Menu Close

Riset: dompet digital mendorong Generasi Z lebih konsumtif

Konsumen sebuah cafe di Jakarta. arnaudmatar/flickr, CC BY-ND

Dompet elektronik, atau e-wallet adalah sarana pembayaran elektronik yang dapat digunakan secara daring melalui aplikasi gawai.

Menurut Peraturan Bank Indonesia tentang penyelenggaraan teknologi finansial, dompet digital termasuk ke dalam kategori sistem pembayaran (payment gateway).

Di Indonesia, aplikasi e-wallet terpopuler antara lain ialah Gojek (Gopay), LinkAja, OVO, dan Dana.

Pada tahun 2018, BI melaporkan transaksi e-wallet hampir mencapai Rp21 triliun, dan diprediksi naik 17 kali lipat pada 2023 mendatang.

Penggunaan e-wallet ini memungkinkan transaksi nontunai yang mudah bagi penggunanya, karena hanya perlu menggunakan ponsel pintar yang dipakai sehari-hari.

Lebih dari itu, tawaran cashback atau uang kembali setelah pembayaran dan diskon yang ditawarkan menggiurkan bagi para pengguna. Tawaran tersebut diberikan perusahaan-perusahaan untuk merebut pangsa pasar.

Di samping kemudahan dan bonus menarik yang ditawarkan, riset terbaru saya menunjukkan penggunaan dompet digital ini justru bisa membuat konsumen muda lebih konsumtif.

Konsumen mencoba sebuah aplikasi dompet digital di Jakarta. preetamrai/flickr, CC BY

Analisis

Tahun lalu, saya dan Erwin Karnadi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya melakukan penelitian tentang Literasi Keuangan Generasi Z.

Salah satu studi pendahuluannya ialah melakukan survei kecil menggunakan kuesioner online untuk memperoleh gambaran umum dan preferensi penggunaan e-wallet mereka.

Kami berhasil memperoleh 405 responden berusia 18-21 tahun di wilayah Jabodetabek. Pengumpulan data yang dilakukan selama bulan Juli dan Agustus 2019.

Rata-rata usia responden kami adalah 19 tahun. Mayoritas dari mereka merupakan mahasiswa yang masih menerima uang jajan dari orangtua, dan sepertiga dari mereka bekerja paruh waktu dan lepas waktu.

Dari temuan kami, 90% responden menggunakan OVO, 86% menggunakan Gopay, 56% menggunakan Dana, dan 5% menggunakan Linkaja.

Jawaban kuesioner menunjukkan lebih dari setengah (58.4%) dari responden merasa menjadi lebih konsumtif.

Hanya 30% merasa merasa lebih bisa mengelola keuangan lebih baik, 27% merasa sebaliknya.

Mengapa bisa mendorong perilaku konsumtif

Persaingan sengit merebut pangsa pasar antara perusahaan e-wallet ini menghasilkan banyak sekali promosi-promosi rebat dan cashback. Perang diskon ini dapat mengaburkan pemahaman “hemat” dan mengakibatkan perilaku konsumtif.

Dikarenakan promosi yang menarik masyarakat menjadi tergoda untuk mengeluarkan uang untuk barang atau jasa yang sebetulnya tidak dibutuhkan; uang yang dapat dialokasikan untuk hal lain.

Ingatlah bahwa ketika terdapat produk seharga Rp100.000 yang dipotong sebesar 60%, Anda tetap mengeluarkan uang sebesar Rp40.000.

Setelah penelusuran lebih lanjut lewat wawancara singkat, 9 dari 10 responden memang menggunakan aplikasi ini karena tawaran promosi serta kemudahan dan kenyamanan dalam menggunakan.

Betul, keputusan keuangan merupakan hak individu. Namun tetap penting bagi kita semua untuk tetap cermat dalam mengelola keuangan.

Dampak konsumtif

Perilaku yang konsumtif tidak selamanya buruk. Peningkatan konsumsi mampu menumbuhkan ekonomi, karena meningkatnya permintaan tentunya mendorong proses produksi yang berujung pada bertambahnya lapangan kerja.

Contohnya Gopay pada tahun 2018 mempunyai 420,000 rekan usaha yang 90%nya merupakan pengusaha kecil, Gopay juga mengklaim Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bergabung naik 69 kali lipat dalam setahun dan mengalami peningkatan omzet karena bantuan promosi di aplikasinya.

Namun konsumerisme yang berlebihan juga dapat menyakiti kesehatan mental, berdampak buruk pada lingkungan dan planet,dan pada skala mikro, dapat menjebak seorang individual ke dalam utang yang berlebihan.

Berutang sendiri juga tidak selamanya buruk selama utang tersebut produktif, misalnya membeli barang yang nilainya akan meningkat. Yang negatif adalah utang konsumtif atau membeli barang yang nilainya menyusut di masa depan.

Generasi Z yang tumbuh besar dengan revolusi digital sebentar lagi akan mendominasi demografi dunia. Tidak dapat di pungkiri bahwa mereka fasih dalam penggunaan teknologi, namun juga harus diimbangi dengan kebijaksanaan pemanfaatannya.

Generasi muda haruslah menjadi generasi cerdas agar dapat sejahtera hingga tua, dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan generasi sebelumnya.

Ilustrasi cash back. gotcredit/flickr, CC BY

Cara mencegah hidup konsumtif

Berikut ini adalah adalah beberapa tips bagaimana mencegah perilaku hidup konsumtif.

1. Bedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Kebutuhan adalah sesuatu yang dimiliki untuk bertahan hidup sedangkan keinginan adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan namun bisa meningkatkan kualitas hidup. Contohnya adalah moda transportasi adalah kebutuhan setiap orang, sedangkan memiliki mobil mewah adalah keinginan.

2. Memiliki rencana keuangan

Kita harus bijak dalam menyusun rencana keuangan. Sebagai contoh, Sir Li Ka-shing, taipan dari Hong Kong mengajarkan untuk membagi penghasilan kita ke dalam lima pos: 30% untuk biaya hidup, 20% untuk bersosialisasi, 15% untuk pengembangan diri, 10% untuk travel, dan 25% persen untuk investasi.

Dan lebih penting lagi, kita harus disiplin menjalani rencana keuangannya.

3. Jaga gaya hidup

Ini merupakan perluasan dari poin di atas. Seiring waktu berjalan dan meningkatnya karier atau bisnis, perencanaan keuangan pun juga harus diperbarui.

Generasi muda sering tergoda untuk meningkatkan (biaya) gaya hidup seiring bertambahnya penghasilan. Terutama mereka yang baru mulai bekerja.

Sebaiknya, ketika penghasilan bertambah, kita tidak semakin konsumtif meski mungkin terdapat tuntutan gaya hidup.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,300 academics and researchers from 5,063 institutions.

Register now