Menu Close
Redenominasi rupiah

Redenominasi rupiah: mengapa mengurangi jumlah nol tak urgen, tapi penting

Pada pertengahan Juli 2023, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak di kisaran Rp 15.000. Rumah tangga, pengusaha, investor, dan berbagai aspek masyarakat lainnya di Indonesia tentu sudah sangat lumrah dengan satuan mata uang rupiah yang memiliki denominasi ribuan.

Namun, apabila nilai tukar ini dilihat dari sisi sebaliknya, misalnya dari warga negara AS yang ingin berwisata ke Bali dan perlu menukarkan dolar mereka ke rupiah, kemungkinan mereka akan tercengang melihat kecilnya besarnya jumlah uang yang akan mereka dapat. Dengan asumsi nilai tukar per pertengahan Juli ini, maka Rp 1 akan dihargai hanya sebesar 0,00006 dolar AS akibat besarnya nominal rupiah yang digunakan dalam transaksi sehari-hari.

Kondisi tersebut memunculkan wacana penyederhanaan nilai mata uang rupiah dengan nominal yang lebih kecil atau yang kerap dikenal dengan redenominasi rupiah.

Redenominasi dengan menghilangkan satuan ribuan atau tiga angka nol awalnya diusulkan pada 2010 oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) yang menjabat pada saat itu, Darmin Nasution. Sempat senyap, wacana ini kembali muncul pada 2017 kala Gubernur BI Agus Martowardojo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Mata Uang kepada Presiden untuk kemudian diusulkan ke DPR.

Tidak menjadi prioritas, agenda ini kembali surut hingga muncul kembali dengan dimasukkannya RUU Redenominasi Mata Uang dalam program Legislasi Nasional Jangka Menengah 2020-2024, dengan target diberlakukan efektif pada tahun 2025.

Mengenal redenominasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/6/2023).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengangkat kembali wacana redenominasi rupiah yang sempat tercetus pada 2010. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym

Redenominasi adalah penyederhanaan mata uang tanpa mengurangi nilai tukarnya. Artinya, hanya jumlah digitnya saja yang dikurangi tanpa mereduksi kemampuannya membeli barang yang sama dengan sebelum nominalnya diperkecil.

Penyederhanaan nilai mata uang bukanlah hal baru. Tercatat, beberapa negara lain pernah melakukan redenominasi di masa lampau. Dalam satu abad terakhir, terdapat lebih dari 60 negara yang pernah melakukan redenominasi, diantaranya termasuk Turki pada 2005, Zimbabwe pada 2009, Venezuela pada 2008 dan 2018, Brasil pada 1994, dan Rusia pada 1998.

Namun, secara historis, berbagai negara yang melakukan redenominasi di masa lampau sebagian besar didorong oleh urgensi untuk menangani masalah hiperinflasi dan/atau sedang berada dalam kondisi perang.

Hiperinflasi, misalnya, menjadi faktor yang mendorong Zimbabwe melakukan redenominasi. Kondisi hiperinflasi terjadi ketika harga naik besar-besaran dan sangat cepat sehingga sulit dikontrol. Akibatnya, diperlukan lembaran uang yang jauh lebih banyak ketika membeli suatu barang.

Perang bisa menjadi faktor yang mendorong hiperinflasi. Kenaikan ongkos akibat biaya perang, terkurasnya tenaga kerja, serta terganggunya pasokan komoditas untuk kehidupan sehari-hari dapat mengerek kenaikan harga. Yugoslavia mengalami hiperinflasi ketika negara tersebut pecah dan berkonflik di era 1990-an, yang mendorong terjadinya redenominasi.

Indonesia tidak sedang berada dalam kondisi hiperinflasi dan secara objektif tidak memiliki urgensi yang cukup mendesak untuk melakukan redenominasi.

Lantas, mengapa harus dilakukan redenominasi rupiah?

Manfaat redenomisasi

Hal yang tidak urgen bukan berarti tidak penting.

Dalam konteks Indonesia, redenominasi memiliki beberapa manfaat.

Pertama, untuk memudahkan proses administrasi dan pencatatan terhadap seluruh aktivitas perekonomian dan keuangan yang menggunakan mata uang rupiah. Peningkatan efisiensi dari segi pencatatan keuangan ini tentu akan mengurangi potensi kesalahan pencatatan atau penyebutan angka pada besaran uang dalam rupiah.

Saat ini, indikator makroekonomi, fiskal, dan perbankan Indonesia sudah masuk dalam satuan ribuan triliun. Ini misalnya besaran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dana pihak ketiga (DPK) di perbankan nasional, kapitalisasi pasar modal, hingga satuan pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.

Apabila divisualisasikan, besaran angka-angka tersebut memiliki 15 angka nol setelah pembulatan. Skala ini tentu sangat mudah menimbulkan kebingungan dan kesalahan pencatatan.

Kedua, selain kemudahan pencatatan, redenominasi juga akan menghemat banyak angka dalam dokumen. Meski terlihat sepele, hal ini mampu mengurangi penggunaan tinta dan kertas.

Ketiga, menyelaraskan perekonomian Indonesia dengan negara-negara lain, terutama di tingkat regional dan membuat mata uang rupiah terasa bernilai seperti mata uang negara lain. Hal ini membuat rupiah terasa lebih ringkas dan mudah dipahami di mata internasional.

Tahapan dan ongkos redenomisasi

Bank Indonesia bertugas mengatur penerbitan dan penarikan rupiah sesuai kebutuhan masyarakat.
Bank Indonesia bertugas mengatur penerbitan dan penarikan rupiah sesuai kebutuhan masyarakat. Harismoyo/shutterstock

Bagaimana tahapannya?

Umumnya, bank sentral sebuah negara rutin mencetak uang sesuai kebutuhan masyarakat. Hal ini misalnya kebutuhan pertambahan uang baru karena pertumbuhan perekonomian atau karena pemusnahan uang yang sudah tak layak digunakan. Selain itu, uang juga memiliki masa edar, yang jika sudah tidak berlaku akan ditarik.

Ketika redenominasi terjadi, uang baru yang diterbitkan bisa saja sudah menggunakan satuan baru yang disederhanakan. Artinya, anggaran yang digunakan adalah sesuai dengan yang dikeluarkan bank sentral selama ini untuk menerbitkan uang. Sesuai dengan simulasi dan perhitungan yang dilakukan BI pada 2010 uang baru ini akan digunakan berdampingan dengan uang lama, sampai uang-uang lama tersebut sudah tak layak digunakan atau habis masa edarnya. Dalam simulasi tersebut, masa transisi diperkirakan berlangsung sekitar tujuh tahun.

Terlepas dari berbagai manfaatnya, proses redenominasi ini tentu membutuhkan persiapan dan biaya. Salah satu biaya utamanya adalah menu cost. Menu cost merupakan istilah dalam teori ekonomi, yang menggambarkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha dalam mengubah tingkat harga dalam menu yang ditawarkan kepada konsumen.

Namun, proses implementasi dan perubahan menu ini diduga tidak akan menjadi kendala yang signifikan. Sebab, restoran dan kafe sudah cukup banyak yang menyederhanakan harga produk yang mereka jual, seperti penulisan “15k” yang melambangkan harga Rp 15.000.

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah adanya potensi terjadinya inflasi. Ketakutan ini muncul dari adanya potensi pembulatan ke atas pada harga barang dan jasa pascaredenominasi. Sebagai contoh, penjual bisa saja membulatkan barang yang awalnya memiliki harga Rp 9.750, menjadi Rp 10 pascaredenominasi untuk mempermudah proses transaksi. Hal ini dapat diantisipasi oleh regulator dengan mengenalkan nominal sen serta mendorong secara lebih masif penggunaan transaksi dan uang digital.

Dengan melakukan transaksi digital, penjual tidak harus melakukan pembulatan ke atas terhadap harga barangnya. Sebab, konsumen dapat membayar secara persis besaran nominal harganya. Apalagi, adopsi teknologi digital dalam transaksi sehari-hari menunjukkan sinyal positif. Sebagai contoh, sistem pembayaran QRIS diterima cukup baik di masyarakat, bahkan hingga menyentuh level warung, pedagang kaki lima, dan UMKM.

Perlukah melakukan redenominasi?

Redenominasi rupiah bukanlah hal yang mendesak. Tapi, keberhasilan melakukan redenominasi tentu akan membawa banyak manfaat dan kemudahan dalam aktivitas ekonomi dari skala paling mikro hingga makro.

Beberapa faktor perlu diantisipasi dalam memulai pelaksanaan redenominasi. Seperti yang disampaikan BI, beberapa faktor makro untuk memastikan kesiapan melakukan redenominasi mencakup inflasi yang rendah dan stabil, pertumbuhan ekonomi yang terjaga, kondisi moneter dan keuangan yang stabil, adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat, serta kondisi sosial dan politik yang stabil. Dari sisi mikro, kesiapan dan komunikasi terhadap masyarakat, serta faktor pendukung seperti digitalisasi juga akan memiliki andil positif terhadap rencana redenominasi rupiah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now