Menu Close
Sekelompok jurnalis perempuan di Semarang, Jawa Tengah, menggelar protes menuntut organisasi media agar ramah perempuan. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/Rei/ama/15.

Riset baru: pemimpin media perempuan bantu perjuangkan keadilan gender di Indonesia

Penelitian di seluruh dunia menggambarkan perjalanan karir jurnalis perempuan dalam dua metafora: ’atap kaca’ dan ’labirin’. Kedua metafora ini pada dasarnya memberikan gambaran suram tentang prospek karir perempuan dalam jurnalisme karena berbagai tantangan yang harus mereka hadapi, bukan hanya dari lingkungan sosialnya, namun juga organisasi media tempat mereka bekerja.

Metafora ’atap kaca’ menggambarkan para jurnalis perempuan yang terhambat karirnya ketika mereka di puncak karir, sedang metafora ’labirin’ adalah gambaran untuk mereka yang menghadapi berbagai tantangan di setiap langkah mereka dalam meniti karir.

Namun, sebuah penelitian baru, saya menjadi bagian dari tim riset, menggambarkan citra tangguh jurnalis perempuan di Indonesia.

Dengan mewawancarai 258 jurnalis perempuan di 118 organisasi media yang tersebar di 30 provinsi, hampir 60% dari responden memiliki posisi pemimpin, penelitian ini menemukan metafora baru yang menggambarkan perjalanan karir jurnalis perempuan di Indonesia layaknya seperti menaiki kereta luncur cepat (rollercoaster) yang menantang dan menakutkan. Bagi sebagian orang menikmati perjalanan ini, tapi ada juga yang ketakutan dan akhirnya meninggalkannya.

Ika Karlina Idris, associate professor dari Monash University di Indonesia yang memimpin studi ini menyebutkan bahwa penelitian ini penting karena menawarkan cara pandang alternatif terhadap kinerja jurnalis perempuan di luar konteks Barat.

“Penelitian di Indonesia dan Asia Tenggara cenderung mengadaptasi cara pandang Barat untuk menganalisis fenomena kepemimpinan perempuan di organisasi media. Sedangkan penelitian ini tidak hanya komprehensif tapi juga menawarkan perspektif baru terkait riset mengenai kepemimpinan perempuan, pengelolaan media massa, dan studi mengenai gender,” ujarnya.

Penelitian ini menyanggah narasi-narasi konvensional yang menunjukkan lemahnya jurnalis perempuan dalam dunia yang didominasi oleh laki-laki. Penelitian ini juga menunjukkan bagaimana pemimpin perempuan di sebuah media bisa memegang peran terpenting dalam memperjuangkan kesetaraan gender di organisasi media.

Perlawanan di semua lini

Penelitian ini menggunakan berbagai macam bentuk metodologi demi mendapatkan hasil yang akurat dalam memahami kepemimpinan perempuan di organisasi media di Indonesia.

Tim peneliti mengadakan survei, wawancara, diskusi kelompok terpumpun, dan autoetnografi sejak Maret hingga Mei di tahun ini. Untuk autoetnografi, tujuh responden menulis sebuah buku harian dan melaporkan aktivitas mingguan dan pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan.

Sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, survei ini mengidentifikasi enam rintangan pada perjalanan karir perempuan di sektor jurnalisme. Rintangan-rintangan ini datang dari masyarakat, struktur dan proses internal yang ada organisasi media, serta latar belakang, keahlian, dan persiapan karir para jurnalis.

Penelitian ini menyimpulkan kesulitan terbesar perempuan dalam karir jurnalistiknya datang dari organisasi mereka sendiri.

Hampir setengah dari responden mengakui budaya patriarkis organisasi di tempat mereka bekerja menghalangi karir mereka. Tantangan-tantangan ini menanamkan stereotip negatif dan perilaku diskriminatif terhadap perempuan, serta minimnya dukungan yang diberikan oleh perusahaan media terhadap jurnalis perempuan.

“Setelah melahirkan, bila tidak bekerja atau memproduksi sesuatu, perempuan dapat kehilangan pekerjaannya. Saya melihat banyak jurnalis perempuan akhirnya memilih untuk berhenti dari pekerjaan mereka setelah melahirkan karena waktu kerja yang padat,” ujar salah satu responden.

Jurnalis wanita di Tasikmalaya, Jawa Barat, membagikan bunga pada para pejalan kaki—dalam memperingati Hari Kartini. Kartini adalah pahlawan wanita Indonesia yang memperjuangkan hak-hak wanita. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/nz/17

Sepertiga jumlah responden mengakui tantangan juga datang karena ketidakmampuan mereka dalam memimpin atau karena keraguan mereka dalam memimpin. Banyak yang merasa yang ragu karena merasa mereka kurang percaya diri dan tidak banyak pengalaman. Mereka juga kekurangan figur perempuan yang dapat dijadikan panutan.

Selain tantangan-tantangan tersebut, penelitian ini menemukan bahwa kedua metafora di atas - atap kaca dan labirin - sama sekali tidak merepresentasikan perjalanan karir jurnalis perempuan di Indonesia.

Beberapa responden telah menunjukkan bagaimana jurnalis perempuan mampu mendapatkan posisi tertinggi dalam organisasi media, dan dengan posisi tersebut, dapat membantu mendukung perjuangan kesetaraan gender di tempat kerjanya.

Penelitian ini meyakini bahwa jurnalis perempuan yang memegang posisi tertinggi dalam organisasi media telah mendukung pembentukan kebijakan yang melindungi hak-hak perempuan, meski banyak tantangan-tantangan yang muncul dari lingkungan sosial, organisasi, dan juga masalah personal.

Beberapa bos perempuan ini bahkan telah memperkenalkan kebijakan yang ramah terhadap perempuan, di dalamnya termasuk dengan memberikan cuti haid dan cuti melahirkan baik perempuan dan laki-laki. Pemimpin-pemimpin perempuan juga menawarkan lebih banyak kesempatan untuk pekerja perempuan yang lain.

“Saat saya menjadi pemimpin redaksi di [salah satu media], saya berusaha agar komposisi perempuan yang duduk di level pimpinan seimbang dengan laki-laki. Ada 3 kanal [di organisasi kami] yang dipimpin oleh redaktur pelaksana perempuan. Dan bila kanal dipimpin redaktur pelaksana laki-laki, maka saya memilih perempuan menjadi wakilnya,” ujar salah satu responden.

Penelitian ini memaparkan bahwa metafora terbaik untuk menggambarkan perjalanan karir ini, adalah kereta luncur cepat, sebuah konsep yang diciptakan oleh Richard Stephens, seorang psikolog dari Keele University di Inggris.

Konsep roller-coaster Stephen memaknai sebuah pengalaman dapat memicu seseorang merespons sebuah masalah atau tantangan dengan tetap bertahan atau kabur dari masalah yang ada.

Dalam hal ini, semakin besar tantangannya, semakin besar pula imbalan yang akan didapatkan. Tantangan yang dirasakan dalam permainan bisa muncul dari lintasan keretanya, kecepatannya, kekuatan sabuk pengamannya, atau bentuk keretanya.

Sebagaimana perjalanan roller-coaster, para jurnalis perempuan ini mungkin akan menghadapi tantangan yang tidak seberapa di lintasan awalnya, namun sedikit demi sedikit, mereka akan menemukan lintasan yang sangat menantang adrenalin. Beberapa akan menikmati perjalanan ini, tapi beberapa yang lain bisa jadi akan memilih untuk meninggalkan permainan.

Yang dapat dilakukan

Penelitian ini menawarkan beberapa perubahan yang bisa dilakukan untuk memastikan jurnalis perempuan dapat menikmati perjalanan karir mereka — dengan segala tantangan yang dihadapi.

Dalam tingkat personal, banyak jurnalis, baik perempuan ataupun laki-laki, memiliki sedikit kesadaran akan isu ketimpangan gender dalam lingkungan kerja mereka. Untuk itu, penelitian ini menyarankan perusahaan media untuk menyediakan kursus dan pelatihan bagi stafnya.

Pemerintah dapat menekan isu ini dengan mengeluarkan aturan-aturan yang lebih ramah kepada perempuan, demi memastikan kesejahteraan jurnalis perempuan di lingkungan kerja mereka. Hal ini termasuk dengan hak cuti pasca kelahiran bagi perempuan dan juga laki-laki, cuti haid, dan peraturan yang melindungi staf perempuan dari kekerasan seksual.

Organisasi media juga perlu mengalokasikan pendanaan untuk memperkuat staf perempuan, menyediakan program pendampingan dan meningkatkan kepemimpinan mereka.

Pemerintah, organisasi media, dan lembaga non-pemerintah dapat berkolaborasi dalam menyediakan pendidikan berbasis gender kepada organisasi media di Indonesia.

Daftar inisiasi di atas, bila telah dilaksanakan oleh pemerintah, organisasi media, dan organisasi masyarakat, akan bisa membantu para jurnalis perempuan untuk dapat menikmati perjalanan karir yang layaknya seperti permainan kereta luncur cepat.


Elizarni yang terafiliasi dengan Beujoh, sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk Perempuan di Aceh, dan Ika Krismantari dari The Conversation Indonesia, terlibat dalam riset ini sebagai anggota tim yang mendapatkan bantuan dana dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Besar Belanda di Indonesia

Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now