans Prabowo untuk memenangkan pemilu satu putaran sangat besar.
Terlepas dari deretan prediksi lembaga-lembaga survei, masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa Prabowo akan memenangkan pilpres dalam satu putaran. Setidaknya ada dua alasan untuk hal ini.
Pertama, survei tetaplah survei, yakni pengambilan sampel dari sejumlah kecil orang untuk memprediksi preferensi seluruh populasi.
Berdasarkan kinerja mereka sejauh ini, memang susah membayangkan jika lembaga survei kredibel seperti Indikator dan LSI melakukan kesalahan dalam metode mereka. Terlebih lagi, mereka pasti telah melakukan segala hal yang diperlukan guna mendapatkan hasil yang paling akurat.
Namun, mereka mungkin tidak bisa menangkap gambaran yang lebih besar secara akurat. Ini karena sifat pemilih cenderung bervariasi.
Read more: A third of Indonesian voters bribed during election – how and why
Berbeda dengan sindiran para penganut teori konspirasi mengenai kredibilitas lembaga survei di Indonesia, survei nasional hanyalah sebuah potret representatif yang didasarkan pada pengambilan sampel dari sejumlah kecil pemilih. Inilah sebabnya mengapa ada margin of error.
Sebagai contoh, prediksi Indikator tentang dukungan untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pileg 2019. Beberapa minggu sebelum pemilu, Indikator memprediksi PKS akan mendapatkan 6% suara secara nasional. Kenyataannya, partai ini mendapatkan 8,21%.
Prediksi Indikator masih berada dalam batas kesalahan 2,9%, yang berarti model tersebut bekerja sebagaimana mestinya.
Pada pemilihan tahun ini, PKS mendukung Anies. Dengan pemilih PKS yang terkonsentrasi di beberapa daerah, perolehan suara Anies sebenarnya bisa jadi lebih tinggi dari yang tercermin dalam jajak pendapat. Dengan demikian, total suara yang diterima oleh Prabowo mungkin cukup bervariasi dan itu bisa menghalanginya memenangkan pemilu satu putaran.
Selain itu, bahkan sampai saat ini pun, masih ada sejumlah besar pemilih (sekitar 5,78% secara nasional dan 12,1% di Jawa Timur) yang masih belum menentukan pilihannya.
Kedua, masih terlalu dini untuk menyatakan Prabowo akan memenangkan Pilpres, karena faktanya para kandidat masih dapat melakukan kesalahan (blunder) dalam dua minggu terakhir, yang dapat berdampak pada peluang kemenangan mereka.
Dalam debat cawapres terakhir, misalnya, Gibran mendapatkan sentimen negatif yang signifikan dari publik akibat bersikap seakan tidak menghormati Mahfud, seorang profesor berpengalaman yang jauh lebih tua darinya. Sikap tidak hormat kepada orang yang lebih tua masih tidak disukai di Indonesia yang kental dengan norma budaya konservatif.
Belum bisa diprediksi juga berapa banyak suara yang mungkin hilang dari Prabowo karena sikap Gibran tersebut, tetapi bukti anekdot menunjukkan adanya ketidaksukaan terhadap Gibran di antara beberapa kelompok pemilih, terutama etnis Madura, etnis asal Mahfud.
Masalah etika seputar pasangan Prabowo-Gibran juga terus membayangi reputasi mereka di mata publik.
Gibran merupakan putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang saat ini berusia 36 tahun. Ia mencalonkan diri setelah putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan batas usia capres dan cawapres menjadi di bawah 40 tahun. MK pada saat itu dipimpin oleh adik ipar Jokowi, Anwar Usman, yang kemudian diturunkan jabatannya oleh Majelis Kehormatan MK karena pelanggaran etik setelah adanya protes dari masyarakat.
Ada juga kekhawatiran yang berkembang bahwa Jokowi menyalahgunakan kekuasaannya untuk memenangkan putranya. Sebagai contoh, Jokowi menaikkan gaji pegawai negeri sipil dan perwira militer pada akhir Januari lalu, yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai upaya untuk memengaruhi suara atau keberpihakan mereka.
Beberapa analis juga mempertanyakan perubahan Jokowi yang menjadi otoriter dalam beberapa minggu terakhir. Ini memicu lawan-lawan Prabowo untuk melihat pemilu ini sebagai pilihan penting antara demokrasi dan otoritarianisme.
Anies bahkan mengangkat isu ini dalam debat pertama sebagai upaya untuk membingkai pemilu ini-yang jelas menjadi strategi untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Baru-baru ini, para profesor di berbagai universitas di seluruh Indonesia juga ikut menyampaikan keprihatinan mereka atas langkah politik Jokowi.
Mengingat tidak ada satu pun survei terbaru yang secara kuat mengindikasikan kemenangan Prabowo secara langsung, putaran kedua dalam pilpres kali ini masih sangat mungkin terjadi. Bahkan, akan semakin mungkin terjadi jika Prabowo atau Gibran melakukan kesalahan lain dalam beberapa hari mendatang.
Dengan pemilu yang sudah semakin dekat, Prabowo dan timnya seharusnya fokus untuk memenangkan pemilu putaran pertama lebih dulu, daripada terlalu percaya diri dan mungkin justru kalah di putaran kedua.