Menu Close

Pro-kontra pengunduran diri CPNS: Refleksi perlunya perbaikan sistem keamanan kerja, agar PNS tidak lagi jadi satu-satunya karir idaman mertua

Peresmian dan penyerahan SK CPNS dan PPPK Provinsi Sumatera Selatan.
Sejumlah Calon Pegawai Negara Sipil (CPNS). Nova Wahyudi/Antara Foto

Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengumumkan, per tanggal 26 Mei 2022, ada kurang lebih 105 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun anggaran 2021 yang mengundurkan diri.

Dalihnya mulai dari pemasukan yang tidak sesuai harapan, termasuk gaji dan tunjangan, lokasi penempatan yang kurang diharapkan, memperoleh kesempatan kerja di tempat lain, sampai kehilangan motivasi.

Fenomena ini kemudian menimbulkan berbagai reaksi dari warganet. Dilansir dari Instagram resmi BKN (@bkngoidofficial), sebagian besar publik menyayangkan keputusan 105 orang CPNS tersebut.

Banyak warganet mengecam mereka dan berkomentar bahwa seharusnya kandidat CPNS “bersyukur sudah diterima” dan “sudah tahu risikonya” menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), di mana gaji dan tunjangannya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. PNS juga, berdasarkan hukum, harus bersedia ditempatkan di wilayah manapun di Indonesia.

Tidak heran jika situasi seperti ini menimbulkan pro kontra oleh publik, terlebih di saat menjadi PNS digadang-gadang sebagai “profesi idaman calon mertua”. Jenjang karir yang jelas, gaji yang tetap, dan jaminan hari tua, disinyalir menjadi alasan mengapa menjadi PNS dianggap sebagai karir idaman.

PNS: Karir idaman dan teraman

Banyak masyarakat menganggap bahwa para CPNS seharusnya bersyukur karena tidak semua orang bisa ada di posisi mereka. Sebagian besar publik meyakini bahwa menjadi PNS adalah karir yang bagus karena keamanan kerjanya (job security) terjamin.

Menurut Business Dictionary, keamanan kerja dapat juga disebut kepastian kerja, yaitu kepastian yang diterima oleh seorang karyawan terhadap keberlanjutan dirinya dalam bekerja di perusahaan tertentu yang dipengaruhi oleh preferensi individu dan juga kondisi ekonomi secara umum.

Di Indonesia, kebanyakan perusahaan swasta atau lembaga swadaya masyarakat belum bisa sepenuhnya menjamin keamanan kerja para pekerjanya.

Kondisi ini diperparah dengan implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang sama dengan pekerja kontrak.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, tidak adanya kejelasan kapan pekerja PKWT diangkat menjadi karyawan tetap atau pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) mengurangi harapan pekerja untuk mendapatkan ketenangan terkait kepastian kerja.

Selaras dengan Iqbal, anggota Badan Legislasi DPR Obon Tabroni mengungkapkan diangkatnya seseorang menjadi karyawan tetap merupakan hal penting agar perusahaan atau institusi tidak mudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Angka PHK Indonesia 2014-2020. Lokadata

Kekhawatiran publik terhadap ketidakpastian keamanan kerja juga diperparah oleh situasi pandemi.

Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (diolah oleh Lokadata), mencatat angka pengangguran yang sempat menurun dari 2014-2019 kembali naik signifikan pada 2020 akibat pandemi. Tidak kurang dari 29,12 juta orang terdampak oleh COVID-19, termasuk 2,56 juta terkena PHK dan sisanya mengalami pengurangan jam kerja.

Berkaca dari kondisi keamanan dan jaminan kerja yang serba tidak pasti, menjadi PNS dianggap menjadi opsi terbaik yang diminati masyarakat. Walaupun PNS masih tetap memiliki resiko pemecatan, paling tidak PNS lebih susah dipecat ketimbang karyawan perusahaan swasta.

Hal ini tentunya karena perbedaan undang-undang yang melindunginya.

Kontrak kerja pegawai swasta mengacu pada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian direvisi ke dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sementara, PNS bernaung di bawah pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang secara ketat mengatur pemberhentian atau pemecatan PNS.

Menurut UU ASN, PNS dapat diberhentikan dengan hormat untuk alasan meninggal dunia, permintaan sendiri, pensiun, kebijakan perampingan organisasi atau pensiun dini, dan tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas.

PNS juga dapat diberhentikan secara tidak hormat untuk alasan pelanggaran disiplin berat, menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945, dihukum penjara atas kasus yang berhubungan dengan jabatan, bergabung dengan partai politik, atau dihukum penjara karena melakukan tindak pidana dengan sanksi penjara minimum 2 (dua) tahun, dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

Berdasarkan aturan tersebut, jelas bahwa PNS tidak serta merta bisa di-PHK. Hal ini terlepas apakah iklim industri sedang menurun akibat kondisi kahar atau preferensi institusi tempat bekerja untuk memutuskan hubungan kerja.

Sebagai ilustrasi, saat PHK marak terjadi pada masa pandemi, pada 2021 dan 2022 PNS justru memperoleh tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13.

Memang, PNS yang berkondisi tidak cakap jasmani maupun rohani bisa diberhentikan. Namun, perbedaannya dengan pekerja swasta adalah, PNS dapat terhindar dari penilaian subyektif institusi tempat dia bekerja, keadaan gawat seperti pandemi, dan habis masa kontrak.

Bahkan, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, mengakui PNS memang susah dipecat meski tidak produktif.

PNS memang bisa diberhentikan dengan alasan lainnya. Namun, hal itupun harus melalui berbagai tahap hingga sampai pelanggaran disiplin berat.

Meredam pro-kontra publik

Reaksi kekecewaan publik terhadap pengunduran diri CPNS dan anggapan mereka tentang karir idaman sebagai PNS tidak bisa disalahkan. Kondisi ini seharusnya mendorong pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk berbenah dan memperbaiki sistem keamanan serta jaminan bagi pekerja di segala sektor.

Pertama dan utama, Kemenaker selaku aktor utama dalam isu ketenagakerjaan sebaiknya mengikuti rekomendasi International Labor Organization (ILO) untuk menegakkan fungsi pengawasan. Misalnya dengan mendorong praktik berbagi informasi dan pertukaran praktik-praktik yang baik di antara perusahaan, menstimulasi dialog antara pengusaha dan pekerja, dan memberikan pekerja pemahaman yang lebih baik mengenai hak-hak mereka.

Harapannya, peningkatan pengawasan dapat meningkatkan keamanan kerja bagi pekerja, sehingga publik tidak lagi mengganggap bahwa menjadi pegawai swasta, atau profesi lainnya, “tidak seaman” menjadi PNS.

Kedua, media dapat berperan sebagai aktor yang memberikan informasi secara komprehensif dan berimbang, sehingga publik memiliki berbagai perspektif dalam menanggapi fenomena ini.

Terakhir, guna meredam kekecewaan publik, BKN sebaiknya konsisten menegakkan pasal 54 Permenpanrb No. 27 tahun 2021 tentang PNS, yakni memastikan bahwa kandidat CPNS yang telah memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP) yang mengundurkan diri atas permintaan sendiri dilarang untuk mendaftar kembali pada seleksi rekrutmen CPNS berikutnya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,300 academics and researchers from 4,953 institutions.

Register now