Menu Close

Refleksi hari pendidikan nasional: mengurai permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dirayakan setiap tahun pada tanggal 2 Mei, bertepatan dengan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh penting yang berjuang demi hak pendidikan untuk semua lapisan masyarakat Indonesia.

Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, khususnya di tingkat perguruan tinggi, banyak sekali masalah yang timbul belakangan ini. Mulai dari kasus pencatutan nama yang dilakukan oleh Kumba Digdowiseiso, tagar #JanganJadiDosen yang membahas rendahnya gaji tenaga pengajar, hingga biaya kuliah yang semakin tinggi.

Untuk menggali lebih dalam mengenai permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia, dalam episode SuarAkademia edisi khusus Hari Pendidikan Nasional, kami berbincang dengan Abdil Mughis Mudhoffir, Humboldt research fellow dari GIGA Institute of Asian Studies, Australia.

Mughis berpendapat, muara dari permasalahan ini adalah kontrol yang berlebihan dari pemerintah ditengah era neoliberalisme.

Mughis menjelaskan bahwa kontrol negara mencakup berbagai aspek seperti anggaran pendidikan, pendanaan penelitian, manajemen perguruan tinggi, dan evaluasi kinerja. Hal ini menyebabkan kebijakan kampus yang terbit justru kental akan unsur politik daripada perkembangan kampus itu sendiri.

Situasi ini semakin rumit di tengah era neoliberalisme. Mughis menjelaskan bahwa neoliberalisasi yang diperkenalkan pada 1980-an memiliki tujuan untuk mengurangi kontrol negara dan intervensi dalam pendidikan tinggi, yang mengarah ke privatisasi kebijakan pendidikan tinggi.

Pergeseran ini bertujuan untuk membuat pendidikan tinggi lebih fleksibel, kompetitif, dan dapat diakses oleh investasi swasta. Namun privatisasi perguruan tinggi ini juga menimbulkan beberapa masalah, salah satunya kemungkinan penurunan akses untuk kelompok tertentu.

Dalam melihat situasi di Indonesia, Mughis menyoroti kompleksitas menyeimbangkan kapasitas akademik dengan pertimbangan politik. Mughis menunjukkan bahwa meski neoliberalisasi bertujuan untuk mengurangi kontrol negara, intervensi belum sepenuhnya hilang.

Karena itu, ia membahas juga pentingnya membangun kekuatan politik komunitas akademik sendiri untuk mendorong perubahan dan lebih mewakili kepentingan rakyat, serta mengembangkan keterampilan penelitian dan publikasi di antara para dosen.

Simak obrolan lengkapnya hanya di SuarAkademia–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,700 academics and researchers from 4,959 institutions.

Register now