Menu Close
Kendall Roy (Jeremy Strong) gazing into the sunset in the final episode of Succession.
Episode terakhir dari The Succession membuat penggemar dengan hati-hati menghindari ‘spoiler’. Courtesy of HBO

Riset tunjukkan ‘spoiler’ tidak merusak kenikmatan sejati dari serial buku, acara TV, atau tim olahraga favoritmu

Saat saya menulis artikel ini, istri saya tengah berjibaku menghindari spoiler (bocoran) episode terbaru Strictly Come Dancing. Karena melewatkan siaran aslinya, dia dengan panik keluar dari semua platform media sosial, agar tidak ada status Facebook atau retweet yang memberinya bocoran. Atau seorang teman yang dengan polosnya mengungkapkan apa yang terjadi.

Tampak jelas betapa sulitnya hidup bebas spoiler.

Ini bukan hanya sulit bagi mereka yang menonton televisi. Para penggila konten olahraga juga memiliki masalah lama yaitu menghindari skor akhir sebelum sempat menonton pertandingan.

Seri buku populer turut menghadapi masalah plot-plot kunci yang terungkap terlalu dini. Ketika novel J.K. Rowling berjudul Harry Potter dan Pangeran Berdarah Campuran terbit pada 2005, sebuah spanduk yang tergantung di atas jembatan di atas A442 di Shropshire, Inggris, mengungkapkan kematian karakter penting.

Petugas dewan kota dengan cepat menurunkan spanduk tersebut-–meskipun alasannya mungkin lebih karena spanduk tersebut akan jatuh, bukan karena takut mengganggu kenyamanan masyarakat.

Tak ada tempat sembunyi

Spoiler sepertinya ada di mana-mana–dan pandangan umum menyatakan bahwa spoiler itu buruk. Dalam bentuk yang ekstrem, spoiler “beracun” muncul dari kesenangan beberapa orang mengganggu kejutan dan merusak alur cerita sebagai bentuk balas dendam.

Kemarahan ini bisa ditujukan pada orang tertentu atau serial itu sendiri seperti yang terjadi dalam film prekuel Star Wars. Beberapa penggemar membocorkan bagian akhir film tersebut demi menciptakan “imunisasi terhadap kekecewaan” bagi penggemar yang belum menonton.

Spoiler dapat dijadikan senjata dengan cara ini karena beberapa asumsi. Yang utama adalah, spoiler dianggap merusak kenikmatan. Namun, apakah sesederhana itu?

Dalam serangkaian eksperimen psikologis yang terbit pada 2011, peneliti di California menemukan bahwa pengetahuan seputar akhir sebuah cerita tidak mengurangi kenikmatan pembaca. Faktanya, pembaca lebih menyukai cerita yang akhir ceritanya telah terungkap sebelumnya.

A poster for Star Wars: The Force Awakens outside a cinema.
Beberapa penggemar Star Wars percaya bahwa membocorkan film-film baru menawarkan imunisasi kepada sesama penggemar terhadap kekecewaan. John Gomez/Shutterstock

Para peneliti berteori bahwa kita memikirkan spoiler secara negatif karena kita tidak dapat membandingkan pengalaman yang rusak dengan yang belum terjamah. Dari situ, kita berasumsi bahwa pengalaman yang masih alami lebih baik.

Namun, mereka juga berpendapat bahwa: “Ada kemungkinan bahwa spoiler justru meningkatkan kenikmatan dengan benar-benar meningkatkan ketegangan. Mengetahui akhir dari (naskah teater) Oedipus Rex dapat meningkatkan kenikmatan yang disebabkan oleh perbedaan pengetahuan antara pembaca mahatahu dan karakter yang sedang menuju kehancurannya.”

Eksperimen ini berfokus pada sastra klasik, yang seringkali memerlukan semacam penjelasan agar bisa mengikuti alur cerita. Oleh karena itu, spoiler dalam penelitian ini bisa dibilang mampu melengkapi alur cerita, setidaknya bagi pembaca kontemporer yang belum terbiasa dengan kompleksitas tragedi Yunani kuno.

Mungkin eksperimen tersebut akan mencapai kesimpulan yang berbeda jika mereka menggunakan, katakanlah, episode terakhir serial Succession.

Bepergian dengan kecepatan spoiler

Selain itu, karena penelitian ini melibatkan teks-teks yang semuanya ditulis sejak lama, eksperimen mereka menghilangkan masalah garis waktu kapan suatu informasi dianggap sebagai spoiler dan tidak.

Batasan ini masih bisa diperdebatkan. Pada tahun 2008, Vulture, sebuah situs berita hiburan, menerbitkan satir “statuta pembatasan” dalam mengungkapkan spoiler. Pembatasan ini mulai dari “segera setelah episode selesai” untuk reality TV hingga “100 tahun setelah penampilan debutnya” untuk opera.

Kecepatan spoiler ini penting karena erat kaitannya dengan platform digital yang menyajikannya kepada pembaca, baik yang bersedia maupun yang tidak.

Dengan kata lain, mengetahui sesuatu terlalu cepat akan menimbulkan pertanyaan yang lebih mendasar tentang bagaimana kita berinteraksi dengan ketersediaan informasi yang cepat di seluruh media digital yang ada hari ini.

Pertimbangkanlah kontroversi saat terbitnya artikel Wikipedia tentang drama panggung The Mousetrap karya Agatha Christie. Menurut pedoman Wikipedia, ringkasan plot diperlukan. Pertanyaannya adalah, apakah alur cerita tentang siapa pembunuhnya harus diungkapkan dalam ringkasan ini, mengingat bahwa penonton teater secara historis disumpah untuk menjaga kerahasiaan di akhir setiap pertunjukan.

Pada akhirnya disepakati bahwa pengguna Wikipedia harus siap dengan kemungkinan bahwa informasi ini terungkap. Kita tidak perlu menjadi Poirot untuk menyimpulkan bahwa harapan kita akan ketersediaan informasi yang mudah dan tersedia menciptakan kondisi yang selalu menimbulkan ancaman spoiler.

The outside of a theatre showing The Mousetrap
Penonton The Mousetrap terkenal bersumpah untuk merahasiakan akhir ceritanya. RichartPhotos/Shutterstock

Ini menunjukkan masalah sebenarnya dengan spoiler. Apakah mereka merusak alur cerita atau tidak tergantung pada gagasan bahwa menyajikan ringkasan yang reduktif–informasi murni–entah bagaimana menggantikan atau menyamakan pemahaman tentang film, pertunjukan, atau cerita.

Dalam bukunya Spoiler Alert, ahli teori sastra Aaron Jaffe berpendapat bahwa ancaman spoiler bergantung pada gagasan bahwa segala sesuatu dapat diterjemahkan menjadi informasi, dan informasi itu dapat ditemukan di mana saja. Namun ini, lanjut Aaron, adalah mitos. Sebenarnya, informasi jarang sekali dapat diakses sepenuhnya atau secara lengkap, karena cara penyimpanan dan koneksinya berbeda.

Tampaknya jelas bahwa jika saya tidak sengaja mengetahui skor pertandingan sepak bola sebelum menontonnya, hal itu akan merusak hiburan saya. Namun skor tersebut tidak akan memberi tahu saya apakah tim saya pantas kalah, apakah mereka dirampok karena keputusan wasit, apakah pemain favorit saya telah berkembang, dan sebagainya.

Singkatnya, spoiler tidak memungkinkan saya untuk menafsirkan arti dari permainan tersebut.

Jadi meskipun spoiler sepertinya mengharuskan kita keluar dari X atau menghindari jembatan rendah di Inggris, masih ada bagian kesenangan yang tidak dapat dihilangkan oleh informasi tumpul dari spoiler.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now