Menu Close
Penyortiran kotak suara Pemilu 2024 di Kota Blitar, Jawa Timur. Irfan Anshori/Antara Foto

Riset temukan 6 dampak kompleksitas Pemilu 2019 yang kemungkinan akan terulang pada 2024

Keserentakan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 lalu telah membawa konsekuensi teknis yang kompleks. Bagaimana tidak, para pemilih yang jumlahnya mencapai 195 juta diajak untuk datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih memilih Presiden dan Wakil Presiden sekaligus anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Para pemilih dihadapkan dengan lima kertas suara sekaligus untuk mencoblos dalam satu waktu yang bersamaan.

Dari sejumlah evaluasi yang dilakukan oleh lembaga negara maupun nonnegara terhadap keserentakan Pemilu 2019, terlihat munculnya sejumlah kompleksitas dalam pelaksanaannya, terutama terkait pengelolaan pelaksanaan pemilunya.

Berdasarkan penelitian saya, saya menemukan setidaknya ada enam dampak yang tak direncanakan (unintended coonsequences) sebagai konsekuensi yang muncul dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.

Dampak-dampak tersebut sangat berpotensi menjadi masalah yang akan berulang dalam Pemilu 2024. Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian lintas pemangku kepentingan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam teknis pelaksanaan pemilu tahun depan maupun pemilu-pemilu berikutnya.

Kajian saya menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya dilakukan melalui focused group discussion (FGD), wawancara semi-terstruktur, dan studi literatur. Sebagian besar sesi FGD dan wawancaranya dilakukan secara daring. Respondennya terdiri dari perwakilan kementerian dan lembaga negara terkait serta institusi riset dan kelompok masyarakat sipil.

1. Minimnya sosialisasi

Terkait teknis pelaksanaan, masalah yang paling banyak muncul adalah minimnya sosialisasi, baik kepada para pemilih maupun petugas pelaksana pemilu.

Akibatnya, banyak masyarakat tidak paham cara melakukan pencoblosan terhadap lima kertas suara di hadapan mereka. Ini membuat petugas harus bisa membantu secara cepat. Namun di sisi lain, proses rekrutmen petugas pemilu juga sangat pendek sehingga banyak petugas yang tidak memenuhi kapasitas minimum untuk menjalani perannya.

Ketidaksiapan ini mengakibatkan banyaknya terjadi human error dalam penghitungan suara. Ini menjadi persoalan besar terutama di daerah-daerah. Faktanya, sejumlah kasus kecurangan pemilu yang dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terjadi karena faktor human error.

Dampak yang paling serius dari kompleksitas pemilu dan singkatnya waktu untuk sosialisasi dan persiapan adalah jumlah besar petugas pelaksana yang meninggal dan sakit karena terlalu letih dan/atau penyakit bawaan.

Data KPU menyebutkan 887 petugas meninggal dunia dan 3.721 petugas jatuh sakit. Sementara Bawaslu melaporkan sebanyak 424 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan 92 petugas Bawaslu, serta 22 polisi, dan tiga orang TNI yang juga meninggal dunia.

Hasil audit medis dan autopsi verbal yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menemukan bahwa sebagian besar penyebab kematiannya adalah keletihan, penyakit yang dipicu oleh kelelahan dan usia tua. Kelelahan sebagian besar terjadi terutama saat penghitungan suara yang dilakukan secara manual.

2. Masih buruknya manajemen rekrutmen petugas pemilu

Masalah lain dalam pelaksanaan pemilu serentak adalah kualitas manajemen atau pengelolaannya. Setidaknya ada tiga fase dalam pelaksanaan pemilu serentak: persiapan, pelaksanaan, dan penghitungan suara.

Petugas KPU mengecek kondisi bilik suara di gudang logistik KPU Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis 30 November 2023. Makna Zaezar/Antara Foto

Khusus di fase persiapan, masalah rekrutmen dan seleksi petugas penyelenggara di tingkat TPS menjadi persoalan besar. Dengan waktu yang pendek, mereka harus merekrut dan memberikan pelatihan yang tidak maksimal untuk beban kerja yang besar dengan bayaran yang tidak memadai. Honor yang diberikan untuk Ketua KPPS berkisar 500 ribu hingga 550 ribu, sedangkan untuk anggota sekitar 450 ribu hingga 500 ribu. Enam anggota dan satu Ketua KPPS harus melayani 300 orang di satu TPS.

Bahkan di beberapa daerah, seleksi penyelenggara pemilu masih dilakukan ketika tahapan pemilu sudah berlangsung. Ini sangat tidak efektif dan efisien.

3. Penggunaan teknologi yang tidak berkelanjutan

Teknologi rekapitulasi suara elektronik dengan menggunakan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) ini menunjukan kerja yang buruk. Hasil Pemilu 2019 sebagai informasi yang amat ditunggu publik, malah terlalu lambat dipublikasikan. Justru hasil manual rekapitulasi suara lebih dulu selesai dibandingkan Situng.

Sejumlah ahli IT juga menyebutkan bahwa verifikasi input data oleh Situng masih lemah–data yang salah otomatis tetap masuk ke server KPU dan muncul di grafik real-count sehingga tampak sebagai hasil suara resmi.

Untuk Pemilu 2024, KPU telah meluncurkan Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) yang dapat diakses melalui aplikasi ponsel pintar. Aplikasi ini bertujuan menyampaikan hasil penghitungan suara secara cepat kepada publik.

KPU menjelaskan, fungsi dan tujuan Sirekap ini untuk menyampaikan hasil penghitungan suara secara cepat kepada publik. Bahkan, Sirekap bakal ditayangkan langsung dalam sistem informasi KPU. Publik menunggu kemajuan teknologi penghitungan suara ini.

4. Kekacauan data daftar pemilih

Masalah yang selalu mendapat sorotan di setiap perhelatan pemilu adalah kekacauan daftar pemilih, baik di dalam maupun luar negeri. Misalnya adalah banyaknya data ganda individu, kurangnya akurasi data daftar pemilih tetap (DPT), sehingga berimbas pada tidak tepatnya penyediaan logistik pemilu. Ditambah lagi, sampai menjelang hari pemungutan suara ada sejumlah daerah yang belum menuntaskan perekaman KTP-elektronik. Ini menimbulkan masalah saat proses pemungutan suara khususnya karena ada individu yang tidak masuk dalam DPT.

Masalah demikian sebetulnya berupaya diantisipasi dengan penggunaan teknologi informasi. Dalam manajemen pendataan pemilih, KPU mengembangkan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), wadah pengumpulan data pemilih di seluruh Indonesia. Sistem internal ini hanya bisa diakses oleh penyelenggara pemilu.

Bawaslu Riau tinjau logistik pemilu di Dumai, Riau, 13 November 2023. Aswaddy Hamid/Antara Foto

Sidalih menawarkan fitur self-checking yang memungkinkan pemilih dapat mengecek sendiri status terdaftar sebagai pemilih serta di TPS mana ia terdaftar.

Sebetulnya platform semacam ini sangat membantu mengefisiensikan dan mengefektifkan kerja-kerja KPU dan petugas lapangan. Hanya saja, keberlanjutannya masih perlu digalakkan.

5. Kompleksitas surat suara

Hal kompleks yang paling menonjol dalam Pemilu 2019, dan pasti akan kita temukan lagi di Pemilu 2024, adalah banyaknya kertas suara.

Total ada lima surat suara–atau empat untuk DKI Jakarta–yang diberikan ke pemilih sebelum mereka memasuki bilik suara. Ukuran surat suara amat lebar, tapi bilik suara dan landasan memilihnya kecil. Jika pemilih tak berhati-hati saat membuka surat suara yang terlipat, bisa robek yang berakibat kertas suara tidak sah.

Banyaknya peserta pemilu yang harus dipilih dari lima surat suara juga membingungkan pemilih. Bahkan, untuk surat suara Pemilu DPR RI dan DPRD, pemilih harus mencari nama calon dewan pilihannya di antara belasan lambang partai dan ratusan nama calon dewan. Pemilu DPD, meski punya puluhan nama calon dewan, adanya foto sedikit membantu.

Pemilih khawatir akan menghabiskan banyak waktu saat memilih di bilik suara, sehingga pilihannya: asal memilih atau hanya memilih capres-cawapres. Ini tergambar dari lebih banyaknya persentase memilih untuk pemilu presiden dibandingkan pemilu legislatif, meskipun bedanya sangat tipis.

6. Rendahnya kualitas logistik

Sama seperti pemilu sebelumnya, dalam Pemilu 2024 kotak suara akan menggunakan bahan dari karton yang rentan terhadap kelembapan dan tekanan–hanya sedikit lebih tebal saja dibandingkan Pemilu 2019.

Pada Pemilu 2019, banyak kotak suara yang hancur dimakan rayap sehingga harus disemprot bahan kimia antirayap. Pemyemprotan yang dilakukan secara massal dan intens selama beberapa hari berisiko menimbulkan keracunan bagi orang-orang di sekitar tempat penyimpanan.

Rekomendasi

Dari sejumlah dampak yang disebutkan di atas, hendaknya ada pembelajaran untuk bisa mengubah dan menjadikan pemilu di Indonesia berjalan lebih baik lagi.

Teknis persiapan, pelaksanaan, dan pemungutan suara perlu diperbaiki karena ini berdampak besar bagi hasil dan kualitas pemilu. Logistik perlu disiapkan lebih matang lagi dengan mempertimbangkan kualitas barang dan periode waktu serta transparansi dalam mempersiapkan dan mendistribusikannya.

Rekrutmen petugas pemilu harus diberikan waktu yang cukup yang disesuaikan dengan siklus pemilu. Selain itu, pemerintah harus memastikan keselamatan dan pemenuhan keamanan serta kesehatan para petugas penyelenggara melalui pemeriksaan kesehatan yang memadai.

Penggunaan perangkat teknologi pemilu juga perlu ditingkatkan kualitasnya dan dibuat berkelanjutan. Digitalisasi semacam ini penting karena tidak hanya membantu kerja-kerja penyelenggara pemilu, tetapi juga memberikan transparansi dan akuntabilitas sehingga akan menambah kepercayaan masyarakat terhadap jalannya pemilu.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now