Menu Close

Protes pemaksaan hijab di Iran: feminis berseru agar dunia Arab bertindak

Seorang perempuan berteriak dan mengangkat rambut dan gunting di antara sekelompok perempuan yang bertepuk tangan
Solidaritas: seorang perempuan menggunting rambutnya di luar kedutaan Iran di Istanbul untuk mendukung perempuan Iran yang memprotes hukum hijab. EPA-EFE/Erdem Sahin

Hingga saat ini, sejumlah aksi protes dan kerusuhan masih berlangsung di seluruh penjuru Iran, terhitung sejak insiden kematian Mahsa Amini September lalu.

Perempuan berusia 22 tahun itu ditangkap oleh Polisi Moral Iran karena dianggap tidak menggunakan hijab “dengan benar”. Ia diduga tewas dalam tahanan setelah dipukuli oleh otoritas tersebut.

Kepolisian Iran justru bertindak keras terhadap massa yang melakukan aksi protes – sebagian besar adalah perempuan yang membakar hijab mereka untuk menunjukkan perlawanan terhadap undang-undang yang memaksa perempuan untuk mengenakan hijab. Sedikitnya tujuh orang dilaporkan tewas dan pemerintah juga mematikan jaringan internet hampir di seluruh negeri.

Di dunia Arab – termasuk di Irak, tempat saya dibesarkan – para perempuan berkumpul secara daring untuk menunjukkan rasa solidaritas kepada perempuan-perempuan Iran yang tengah berjuang melawan kerasnya rezim teokratis.

Pemaksaan untuk mengenakan hijab dan upaya mengontrol tubuh dan pikiran perempuan tak hanya terjadi di Iran. Fenomena ini pun ditemui di banyak negara, dalam bentuk dan tingkatan yang berbeda-beda.

Tidak seperti di Iran, pemakaian hijab secara paksa justru merupakan sesuatu yang inkonstitusional di Irak. Namun, aturan terkait pun kerap masih ambigu dan kontradiktif dengan ketentuan konstitusi. Akibatnya, banyak produk hukum yang justru mengarah ke pemaksaan berhijab.

Sejak tahun 1990-an, ketika Saddam Hussein meluncurkan Kampanye Iman sebagai tanggapan atas sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh dewan keamanan PBB, tekanan pada perempuan untuk memakai hijab makin meluas. Setelah invasi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) di Irak, situasi memburuk karena pemerintahaan dikuasai partai-partai Islam yang banyak di antaranya memiliki hubungan dekat dengan Iran.

Bertentangan dengan klaim presiden AS, George W. Bush, pada tahun 2004 bahwa rakyat Irak “sekarang mempelajari berkah kebebasan,” perempuan justru menanggung beban berat patriarki yang diabadikan oleh Islamisme, militerisasi dan kesukuan, serta diperburuk oleh pengaruh Iran.

Sejak tahun 2003, keluar rumah tanpa hijab menjadi perjuangan sehari-hari bagi saya dan para perempuan di Baghdad, Irak. Saya harus mengenakan hijab untuk melindungi diri tiap kali saya memasuki lingkungan konservatif, terutama selama tahun-tahun masa terjadinya konflik sektarian.

Ingatan tentang poster dan spanduk pro-hijab di universitas tempat saya menempuh pendidikan selalu menghantui saya. Situasi seperti itu berlangsung selama dua dekade. Banyak juga laporan tentang pemaksaan penggunaan hijab pada anak-anak perempuan di sekolah dasar dan menengah.

Kampanye menentang penggunaan hijab secara paksa di sekolah umum Irak kemudian muncul di media sosial. Natheer Isaa, seorang aktivis terkemuka dari organisasi Women for Women yang memimpin kampanye, mengatakan kepada saya bahwa banyak masyarakat dan kelompok konservatif yang mempertahankan kewajiban penggunaan hijab, sehingga reaksi perlawanan mungkin terjadi.

Kampanye-kampanye yang menentang kewajiban berhijab lalu terhenti karena para aktivis mendapat ancaman dan serangan di dunia maya. Warganet yang membuat unggahan di media sosial dengan tagar kampanye #notocompulsoryhijab (menolak hijab yang diwajibkan) dituduh anti-Islam.

Tuduhan serupa juga ditujukan pada perempuan Iran yang menentang rezim konservatif dengan melepas atau membakar hijab mereka. Ulama Syiah Irak, Ayad Jamal al-Dinn, mengecam aksi protes melalui akun Twitter-nya. Ia melabeli perempuan Iran yang menyuarakan pendapatnya sebagai “pelacur anti-hijab” yang berusaha menghancurkan Islam dan budaya.

Kelompok cyberfeminism dan laki-laki reaksioner

Dalam penelitian etnografi digital saya tentang cyberfeminism (feminisme di dunia digital) di Irak dan negara lain, saya menemukan banyak reaksi serupa terhadap perempuan yang mempertanyakan hijab atau memutuskan untuk melepasnya.

Perempuan-perempuan yang menggunakan akun media sosial mereka untuk menolak hijab sering kali mendapat serangan dan ancaman bersifat seksis yang bertujuan mempermalukan dan membungkam mereka.

Reaksi paling keras diterima oleh mereka yang secara terbuka menyuarakan keputusan mereka untuk melepas hijab. Ini karena, bagi banyak kelompok Islam konservatif, hijab dianggap kehormatan dan kesucian perempuan, sehingga melepasnya dianggap sebagai kesesatan.

Kepalan tangan di sebelah gambar wanita muda berhijab.
Mahsa Amini, perempuan Iran berusia 22 tahun, meninggal dunia dalam tahanan setelah ditangkap karena mengenakan hijab dengan ‘cara yang tidak pantas’. EPA-EFE/ Clemens Bilan

Perjuangan perempuan di negara-negara yang memaksakan hijab dan reaksi yang mereka hadapi sangat berlawanan dengan narasi budaya yang mengatakan bahwa mengenakan hijab merupakan pilihan bebas. Saat banyak perempuan bisa dengan bebas memutuskan pilihan mereka untuk memakai hijab, ada pula perempuan-perempuan lain yang justru dipaksa memakainya.

Oleh karena itu, para akademisi perlu meninjau kembali wacana seputar hijab dan mempertimbangkan kondisi sebelum menyatakan apakah penggunaannya wajib atau tidak.

Penting juga untuk menghindari dikotomi yang salah antara ‘budaya versus agama’ atau ‘lokal versus barat’, karena pemahaman ini akan semakin merancukan akar penyebab pemaksaan hijab.

Dalam penelitian akademisnya tentang kekerasan berbasis gender dalam konteks Timur Tengah, akademisi feminis Nadje al-Ali menekankan perlunya melepaskan dikotomi tersebut dan mulai mengenali berbagai dinamika kekuatan kompleks di dalamnya – baik lokal maupun internasional.

Isu pemaksaan hijab pada perempuan di masyarakat konservatif harus menjadi inti dari setiap diskusi tentang perjuangan perempuan yang lebih luas untuk mencapai kebebasan dan keadilan sosial.

Amarah perempuan Iran terhadap kewajiban mengenakan hijab merupakan bagian dari perjuangan perempuan yang lebih luas untuk melawan rezim konservatif otokratis dan lingkungan sosial yang merampas hak mereka. Kemarahan yang terjadi di Iran dan Irak mengajak kita untuk menantang hukum tentang kewajiban berhijab serta pihak-pihak yang memaksakannya pada perempuan.

Seperti yang dikatakan oleh seorang aktivis perempuan Irak kepada saya: “Bagi banyak dari kita, hijab seperti gerbang penjara, dan kita merupakan tahanan yang tidak terlihat.” Penting bagi media dan aktivis internasional untuk mengangkat perjuangan mereka tanpa mengikuti narasi bahwa perempuan Muslim perlu diselamatkan oleh komunitas internasional.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now