Menu Close

Riset: Pembatasan COVID-19 secara tak terduga telah mengurangi kekerasan ISIS

Seorang perempuan berjalan di Raqa, bekas ibu kota Negara Islam Suriah, pada Desember 2020. Delil Souleiman/AFP via Getty Images

Pada awal pandemi COVID-19, para pemimpin dunia dan pakar kebijakan sempat khawatir jika krisis kesehatan akan membuat dunia semakin berbahaya. Mereka secara khusus khawatir organisasi teroris seperti kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) akan memanfaatkan situasi pandemi untuk meningkatkan serangan terhadap warga sipil dan merekrut simpatisan baru.

Dalam beberapa hal, pandemi global memberikan peluang bagi kelompok ISIS, karena peningkatan pengeluaran kesehatan yang tiba-tiba telah membebani anggaran banyak negara dan membuat dunia mengalihkan perhatian dari isu ekstremisme. Banyak pemerintah yang merespons penyebaran COVID-19 ini dengan meminta polisi dan militernya untuk fokus membantu memberikan layanan perawatan kesehatan.

Namun, kekhawatiran akan meningkatnya kekerasan ISIS sebagian besar tidak terbukti.

Kami merupakan cendekiawan yang mempelajari penyebab kekerasan yang terjadi di dalam negeri di banyak negara, biasanya antara kelompok bersenjata dengan pemerintah, dan apa yang dapat mencegahnya. Bersama Qutaiba Idlbi, rekan senior kami di lembaga riset Atlantic Council, kami ingin mengetahui bagaimana pembatasan sosial selama pandemi COVID-19 memengaruhi kemampuan beroperasi kelompok kriminal seperti ISIS.

Penelitian terbaru kami menunjukkan bahwa penerapan lockdown selama pandemi, termasuk pembatasan jam malam dan larangan bepergian – yang sekarang sudah dicabut oleh sebagian besar negara – telah mempersulit ISIS untuk beroperasi dan, sebagai akibat tidak langsung, membantu mengurangi jumlah kekerasan di Mesir, Irak dan Suriah.

A soldier in camouflage steps into a destroyed vehicle that appears charred from the inside.
Seorang pejuang Irak memeriksa lokasi serangan kelompok ISIS di bagian utara Baghdad pada Mei 2020. Ahmad Al-Rubaye/AFP via Getty Images

Memahami kelompok ISIS

Kelompok Negara Islam – selain disebut ISIS, juga dikenal sebagai IS dan ISIL – muncul di Irak sekitar tahun 2004 sebagai cabang dari organisasi teroris militan Islam, Al-Qaeda.

Dalam kebangkitannya, ISIS menggunakan taktik brutal dan sadis yang tidak biasa terhadap pejabat pemerintah serta warga sipil, termasuk penyiksaan yang intens dan pemenggalan kepala.

Tetapi ISIS masih bisa mendapat dukungan tulus dari beberapa penduduk setempat di Irak dan Suriah dengan memanfaatkan keluhan mereka atas pemerintahan yang lemah dan korup. Di wilayah yang dikuasainya, ISIS juga kerap memberikan layanan publik yang lebih baik, seperti pembersihan jalan rutin dan perbaikan saluran listrik, daripada yang dilakukan pemerintah.

Omar, seorang jurnalis lokal dan aktivis masyarakat sipil asal Kota Deir Ezzor, Suriah, mengungkapkan kepada Qutaiba pada 2022 tentang betapa banyak orang di provinsinya yang “ketika ISIS mengambil alih provinsi Deir Ezzor, orang miskin dan mereka yang tidak dapat melarikan diri justru merasa senang karena provinsi tersebut tidak jatuh kembali ke tangan rezim Bashar al-Assad (Presiden Suriah). Bagi mereka, ISIS adalah setan yang lebih baik (dari Assad).”

Sepanjang tahun 2013-2014, ISIS mulai mengambil alih wilayah di Suriah dan Irak. Pada saat itu, Presiden Assad terlibat dalam perang saudara, yang sudah dimulai sejak tahun 2011 ketika beliau berusaha membatalkan pemberontakan melawan rezim pemerintahan keluarganya yang telah berkuasa selama 40 tahun.

Rezim Assad menembak demonstran yang tengah melakukan aksi protes damai, menahan dan menyiksa aktivis, serta menyerang balik masyarakat yang menantang otoritasnya. Pada 2013, pemerintah di bawah kepemimpinan Assad menyerang warganya sendiri dengan gas sarin (gas kimia beracun), yang membunuh lebih dari 1.400 orang – kebanyakan anak-anak – di Ghouta Timur.

Pada saat itu, ketidakstabilan politik tidak hanya terjadi di Suriah.

Di Irak, misalnya, Perdana Menteri saat itu, Nouri al-Maliki, menghadapi rangkaian protes pada tahun 2011 yang menentang korupsi dengan kekerasan, penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap aktivis dan pengunjuk rasa.

ISIS tumbuh selama masa konflik sipil dan pemberontakan publik itu, dan mencoba membangun kendali atas wilayah di beberapa bagian Irak dan Suriah.

Puncaknya adalah pada tahun 2014, ketika ISIS menguasai 34.000 mil persegi – atau 88.000 kilometer persegi – dari total wilayah Suriah dan Irak, rumah bagi sekitar 10 juta penduduk. Kelompok itu juga mengubah namanya, dari awalnya Negara Islam Irak dan al-Sham, menjadi Negara Islam, mencerminkan rencananya untuk memperluas kendali atas lebih banyak wilayah.

Amerika Serikat (AS) meluncurkan intervensi militer internasional untuk mengalahkan kelompok ISIS pada tahun 2014.

Koalisi militer ini membuat ISIS bertekuk lutut pada awal 2018 dan mengakhiri kendalinya atas wilayah besar yang pernah dikuasainya di Suriah dan Irak.

AS mengumumkan akan menarik pasukannya dari Suriah pada 2018 dan menyatakan kemenangan atas ISIS. Kelompok itu kemudian kehilangan kendali atas bagian wilayah terakhirnya di Suriah pada 2019.

A group of men, one with crutches and an amputated leg, walk, followed by some men with cameras photographing them.
Laki-laki yang dicurigai bekerja sama dengan ISIS dibebaskan dari penjara Suriah pada Oktober 2020. Delil Souleiman/AFP via Getty Images

ISIS selama lockdown

Terlepas dari kemundurannya, termasuk puluhan ribu pejuangnya yang tewas sejak kemunculannya, ISIS tetap aktif pada awal 2020.

Pada Maret 2020, pemerintah Suriah memberlakukan lockdown selama dua bulan. Ini termasuk menutup sebagian besar bisnis dan membatasi jam malam. Irak dan Mesir juga menerapkan pembatasan luas untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Kami menganalisis data lebih dari 1.500 serangan yang diprakarsai oleh ISIS di negara-negara tersebut selama periode 18 bulan dari 2019 hingga 2020. Riset kami yang diterbitkan pada Januari 2023 tersebut menunjukkan bahwa larangan bepergian dan pembatasan jam malam membantu mengurangi serangan ISIS secara substansial.

Temuan ini menyoroti bahwa penerapan lockdown COVID-19 memengaruhi kemampuan ISIS untuk beroperasi. Jam malam telah mempersulit simpatisan ISIS untuk mencari pendapatan finansial, sementara penutupan institusi publik dan swasta serta pembatasan perjalanan antar provinsi telah membuat kelompok tersebut sulit menyembunyikan pergerakannya.

Analisis kami menunjukkan bahwa ketika masih berlaku, pembatasan jam malam dan perjalanan telah membantu mengurangi kekerasan ISIS secara signifikan, terutama di daerah padat penduduk.

Di Irak, kekerasan menurun sekitar 30% berkat lockdown. Di Suriah, tingkat kekerasan berkurang sekitar 15% secara keseluruhan selama periode tersebut.

Tetapi di Mesir, pemerintahnya memang telah memberlakukan pembatasan jam malam di beberapa daerah akibat kehadiran dan kekerasan yang dilakukan ISIS, sehingga sulit bagi kami untuk menganalisis dampak lockdown COVID-19 di sana secara spesifik.

Tidak seperti banyak kelompok militan lainnya, ISIS memiliki cadangan keuangan yang besar untuk bertahan selama lockdown. Selain itu, sebagian besar dari mereka beroperasi di daerah pedesaan, sehingga tidak terlalu terdampak dengan penerapan lockdown seperti di daerah perkotaan.

Implikasi lebih luas

Penelitian kami hadir pada saat kritis, ketika para pembuat kebijakan dan ahli kontraterorisme memperdebatkan strategi jangka panjang untuk melumpuhkan ISIS.

Pada tahun 2022, AS dan pasukan militer lokal di Suriah dan Irak melakukan 313 operasi di dua negara tersebut, menewaskan 700 militan ISIS.

AS dan para sekutunya di kawasan itu juga telah membunuh beberapa pemimpin ISIS terkemuka selama beberapa tahun terakhir, termasuk Abu Ibrahim al-Hashimi al-Qurayshi yang tewas pada Februari 2022.

Namun, menurut kami, strategi AS saat ini, yang sangat berfokus pada aliansi militer dengan sekutu lokal, tidak berkelanjutan – sebagian karena AS tidak mengindahkan alasan mengapa beberapa orang di Suriah dan Irak masih mendukung ISIS.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now