Menu Close

Riset baru: pemulihan lapisan ozon turut meredam emisi CO₂ di atmosfer

Pada musim semi 2060, seorang bocah dengan topi lebar, kacamata hitam, dan kulit yang hanya sedikit terlindungi oleh sisa-sisa krim tabir surya (sunscreen) miliknya, tengah menatap hutan di seberang rumah.

Pepohonan itu terlihat kurus dan nyaris gersang. Pemandangannya jauh berbeda dengan yang pernah ia lihat sebelumnya di foto-foto lawas milik keluarganya.

Sang anak lalu menyadari, ia tidak bisa berlama-lama di luar rumah. Di ponselnya, indikator sinar ultraviolet (UV) sudah menembus 20 – empat kali lipat dari batas wajar sehingga berisiko tinggi merusak kulit.. Bocah itu kemudian buru-buru masuk ke rumah setelah lima menit berada di luar.

Syukurlah, ini bukan masa depan kita. Berkat upaya global yang dilakukan sejak tahun 80-an, lapisan ozon yang sempat menganga berhasil dipulihkan. Lapisan ini punya peran penting menyerap sinar UV matahari yang berbahaya.

Pada pertengahan 1970-an, para ilmuwan menyimpulkan bahwa kerusakan lapisan ozon terkait erat dengan lonjakan penggunaan senyawa organik klorofluorokarbon (CFC). Senyawa ini kerap digunakan untuk mendinginkan kulkas, maupun pendorong (propelan) dalam kaleng aerosol.

Menyadari temuan itu, pemimpin negara-negara di dunia pun berkumpul dan menyepakati Protokol Montreal pada 1987 untuk melarang produksi maupun penggunaan CFC. Perjanjian itu kemudian diperkuat dengan berbagai amandemen, dan saat ini telah diratifikasi oleh 197 negara dunia.

Saat ini, tingkat CFC di atmosfer telah mengalami penurunan. Perlahan-lahan, lapisan ozon kembali pulih.

Tumpukan sampah kaleng aerosol.
CFC banyak digunakan karena tak beracun dan tak mudah terbakar sehingga aman digunakan untuk keperluan rumah tangga hingga perawatan rambut. Joseph Sohm/Shutterstock

Tapi, apa yang terjadi jika Protokol Montreal tidak pernah disepakati? Bagaimana kondisi dunia selanjutnya?

Pertanyaan itu adalah subjek studi baru yang saya pimpin dengan tim peneliti internasional.

Para ilmuwan sebelumnya telah menunjukkan bahwa atmosfer dengan lapisan ozon yang tipis akan meningkatkan radiasi sinar UV sehingga beroptensi menimbulkan ribuan kasus kanker kulit. Efek lainnya adalah pemanasan iklim yang lebih parah karena CFC, di antaranya karbon dioksida (CO₂), juga merupakan gas rumah kaca.

Nah, riset kami berfokus pada apa yang dapat terjadi pada tumbuhan.

Seperti manusia, tumbuhan akan rusak ketika terpapar tingkat UV yang tinggi. Tumbuhan menyerap CO₂ saat tumbuh. Namun, saat radiasi UV meningkat 10%, tanaman justru menghasilkan 3% lebih sedikit biomassa sehingga kemampuan penyerapan karbonnya berkurang.

Tanpa Protokol Montreal, kami menaksir tingkat UV rata-rata global akan 4,5 kali lebih tinggi di akhir abad ini. Kami juga memperkirakan, pada 2050, radiasi sinar UV di Eropa, Asia, dan Amerika Utara akan lebih tinggi ketimbang radiasi di daerah tropis saat ini.

Artinya, akan lebih banyak CO₂ dari aktivitas manusia yang naik ke atmosfer ketimbang terperangkap di dalam tanaman dan tanah. Fernomena itu akan mempercepat pemanasan global.

Dunia tanpa Protokol Montreal

Kami melakukan simulasi komputer dan menyusun model iklim bumi, susunan kimia di atmosfer, vegetasi dan siklus karbon – untuk dua kondisi dunia yang berbeda.

Simulasi pertama berdasarkan asumsi bahwa makalah tahun 1974 yang mengandung temuan ilmiah penting tentang bahaya CFC, tidak pernah dipublikasikan, sehingga penggunaannya meningkat 3% per tahun.

Sedangkan dalam simulasi kedua, tingkat CFC di dunia berhasil dikendalikan dan lapisan ozon pulih. Kondisi itu adalah keadaan dunia kita saat ini.

Di luar tingkat CFC yang berbeda, simulasi dua dunia itu cukup identik. Keduanya sama-sama memiliki laju CO₂ dan emisi gas rumah kaca berdasarkan skenario tingkat menengah terkait kondisi bumi pada abad ke-21. Skenario ini – yang salah satunya memprediksi kadar CO₂ melebihi 40 gigaton per tahun – juga digunakan dalam Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).

Pada kondisi dunia di mana kadar CFC terkendali, iklim bumi di masa depan akan lebih hangat, suhu global meningkat, dan semua konsekuensi negatifnya pun terjadi. Namun, pada 2050, lapisan ozon dapat pulih ke kondisi yang jauh lebih baik.

Sementara, berdasarkan simulasi dunia di mana kadar CFC tidak terkendali, lapisan ozon menipis secara drastis. Pada akhir abad ini, lubang ozon akan menganga di mana-mana – tak hanya di Antartika.

Citra satelit belahan bumi selatan yang menggambarkan tingkat ozon di atmosfer.
Lubang ozon Antartika tercatat paling besar pada September 2006. NASA

Selain itu, pada dekade 2050-an, akibat radiasi sinar UV yang parah, tanaman di dunia dengan tingkat emisi CFC yang terus meningkat, hanya mampu menyerap setengah emisi karbon dibandingkan di dunia yang memiliki kadar CFC terkendali.

Tingkat penyerapan tanaman di dunia dengan CFC tinggi akan terus menurun hingga melebihi 85 persen pada akhir abad ini. Penurunan tersebut memperbanyak kadar CO2 di atmosfer hingga 30% sehingga dapat menambah 0,8°C suhu global.

Nah, tambahan 0,8°C ini cukup untuk menaikkan suhu dunia saat ini (sekitar 1°C di atas rata-rata sebelum revolusi industri) menjadi melebihi target paling ambisius dalam Perjanjian Paris, yakni 1,5°C pada akhir 2100.

Bahkan, selain 0,8°C tersebut juga ada tambahan kenaikan 1,7°C akibat efek rumah kaca dari CFC itu sendiri. Ini berarti Protokol Montreal mampu mencegah total tambahan suhu global sebesar 2,5°C, beserta segala hal yang lebih mengerikan yang bisa terjadi di masa depan.

Empat peta dunia berbeda yang menggambarkan penurunan penyerapan karbon oleh tanaman di abad ke-21.
Tanaman akan menyerap lebih sedikit karbon di seluruh dunia pada akhir abad ke-21 jika penggunaan CFC terus berlanjut. Young et al. (2021)/Nature, Author provided

Meskipun dunia tersebut bisa dihindari, ancaman kerusakan lapisan ozon masih ada.

Pasalnya, ada ilmuwan yang mendukung upaya mitigasi pemanasan global melalui penyuntikan partikel aerosol sulfat ke stratosfer, atau sering disebut stratospheric sulphate geoengineering. Teknik rekayasa atmosfer ini terinspirasi dari efek pendinginan global yang sempat terjadi akibat letusan gunung berapi besar.

Masalahnya, teknik itu berbahaya karena dapat merusak lapisan ozon. Studi kami pun menunjukkan bahwa metode rekayasa itu harus dievaluasi secara komprehensif, terutama menyangkut dampaknya kepada ekosistem di seluruh penjuru bumi (biosfer).


Read more: Magnet Bumi pernah berhenti 42.000 tahun lalu dan menyebabkan perubahan iklim besar-besaran


Sejauh ini, Protokol Montreal telah efektif mengendalikan emisi gas rumah kaca yang sangat kuat seperti CFC. Upaya global bersama itu juga berhasil melindungi kelangsungan tumbuhan di muka bumi sehingga kenaikan CO2 bisa diredam.

Protokol ini akan terus menjadi panutan dan contoh baik bagaimana mmewujudkan perjanjian iklim yang sukses.

Sayangnya, metode yang sama belum tentu bisa diterapkan dalam negosiasi iklim yang sedang diupayakan saat ini. Sebab, upaya memulihkan ozon melalui pengurangan CFC – di mana produksi CFC hanya dilakukan segelintir perusahaan, dan zat kimia alternatif yang bisa menggantikannya juga banyak – jauh lebih mudah dibanding upaya kita saat ini untuk mengurangi emisi dari bahan bakar fossil.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now