Menu Close

Putin dicap penjahat perang: Menyoal wewenang dan standar ganda ICC – apa dampaknya bagi Rusia dan dunia?

Presiden Rusia Vladimir Putin. Kantor Eksekutif Presiden Rusia

Pada 17 Maret 2023, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) di Den Haag, Belanda, mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin.

Putin, beserta Komisioner Hak Anak di Kantor Presiden Rusia, Maria Lvova-Belova, diduga melakukan kejahatan perang terkait deportasi ilegal terhadap anak-anak Ukraina ke wilayah Rusia.

Keputusan ICC ini menimbulkan beragam respons dari penjuru dunia. Rusia langsung merespons cukup keras dalam bentuk ancaman nuklir dan bentuk simbolik melalui kunjungan Putin ke Krimea.

Banyak negara yang berbeda pandangan dalam hal ini, terutama terkait kemungkinan penangkapan Putin bila ia berkunjung ke negara anggota ICC, seperti Afrika Selatan.

Di Indonesia dan beberapa negara lainnya, masih banyak pakar yang mempersoalkan kewenangan ICC untuk memutus hal-hal terkait perang Rusia-Ukraina.

Meskipun rumit, ICC pada dasarnya memiliki kewenangan untuk memutus hal tersebut. Yang jadi permasalahan adalah dalam implementasinya, ICC masih menerapkan standar ganda, terutama pada negara-negara besar. Padahal, putusan ICC berdampak luas bagi Rusia sendiri maupun bagi banyak negara di seluruh dunia.

Konteks hubungan ICC dengan Rusia

Perlu diketahui bahwa keputusan ICC terhadap Rusia ini bukan yang pertama kalinya.

Pada tahun 2016, ICC memulai investigasi terhadap kemungkinan kejahatan perang yang terjadi dalam perang Rusia-Georgia 2008. Pada 2022, investigasi tersebut menghasilkan perintah penangkapan bagi tiga orang pejabat di pemerintahan separatis Ossetia Selatan yang didukung oleh Rusia. Ossetia Selatan merupakan salah satu pusat konflik Rusia-Georgia.

Pada 2016 pula, ICC mengeluarkan laporan bahwa aneksasi Krimea oleh Rusia merupakan bentuk pendudukan oleh satu negara pada negara lainnya, dan konflik di Krimea maupun di Ukraina Timur merupakan konflik bersenjata internasional.

Ini berarti aturan hukum mengenai perang berlaku untuk konflik tersebut sehingga ICC memiliki kewenangan memutuskan kemungkinan kejahatan perang yang terjadi. Laporan 2016 tersebut menjadi dasar ICC untuk terlibat dalam situasi di Ukraina saat ini.

Kewenangan ICC dalam invasi Rusia di Ukraina

Beberapa pakar di Indonesia merasa bahwa ICC tidak memiliki kewenangan dalam konflik antara Rusia dan Ukraina, karena kedua negara tersebut tidak menandatangani Statuta Roma (perjanjian internasional yang menjadi dasar pendirian ICC). Argumen semacam ini menunjukkan kurangnya pemahaman mereka terhadap mekanisme kerja ICC.

Berdasarkan Pasal 12 Statuta Roma, yurisdiksi ICC bisa berlaku apabila tempat terjadinya kejahatan perang adalah negara yang menjadi anggota ICC atau negara yang, walaupun bukan anggota, telah mengakui kewenangan ICC.

Dalam pasal 13-14 disebutkan pula bahwa ICC bisa menerapkan kewenangannya bila ada rekomendasi dari negara yang menjadi anggota bahwa telah terjadi kejahatan perang di satu wilayah.

Dalam konteks invasi Rusia ke Ukraina yang sudah berlangsung sejak 2014, kewenangan ICC muncul akibat adanya keputusan Ukraina untuk mengakui yurisdiksi ICC. Keputusan Ukraina itu didorong oleh Krisis Maidan pada 2014 serta kejahatan perang di Krimea dan Ukraina Timur.

Inilah mengapa ICC memiliki kewenangan akan kejahatan perang yang kemungkinan terjadi di wilayah Ukraina, walaupun Ukraina bukan merupakan anggota dari ICC.

Sementara itu, walaupun Rusia sejak awal tidak pernah meratifikasi Statuta Roma dan telah membatalkan keikutsertaannya dalam ICC pada 2016, ICC tetap memiliki yurisdiski mengadili warga Rusia yang dianggap melakukan kejahatan perang di wilayah Ukraina. Ini karena negara-negara anggota ICC telah memberikan rekomendasi kepada Mahkamah tersebut mengenai kemungkinan terjadinya kejahatan perang oleh Rusia dalam invasinya ke Ukraina.

Per 1 April 2022, ada 42 negara yang memberikan rekomendasi, mulai dari negara-negara Uni Eropa sampai Amerika Latin seperti Kolombia, Kosta Rika, dan Chili.

Dari penjabaran di atas, jelas bahwa ICC memiliki kewenangan dan yurisdiksi terkait kejahatan perang di wilayah Ukraina, dan seberapapun Rusia (serta sekutu dan simpatisannya) berusaha mengatakan sebaliknya, aturan internasional telah memberikan arahan yang jelas.

Standar ganda ICC, tidak mampu melawan negara besar

Keberadaan yurisdiksi tersebut tidak lantas membuat ICC akan mampu menangkap dan menghukum Presiden Putin. Bagaimanapun, Rusia adalah negara besar pemegang veto di Dewan Keamanan PBB. Selain itu, Putin selalu bisa menghindari kunjungan ke negara-negara anggota ICC.

Bahkan, negara-negara anggota ICC pun bisa memilih untuk tidak menangkap Putin, seperti ketika Afrika Selatan menolak menangkap pemimpin Sudan, Omar Al-Bashir, yang sedang berkunjung ke sana pada 2015.

Banyak pihak juga sudah mempertanyakan standar ganda ICC yang tidak menangkap mantan Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush, maupun mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, terkait invasi mereka ke Irak pada 2003.

Dalam konteks tersebut, perlu diingat bahwa “two wrongs don’t make a right.” Pelanggaran yang dilakukan pihak lain tidak kemudian membuat kita memiliki hak untuk melanggar aturan juga.

Tidak ditangkapnya George Bush terkait kemungkinan pelanggaran hukum perang karena AS merasa bukan anggota ICC, tidak lantas memberikan ruang bagi Rusia untuk melanggar hukum perang. Hipokritas AS di Irak dan Afghanistan tidak lantas membuat apa yang dilakukan Rusia menjadi benar.

Bahwa ICC cukup sulit menindak negara kekuatan menengah seperti Afrika Selatan - karena tidak menjalankan kewajibannya menangkap tersangka - serta negara besar seperti AS maupun Rusia, justru menjadikan keputusannya terkait Putin penting maknanya.

Makna dan dampak keputusan ICC bagi Rusia dan dunia

Secara simbolik, ditetapkannya Putin sebagai tersangka dan diterbitkannya perintah penangkapannya memiliki tiga makna, yakni bagi Rusia, bagi negara-negara yang masih berusaha netral, serta bagi tatanan global.

Bagi Rusia, terutama kelompok elit dan masyarakatnya, keputusan ICC ini menunjukkan bahwa tidak ada jalan keluar bagi Rusia jika mereka masih ingin menjadi bagian dari komunitas internasional. Laporan terakhir media independen Meduza menyebutkan bahwa para elit politik Rusia terkejut dan terpecah belah dalam menanggapi keputusan ICC.

Hanya ada dua pilihan saat ini. Pilihan pertama adalah melakukan perubahan di dalam negeri, baik dalam bentuk perubahan rezim maupun perubahan arah kebijakan. Pilihan kedua adalah menjadi semakin terisolasi dan berisiko dianggap sebagai rogue state (istilah untuk negara berbahaya yang mengancam keamanan dunia).

Bagi negara-negara yang masih berusaha bersikap netral seperti Brasil dan Afrika Selatan, putusan tersebut membuat mereka harus mengambil sikap yang lebih jelas terkait hubungan diplomatik mereka dengan Rusia, terutama jika mereka adalah anggota ICC.

Keputusan ini pun membuat negara-negara yang bukan anggota ICC, seperti Indonesia, India, dan Cina harus berpikir hati-hati ketika menerima kunjungan Putin maupun delegasi Rusia di masa mendatang. Ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi India, misalnya, yang menjadi tuan rumah G20 2023, atau bagi Afrika Selatan yang akan menyelenggarakan Konferensi BRICS (akronim dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan - lima negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat) Agustus tahun ini.

Negara yang terkesan membiarkan Putin berkunjung akan dicap sebagai negara yang membiarkan penjahat perang berkeliaran.

Terakhir, bagi tatanan dunia yang merujuk pada aturan dan norma internasional, keputusan ICC ini merupakan tonggak besar. Ini karena untuk pertama kalinya, ICC mengeluarkan keputusan yang terkait dengan negara besar dan konflik internasional.

Selama ini, ICC hanya mengeluarkan keputusan terkait negara-negara di Afrika dan konflik internal negara. Dengan memerintahkan penangkapan Putin, hal ini bisa menjadi preseden simbolik bahwa ICC sudah berani berupaya menjalankan tugasnya walaupun berhadapan dengan negara besar.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now