Menu Close

Reshuffle kabinet: eks Panglima TNI jadi Menteri ATR/BPN, pakar ungkap pro-kontra pendekatan militerisme dalam konflik agraria

Presiden Joko Widodo menunjuk mantan Panglima TNI, Hadi Tjahjanto, sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam perombakan kabinet 15 Juni 2022.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto. Indrianto Eko Suwarso/Antara Foto

Belum genap setahun sejak purnatugas pada 17 November 2021 lalu, mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto kini kembali ke lingkaran pemerintahan.

Presiden Joko Widodo mengumumkan perombakan kabinet pada 15 Juni 2022 di Istana Merdeka, di mana Hadi ditunjuk menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menggantikan Sofyan Djalil.

Selain itu, Jokowi juga menunjuk Raja Juli Antoni, yang merupakan Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebagai Wakil Menteri ATR/BPN.

Penunjukkan Hadi sebagai Menteri ATR/BPN tersebut memunculkan banyak pertanyaan dari publik. Pasalnya, Hadi dianggap tidak memiliki keahlian dan pengalaman di bidang terkait.

Perjalanan karirnya didominasi oleh karir militer dan di bidang pertahanan, mulai dari institusi TNI Angkatan Udara, Kementerian Pertahanan, sampai akhirnya resmi menjadi Panglima TNI pada Desember 2017.

Kini, sebagai Menteri ATR/BPN, Hadi dihadapkan pada persoalan sekitar sertifikat tanah, tata ruang, sengketa lahan, serta agenda reforma agraria.

Sementara itu, Hadi pun mengakui bahwa ia ditugaskan oleh Jokowi untuk membantu proses pengurusan lahan di wilayah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.

Kami bertanya pada para akademisi dan peneliti terkait penunjukkan Hadi sebagai Menteri ATR/BPN dan apa yang bisa kita harapkan dari perombakan kabinet ini.

Jokowi nyaman dengan Hadi

Hendri Satrio, pakar dan dosen komunikasi politik dari Universitas Paramadina, mengatakan bahwa masyarakat tidak bisa selalu melihat penunjukkan seseorang sebagai menteri berdasarkan keahliannya karena penunjukkan menteri akan selalu bernuansa politik.

Hadi, misalnya, tidak bisa dinilai dari posisinya sebagai mantan Panglima TNI, tapi lebih sebagai orang dekat Jokowi.

“Jokowi nyaman dengan adanya Hadi. Bisa jadi Jokowi juga percaya dengan pendekatan militer Hadi, misalnya untuk memberantas mafia-mafia tanah. Jadi, bukan karena dia jago dalam bidang pertanahan, tapi soal kenyamanan Jokowi dan kompromi politik,” kata Hendri.

Sejalan dengan Hendri, Ario Wicaksono, Asisten Professor Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menekankan kentalnya nuansa politis dalam perombakan kabinet.

Menurut Ario, penunjukkan menteri atau wakil menteri memang harusnya diimbangi dengan pertimbangan teknokratis atau kapasitas profesional nama-nama yang bersangkutan.

Namun, kelihatannya keseimbangan pertimbangan politis dan teknokratis semakin timpang, terbukti dari lebih banyaknya politikus yang diberi jabatan dibanding teknokrat atau profesional di perombakan kabinet terbaru ini.

Dengan menunjuk figur-figur yang tidak punya keahlian di bidangnya, Jokowi terlihat lebih mengandalkan retorika politik dan kemampuan negosiasi para politisi untuk meredam ketidakpuasan publik.

“Biasanya, dibanding teknokrat, politikus dianggap memiliki kemampuan retoris yang ‘lebih baik’ untuk meyakinkan publik dan menumbuhkan kembali rasa percaya publik,” ujar Ario.

Ario juga menyoroti keberadaan wamen cenderung problematik. Hal ini karena portfolio Juli dirasa belum cocok dan tidak urgen dengan prioritas publik. Pada periode-periode sebelumnya, posisi wamen adalah posisi ‘balancing’ atau penyeimbang, sehingga mereka yang ditunjuk seharusnya adalah para teknokrat atau birokrat yang berpengalaman dan profesional yang dihadirkan untuk mengimbangi menterinya yang biasanya dari kalangan politisi.

“Namun, sekali lagi, tradisi keseimbangan itu kini telah bergeser untuk memberikan ruang kepada orang-orang terdekat Jokowi demi konsolidasi pemerintahan sehingga di 2024 nanti, Jokowi bisa melakukan transisi pemerintahan yang mulus dan meninggalkan legacy yang utuh,” kata Ario.

Sayangnya, dalam upaya meninggalkan legacy ini, menurut Ario, pemerintahan lagi-lagi bersifat elitis, yaitu dengan cara ‘mengamankan’ dukungan melalui elit-elitnya, bukan dengan pendekatan langsung ke rakyatnya.

Kekhawatiran pendekatan militerisme dalam penanganan konflik agraria

Kiagus M. Iqbal, peneliti dari Sajogyo Institute - Pusat Studi dan Dokumentasi Agraria Indonesia, menyoroti pendekatan militerisme yang masih menjadi masalah dalam penanganan masalah agraria di Indonesia, terutama terkait penanganan pembebasan lahan yang akan digunakan dalam pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Menurut Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2021, kepentingan militer, khususnya kepentingan pembangunan fasilitas militer, menjadi salah satu faktor adanya konflik kepentingan. Belum lagi maraknya kasus konflik agraria antara aparat keamanan yang dominan, berdasarkan laporan tersebut.

Iqbal juga menegaskan bahwa ditunjuknya eks militer sebagai Menteri ATR/BPN dikhawatirkan akan membawa indikator buruk, mengingat sejarah Dwifungsi ABRI di mana prajurit militer banyak mencampuri urusan masyarakat sipil dengan pendekatan keamanan konvensional yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Kami mengkhawatirkan semakin intensnya pendekatan militerisme ini diberlakukan dalam masalah agraria kita. Mestinya Jokowi mencari dan memilih orang yang memiliki dan menguasai pengetahuan tentang agraria dan kompleksitas permasalahan di dalamnya, karena sesungguhnya masih banyak orang-orang yang lebih kompeten dan memiliki latar belakang agraria,” kata Iqbal.

Kini, menurutnya, pertanyaan penting untuk sang jenderal adalah: apakah ia bisa menangani konflik struktural agraria di Indonesia, dengan begitu besarnya luas penguasaan lahan korporasi besar, seperti perkebunan sawit yang jumlahnya lebih luas dan merampas lahan pertanian yang dimiliki rakyat? Dan mampukah ia berpihak kepada rakyat, khususnya petani dan buruh tani?

“Perlu dicatat bahwa masalah reforma agraria terkait dengan kesejahteraan rakyat, khususnya kaum tani di Indonesia,” kata Iqbal.

Ketegasan militer diharapkan percepat reforma agraria

Di sisi lain, Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) justru menilai ada persepsi bahwa sosok yang berasal dari militer memiliki karakteristik yang tegas yang dibutuhkan untuk memerangi masalah mafia tanah yang semakin meresahkan.

Selain itu, Hadi juga diharapkan bisa menyelesaikan sengketa lahan baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pengembangan proyek-proyek strategis nasional, serta dapat menjembatani antara perusahaan swasta dengan masyarakat lokal maupun adat.

“Tetapi, sebagai Menteri ATR/BPN, Hadi tetap harus menggandeng pakar-pakar di bidang agraria untuk menuntaskan pekerjaan rumah besar Jokowi, yaitu percepatan dan penuntasan reforma agraria,” ujarnya.

Bhima mengharapkan bahwa persoalan lahan diselesaikan bukan hanya dengan membagikan sertifikat tanah secara besar-besaran, namun juga menekankan pentingnya Menteri ATR/BPN untuk berkontribusi pada kualitas pengembangan lahan hasil reforma agraria.

Penting juga bagi Hadi untuk memperhatikan isu mengenai bank tanah, mengingat banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah yang kesulitan mencari tanah untuk tempat tinggal akibat harga yang semakin tak terjangkau.

Ario juga sependapat bahwa citra militer masih dianggap sebagai ‘orang kuat dan tegas’, sehingga diharapkan Hadi bisa memberikan solusi yang lebih tegas terhadap isu-isu sensitif seperti mafia tanah dan reforma agraria.

Perkara bahwa apakah pada akhirnya mereka dapat melakukan tugasnya secara objektif dan efektif atau tidak, menurut Ario, itu akan menjadi perdebatan terpisah, karena sukses atau gagal adalah konsep politik yang definisinya tergantung dari yang mengucapkannya.

“Pada akhirnya, semuanya akan berujung kepada manajemen citra semata, bukan manajemen krisis,” kata Ario.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now