Menu Close

Riset tunjukkan hambatan yang persulit akses pendidikan anak-anak pengungsi di Indonesia

Ilustrasi anak-anak pengungsi. Prazis Images/Shutterstock

Indonesia adalah salah satu negara persinggahan pengungsi terbesar di Asia Tenggara. Pada Mei 2023, Indonesia menampung setidaknya 12.704 pengungsi, sebagian besar dari Afghanistan, Somalia, Myanmar, Irak, dan Sudan. Hampir 30% di antaranya adalah anak-anak.

Sebagian besar dari mereka tinggal selama lebih dari empat tahun di Indonesia tanpa mengetahui kapan ‘masa transit’ ini akan berakhir. Mempertimbangkan lamanya periode waktu yang dihabiskan, terutama bagi anak-anak pengungsi, kami meyakini bahwa anak-anak pengungsi perlu mendapat akses atas pendidikan selama mereka menunggu.

Terlepas dari status tinggal mereka, mereka memiliki hak dasar untuk mendapatkan pendidikan, untuk mempersiapkan masa depan mereka dan untuk membantu menjaga kestabilan proses tumbuh kembang mereka.

Sebelum pandemi COVID-19, Indonesia telah membuat kemajuan dalam menyediakan akses pendidikan bagi ratusan anak pengungsi. Ini termasuk menyediakan akses bagi anak-anak pengungsi untuk bersekolah di sekolah-sekolah di Indonesia, selama mereka memiliki dokumentasi dari UNHCR, Rumah Detensi Imigrasi dan surat jaminan keuangan dari lembaga sponsor, seperti dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

Namun, penelitian kami yang dilakukan di kota Batam, Kepulauan Riau, dan Makassar, Sulawesi Selatan, pada bulan Juni 2022 menunjukkan bahwa pandemi telah menghambat kemajuan ini.

Hasil riset

Kami mengumpulkan data melalui observasi dan wawancara mendalam dengan 6 orang tua pengungsi dari berbagai kewarganegaraan (Afghanistan, Sudan, Sri Lanka, dan Somalia) dan lima anak pengungsi yang terdaftar di sekolah dasar dan menengah.

Kami juga mewawancarai kepala sekolah dan guru-guru di sekolah-sekolah lokal di kedua kota tersebut, pejabat pemerintah, baik di tingkat lokal dan nasional, serta staf lokal maupun pimpinan dari organisasi internasional yang bekerja dalam penanganan pengungsi di Indonesia, termasuk IOM dan UNHCR.

Kami menemukan empat masalah yang menghambat akses anak-anak pengungsi terhadap pendidikan di Indonesia.

1.Distribusi informasi

“Sebelum adanya Surat Edaran, kami merasa bahwa sekolah negeri yang menyediakan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hanya bisa diakses oleh WNI, sehingga kami mencari sekolah swasta untuk anak-anak pengungsi. Setelah adanya Surat Edaran tersebut, ada kesempatan bagi anak-anak pengungsi untuk mendaftar di sekolah negeri, dan prosesnya cukup cepat,” - Staf IOM di Batam, 18 Juni 2022.

Surat Edaran yang dimaksud adalah Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 752553/A.A4/HK/2019 tertanggal 10 Juli 2019 yang memungkinkan akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi di Indonesia.

Sayangnya, upaya tersebut menghadapi tantangan komunikasi selama pandemi sebagai akibat dari metode pengiriman pesan berantai yang diselingi dengan komunikasi yang harus dilakukan secara daring. Pemerintah pusat mengandalkan pemerintah daerah untuk membagikan informasi dan strategi tentang Surat Edaran tersebut kepada penyedia layanan pendidikan setempat.

Namun, otoritas daerah setempat lebih cenderung mengandalkan organisasi internasional, terutama IOM, untuk menjembatani komunikasi dan memberikan informasi kepada komunitas pengungsi, ketimbang secara proaktif menyampaikan informasi tersebut sendiri.

Padahal, situs-situs organisasi ini sebagian besar hanya menyediakan informasi yang berpusat di wilayah Jakarta. Akibatnya, sebagian besar informasi yang ada di situs-situs ini kurang bermanfaat bagi anak-anak pengungsi yang tinggal di provinsi lain di Indonesia.

IOM dan UNHCR juga memiliki kapasitas keuangan dan kemampuan terbatas untuk memberikan bantuan dan berkomunikasi langsung dengan populasi pengungsi secara teratur karena adanya pembatasan mobilitas.

Situasi ini akhirnya menyebabkan kesenjangan komunikasi yang menghambat implementasi Surat Edaran: sekolah-sekolah lokal menjadi ragu untuk menerima anak-anak pengungsi, orang tua pengungsi tidak dapat memperoleh informasi tentang sekolah, dan pada akhirnya anak-anak pengungsi tidak dapat mendaftar di sekolah-sekolah ini.

2. Kurangnya akses teknologi

Untuk melakukan pembelajaran jarak jauh, sekolah-sekolah umumnya menggunakan sistem penugasan dan kelas online selama pandemi. Sistem ini membutuhkan kontak melalui aplikasi pesan instan (seperti WhatsApp), sementara kelas virtual menggunakan Zoom atau Google Meet. Hal ini berarti siswa membutuhkan akses ke internet dan perangkat digital seperti komputer.

Hal ini menjadi masalah bagi anak-anak pengungsi.

“Semuanya menjadi lebih mahal, tapi tunjangannya sama, sementara kami tidak bisa bekerja di sini.” (AJ, orang tua pengungsi, diwawancarai pada 22 Juni 2022 di Makassar).

Meskipun pemerintah Indonesia menyediakan akses internet gratis untuk setiap siswa Indonesia, hal ini tidak berlaku untuk anak-anak pengungsi.

Selain itu, terdapat juga kendala bahasa antara guru dan murid saat mengkomunikasikan tugas melalui aplikasi pesan yang ada.

3. Keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan

Jika anak-anak pengungsi akan dimasukkan ke dalam sistem sekolah di Indonesia, banyak pihak yang perlu dilibatkan. Mereka termasuk otoritas pemerintah (terutama Kementerian Pendidikan), otoritas pemerintah daerah (provinsi maupun kota), sekolah dan guru, dinas pendidikan setempat, dan organisasi internasional.

Namun, Indonesia masih belum memiliki kerangka kerja peraturan yang komprehensif dan berjangka panjang yang dapat menjadi dasar bagi kemitraan berbagai pemangku kepentingan ini. Termasuk di dalamnya adalah kerjasama dalam mengatasi kendala bahasa, kemampuan finansial yang rendah, dan kurangnya perangkat teknologi yang selama ini menjadi kendala utama bagi orang tua pengungsi sebelum mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah di Indonesia.

4. Motivasi untuk bersekolah

Penelitian kami juga menemukan bahwa motivasi anak-anak untuk bersekolah merupakan faktor kunci kesuksesan mereka untuk tetap bersekolah hingga selesai.

Ada dua faktor penting yang memengaruhi motivasi anak-anak pengungsi: penerimaan siswa lokal dan kemampuan bahasa guru sekolah. Kedua faktor ini harus ada dalam pembelajaran anak untuk memastikan kestabilan motivasi anak-anak pengungsi.

Di Batam dan Makassar, banyak anak pengungsi yang tidak bersekolah karena orang tua mereka takut anak mereka tidak diterima–karena perbedaan ras, hambatan bahasa, dan ketertinggalan dalam belajar.

Mereka juga meragukan manfaat jangka panjang dari pendidikan dengan kurikulum wajib yang sangat spesifik Indonesia seperti Pendidikan Pancasila dan kesenian daerah yang tidak akan digunakan setelah penempatan di negara ketiga.

Apa yang diharapkan untuk selanjutnya

Ke depannya, kita perlu membantu sekolah-sekolah untuk menyambut para siswa pengungsi dengan lebih baik–dan membuat keluarga pengungsi sadar akan dukungan yang tersedia di sekolah-sekolah ini.

Pemerintah pusat dan daerah juga perlu menyediakan kerangka kerja regulasi yang memungkinkan akses anak-anak pengungsi terhadap layanan pendidikan agar selaras dengan kepentingan nasional dan komitmen global Indonesia terhadap pengungsi.

Kita juga harus tetap mempertahankan kemitraan organisasi-organisasi internasional dengan pemerintah Indonesia untuk menjembatani kesenjangan komunikasi tentang cara mengakses pendidikan selama masa persinggahan mereka di Indonesia.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now