Menu Close
Petugas kesehatan mengukur tinggi badan bayi di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Kedaton, Bandar Lampung, 21 Maret 2022. Promosi makanan beragam pendamping ASI untuk bayi berusia enam bulan di level Posyandu penting untuk mencegah gizi buruk pada anak. ANTARA FOTO/Ardiansyah/nym

Riset: makanan bayi dan anak di Indonesia kurang beragam. Mengapa bisa begitu dan apa dampaknya?

Makanan pendamping air susu ibu (MPASI) yang sehat dan beragam penting bagi pertumbuhan bayi dan anak. Sebaliknya, kurang beragamnya makanan bayi dan anak dapat meningkatkan risiko kekurangan zat gizi mikro (seperti vitamin B12, vitamin A, kalsium, zat besi, asam folat dan zinc), anemia, stunting, serta terhambatnya perkembangan kognitif dan motorik anak.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar setiap bayi berusia enam bulan mulai mengkonsumsi makanan pendamping, di samping ASI hingga usia dua tahun. Untuk memastikan bahwa makanan pendamping air susu ibu yang diberikan berkualitas, maka makanan tersebut perlu diberikan secara beragam.

Masalahnya, pada 2020, hanya satu dari tiga anak di dunia yang memenuhi keanekaragaman makanan minimal. Di Indonesia, sebuah penelitian berskala nasional menununjukkan hanya sekitar separuh dari anak-anak usia 6-23 bulan yang mengkonsumsi makanan beraneka ragam pada 2007-2017.

Riset saya pada 2021 dengan sampel 14.990 anak berusia 6-23 bulan di Indonesia menunjukkan keanekaragaman makanan pada bayi dan anak dipengaruhi oleh berbagai faktor di beberapa level, seperti individu, rumah tangga, sistem pelayanan kesehatan, dan komunitas.

Jenis makanan yang beragam

Pada 2017, kelompok Penasihat Ahli Teknis tentang pemantauan gizi (TEAM) di bawah naungan WHO mendefinisikan bahwa keanekaragaman makanan minimal pada bayi dan anak adalah konsumsi makanan harian dengan minimal lima dari total delapan kelompok makanan.

Kelompok makanan itu meliputi: (1) padi-padian, akar-akaran dan umbi-umbian; (2) kacang-kacangan; (3) produk susu seperti susu, keju; (4) daging-dagingan seperti daging sapi, unggas, ikan; (5) telur; (6) buah dan sayur kaya vitamin A; (7) buah dan sayur lainnya, dan (8) air susu ibu.

Di Indonesia, pedoman gizi seimbang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014, termasuk di dalamnya pesan “Syukuri dan nikmati aneka ragam makanan”. Dalam pedoman tersebut, makanan beragam terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan.

Tidak ada pesan spesifik mengenai keanekaragaman minimal yang harus dikonsumsi oleh bayi dan anak.

Faktor penyebab

Salah satu temuan riset saya adalah rata-rata bayi dan anak di Indonesia mengkonsumsi 2-3 jenis kelompok makanan pada usia enam bulan, kemudian meningkat menjadi 4-5 jenis kelompok makanan saat mencapai usia 12 bulan ke atas.

Jika dilihat dari jenis kelompok makanannya, makanan jenis padi-padian, akar-akaran, dan umbi-umbian mendominasi konsumsi makanan harian pada bayi dan anak.

Sebaliknya, konsumsi kacang-kacangan serta buah dan sayuran jenis lainnya adalah kelompok makanan dengan konsumsi terendah. Meski masih tergolong rendah, konsumsi makanan hewani seperti daging-dagingan, telur dan produk susu meningkat dalam satu dekade terakhir.

Pemberian makanan pendamping ASI pada bayi dan anak begitu kompleks dan kontekstual. Tidak hanya faktor anak dan ibu, tapi kondisi komunitas dan sosial juga menjadi pilar yang menentukan praktik pemberian makanan pendamping ASI.

Sejalan dengan teori tersebut, riset saya menunjukkan keanekaragaman makanan pada bayi dan anak di Indonesia dipengaruhi oleh faktor mikro (individu dan rumah tangga) hingga makro sistem sosial (sistem kesehatan dan komunitas).

Di level individu, konsumsi makanan yang bervariasi pada bayi dan anak cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya usia anak. Hal ini karena anak yang lebih tua lebih siap untuk menerima makanan dengan tekstur dan rasa yang berbeda.

Mereka lebih familiar dengan variasi makanan daripada anak berusia lebih muda yang baru mengenal makanan.

Di level ramah tangga, anak dari ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung mengkonsumsi makanan lebih beragam. Sebab, ibu yang teredukasi memiliki lebih banyak informasi dan lebih baik dalam hal memahami informasi baru, termasuk informasi gizi.

Meski begitu, pendidikan formal bukanlah satu-satunya cara untuk meningkatkan pengetahuan tentang gizi. Pemberian edukasi di level sistem kesehatan dapat dilakukan melalui pelayanan pemeriksaan kehamilan. Ibu yang memiliki riwayat kunjungan kehamilan di fasilitas pelayanan kesehatan terbukti lebih baik dalam memberikan makanan yang beragam pada anaknya.

Selama kunjungan tersebut, tenaga kesehatan dan kader kesehatan berperan dalam memberikan konseling dan edukasi gizi pada ibu.

Anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi tinggi memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapat makanan bervariasi karena daya beli yang lebih besar untuk memperoleh makanan bervariasi.

Di sisi lain, di level komunitas, anak yang tinggal di daerah pedesaan dan Indonesia bagian timur cenderung makan makanan yang kurang bervariasi. Hal ini kemungkinan karena keterbatasan akses dan ketersediaan pangan, serta status sosial ekonomi yang lebih rendah. Faktor ini berkaitan dengan ketimpangan pendapatan dan ekonomi.

Dengan demikian, masalah ini bisa diatasi dengan intervensi struktural dan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran ibu dan ayah melalui media massa dan promosi kesehatan di level puskesmas dan masyarakat.

Pentingnya akses terhadap media informasi

Ibu yang memiliki akses terhadap media informasi memiliki peluang 21% lebih tinggi untuk memberikan anaknya makanan yang beragam dibandingkan dengan ibu yang tidak mengakses media.

Bahkan, akses terhadap media informasi bisa menurunkan kesenjangan variasi makanan antara si kaya dan si miskin. Dengan adanya akses informasi, setiap ibu berpeluang untuk memberikan makanan yang lebih bervariasi pada anaknya, bahkan jika ia berasal dari status sosial ekonomi rendah.

Misalnya, ibu bisa menyiasati jenis makanan yang mahal (seperti daging sapi) dengan bahan makanan lain yang lebih terjangkau (seperti ikan air tawar dan telur).

Di samping itu, ibu bisa membuat menu makanan menjadi lebih bervariasi dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang ada di sekitarnya.

Pengayaan informasi gizi pada ibu bisa diperoleh melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Berbekal kecanggihan teknologi saat ini, ibu dapat mengakses informasi kapan pun dan di mana pun dari ujung jari via ponsel.

Dalam hal peningkatan kualitas makanan pendamping air susu ibu pada anak, peran media massa dalam menyampaikan pesan-pesan gizi dan kesehatan telah terbukti. Mekanismenya adalah melalui modifikasi pengetahuan dan sikap secara simultan di komunitas atau lebih dikenal dengan promosi perubahan perilaku dan sosial.

Media massa dapat digunakan menjadi kendaraan yang efektif, terlebih jika dilakukan bersinergi dengan upaya-upaya lain. Misalnya terintegrasi dengan program konseling dan edukasi gizi di fasilitas pelayanan kesehatan dan sejalan dengan konteks sosial budaya yang berlaku di wilayah setempat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now