Menu Close
Proyek restorasi terumbu karang di Desa Sawandarek, Pulau Mansuar, Raja Ampat, Papua Barat. (Sumber: Kevin Sempé/The SEA People)

Riset: 84% proyek restorasi karang Indonesia tak terpantau, ada yang hancur berantakan

Ekosistem terumbu karang Indonesia saat ini tak seperti yang selalu digembar-gemborkan, yakni terindah dan terluas di dunia. Di banyak lokasi, kerusakan terjadi begitu hebat hingga membuat ekosistem ini tampak seperti kuburan bawah laut – tanpa warna, sepi, kelam, dan mencekam.

Laporan Status Kesehatan Terumbu Karang tahun 2019 yang dirilis oleh Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan hanya 6.4% saja, dari 1153 terumbu yang disurvey, masih dalam kategori bagus sekali – alias memiliki tutupan karang hidup lebih dari 75%. Mayoritas terumbu (71%) justru hanya memiliki tutupan karang hidup kurang dari 50%.

Guna memperbaiki keadaan tersebut, banyak pihak melirik proyek restorasi terumbu karang sebagai ajang unjuk komitmen pelestarian laut. Penelitian terbaru saya bersama tim yang terbit di jurnal Marine Policy menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kegiatan restorasi terumbu karang terbanyak di dunia. Totalnya ada 533 proyek yang tersebar di 29 provinsi selama 30 tahun terakhir (1990-2020).

Ratusan kegiatan ini telah menenggelamkan sekitar 120 ribu unit terumbu buatan dan 53 ribu rak transplantasi karang. Ada sekitar 1 juta potongan karang transplantasi yang ditempelkan pada unit-unit tersebut.

Sebagian besar (205 kegiatan) restorasi terumbu karang merupakan inisiatif pemerintah. Sementara sisanya merupakan bagian dari kegiatan perusahaan, universitas, dan lembaga swadaya masyarakat. Hampir semua kegiatan melibatkan masyarakat setempat.

Saya mengamati banyak penggagas kegiatan restorasi amat bangga dengan angka yang besar tersebut. Namun, di balik kebanggaan itu, studi kami justru menemukan ada tahapan vital yang justru terlupakan dalam ratusan proyek restorasi: monitoring atau pemantauan ulang.

Kondisi terumbu buatan berbentuk kubah di Pulau Menjangan Besar, Kepulauan Karimunjawa. Terumbu ini ditenggelamkan pada 2001, sedangkan pemantauan dilakukan pada 2005 (Sumber: Munasik dalam Prosiding Musyawarah Nasional Terumbu Karang II, Jakarta 2008) (Munasik)

Melalui studi berbasis telaah ekstensif hasil riset dan pencarian media, saya dan tim menemukan pemonitoran hanya berjalan di 85 dari total 533 proyek (16%). Sisanya merupakan kegiatan one-offs alias sekali jalan.

Tanpa pemantauan ulang, bagaimana kita bisa menakar kesuksesan program restorasi?

Rak transplantasi dan beton terumbu yang terbengkalai di perairan di utara Pulau Jawa (Sumber: Haifa Herfauzia Jasmin)

Saya mendapati di sejumlah perairan, sejumlah beton terumbu ini teronggok begitu saja di dasar laut, tanpa dihampiri larva-larva karang. Ada juga beton yang hancur berantakan karena material beton dan besi yang tak berkualitas. Kondisi tersebut akhirnya justru menambah suram penampilan kuburan-kuburan karang di bawah laut.

Mengapa proyek restorasi bisa gagal?

Upaya restorasi terumbu karang biasanya dilakukan dengan metode restorasi aktif. Caranya dengan menenggelamkan terumbu buatan (biasanya dari beton atau pipa-pipa baja berstruktur) dengan ragam bentuk tiga dimensi (3D) yang menyerupai ekosistem aslinya.

Setelah terumbu tenggelam, praktisi restorasi umumnya menempelkan potongan-potongan cabang karang sehat. Teknik ini disebut juga transplantasi karang.

Selain transplantasi, ada juga restorasi yang mengandalkan larva karang hasil reproduksi alami untuk menempel pada permukaan terumbu buatan.

Meski demikian, upaya restorasi tidak semudah menanam keladi di taman belakang rumah.

Dalam menanam tanaman di tanah, informasi untuk mengoptimalkan penanaman tanaman di medium tanah sudah lama berkembang dan terpetakan dengan baik. Informasi itu menghasilkan banyak rekayasa terkait kelembaban tanah, pemberian pupuk, intensitas cahaya matahari, dan sebagainya.

Sebaliknya, belum ada informasi sejenis untuk memastikan kesuksesan upaya menumbuhkan karang di dasar perairan laut. Hampir semua faktor alam di laut seperti arus laut, intensitas sinar matahari, suhu, ataupun salinitas, tidak bisa diatur maupun direkayasa.

Keberhasilan terumbu karang juga sangat dipengaruhi oleh baiknya kualitas perairan, seperti rak besi ini yang ditenggelamkan tahun 2018 dan sudah hampir seluruhnya ditutupi karang sehat. Desa Sawandarek, Pulau Mansuar, Raja Ampat (Sumber: Kevin Sempé/The SEA People)

Selain itu, laut sebagai suatu kesatuan alam yang sangat luas memiliki variasi spesifik per lokasi yang sulit ditentukan. Misalnya, kita sering menemui suatu teluk dengan keanekaragaman hayati terumbu karang yang tinggi. Namun di teluk lainnya yang tak jauh dari teluk tadi, kita tak menemui satu pun terumbu karang. Ini bisa terjadi karena pergerakan arus, nutrisi air laut, atau ketersediaan larva karang yang berbeda.

Karena itulah, beberapa hewan karang dari jenis yang sama bisa jadi membutuhkan spesifikasi lingkungan yang berbeda karena mereka hidup di kondisi perairan yang tak sama.

Selain faktor kondisi laut, teknik restorasi karang juga turut menentukan hasil kegiatan. Misalnya, di Pulau Menjangan, Kepulauan Karimunjawa, terumbu buatan diduga langsung ditenggelamkan dari kapal – tanpa diarahkan oleh penyelam. Akhirnya, alih-alih berhasil memulihkan ekosistem terumbu karang, cara itu justru merusak komunitas karang di kawasan tersebut.

Koordinasi yang perlu ditingkatkan

Para praktisi restorasi terumbu karang berusaha memberikan masukan-masukan guna perbaikan praktik restorasi di tanah air. Misalnya, oganisasi nirlaba Coral Triangle Centre (CTC) menggagas Indonesia Coral Reef Restoration Task Force di Bali. Ada juga School of Coral Reef Restorations (SCORES) yang diinisiasi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University.

Forum-forum ini menjadi sarana berbagi informasi seputar kegiatan restorasi terumbu karang dari para praktisi di berbagai lapisan seperti pemerintah, akademisi, perusahaan dan masyarakat lokal.

Harapannya, ilmu dan informasi yang sudah berjalan di lapangan dapat menjadi pembelajaran dan masukan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan kegiatan restorasi, sehingga tujuan utama restorasi terumbu karang, yaitu menumbuhkan kembali ekosistem yang telah rusak, bisa benar-benar tercapai.

Kegiatan restorasi gotong royong yang dilakukan oleh kelompok masyarakat Pokdarwis Tramena dan Pormaswas Gili Matra di Gili Trawangan, Lombok NTB (Sumber: Matla'ah/Pokdarwis Tramena)

Ada beberapa rekomendasi dari lapangan yang dapat mendukung suksesnya program restorasi dan kembalinya ekosistem terumbu karang. Misalnya, salah satu kunci sukses restorasi adalah pelibatan dan peran aktif masyarakat lokal (contohnya kasus dari Gili Trawangan, Lombok). Anggaran restorasi juga harus meliputi dana perawatan dan pemantauan (contohnya kasus dari Kapoposang, Sulawesi Selatan, dan Raja Ampat, Papua).

Wadah kolaborasi ini perlu dibentuk secara formal antara pemerintah, akademisi, dan praktisi restorasi. Harapannya, kebijakan pengelolaan dan restorasi terumbu karang benar-benar melibatkan hasil temuan ilmiah dan pengalaman di lapangan.

Proyek-proyek restorasi semestinya pun tak mengandalkan jasa-jasa konsultan yang memandang restorasi sebagai pemenuhan kriteria teknis semata, tanpa memedulikan kaidah-kaidah bioekologi terumbu karang.

Saat ini, Indonesia menjadi negara terdepan dari segi jumlah proyek restorasi. Berkaca dari antusiasme para praktisi dalam webinar SCORES dan CTC, saya merasa bukan hal yang mustahil kuantitas proyek restorasi juga dibarengi kualitas pemulihan ekosistem terumbu karang yang mumpuni.

Selain kolaborasi, restorasi terumbu karang juga semestinya didahului penyelesaian persoalan lingkungan pesisir seperti alih fungsi hutan mangrove, polusi perairan, pengelolaan sampah, maupun aktivitas pembangunan di sekitar pantai.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now