Menu Close
Penduduk mendaftar peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di halaman Kantor Cabang BPJS Kesehatan Kota Medan, Sumatera Utara, 4 Januari 2023. ANTARA FOTO/Yudi/Lmo/rwa.

Riset ungkap beberapa pekerja informal sanggup beli rokok, tapi ogah membayar iuran JKN mandiri

Setelah berjalan hampir 10 tahun, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan berhasil mencakup lebih dari 80% penduduk Indonesia.

Jaminan sosial ini bertujuan untuk menyediakan pemeliharaan dan perlindungan dasar kesehatan yang setara bagi seluruh penduduk Indonesia.

Salah satu kelompok penduduk yang rentan jatuh miskin akibat biaya pengobatan yang dibutuhkan secara tiba-tiba adalah pekerja informal.

Faktanya, tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, sekitar 80,2 juta atau 59,3% dari total penduduk yang bekerja di dalam negeri. Pendapatan pekerja sektor informal cenderung tidak tetap, meski tingkat kesejahteraan mereka cenderung beragam, mulai dari pra-sejahtera hingga sangat sejahtera.

Saat ini, sebagian dari keseluruhan peserta JKN dibiayai oleh negara. Sebagai negara berkembang yang tidak memiliki ruang fiskal yang besar, alangkah baiknya kesinambungan program JKN mulai mengandalkan kontribusi para anggotanya, yaitu masyarakat Indonesia.

Partisipasi aktif masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai peserta dan membayar iuran secara rutin sangat diharapkan. Namun, sekitar 28% pekerja informal masih sulit membayar premi JKN secara teratur dengan alasan kesulitan keuangan.

Ironisnya, ketika ditanya antara membayar iuran JKN atau membeli rokok, dua hal yang cukup bertolak belakang secara kesehatan, tidak semua pekerja sektor informal dengan yakin memilih untuk membayar iuran JKN. Apa yang sebenarnya terjadi?

Riset kualitatif terbaru kami di tiga daerah di Indonesia (Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Sumedang) bertujuan untuk menggali kemauan pekerja sektor informal (khususnya dalam kelompok pra-sejahtera) untuk membayar premi JKN secara mandiri. Riset dilakukan dari Juni ke Juli 2019 dengan melibatkan 33 partisipan.

Hasilnya, beberapa dari mereka menolak membayar premi JKN secara mandiri dengan berbagai alasan, termasuk ketidakmampuan untuk berhenti merokok, pelayanan kesehatan yang kurang memuaskan, premi JKN yang dianggap memberatkan, serta alasan lainnya.

Pada saat berdiskusi, kami bertanya: “Semisal bapak atau ibu memiliki rezeki lebih dan dalam kondisi mampu (secara finansial), lalu belum mendapat bantuan dari pemerintah, kira-kira bapak atau ibu mau nggak secara mandiri mendaftar BPJS dan membayar iurannya?”

Sayangnya, tidak semua peserta diskusi terarah (FGD) dalam riset ini menyetujui ide tersebut. Ketika dibandingkan dengan pengeluaran membeli rokok, jawaban peserta juga beragam. Ternyata, kondisi ekonomi bukan satu-satunya alasan pekerja sektor informal mau membayar iuran JKN secara mandiri.

Pendekatan teori perilaku kesehatan

Menggunakan kerangka teori perilaku kesehatan Health Belief Model, kami berupaya menganalisis jawaban yang diberikan oleh peserta diskusi.

Teori Health Belief Model memungkinkan peneliti untuk menganalisis suatu perilaku kesehatan berdasarkan persepsi kerentanan, risiko, manfaat, dan hambatan dari suatu fenomena atau masalah kesehatan. Persepsi seseorang terkait kemampuan dirinya dalam melakukan suatu perilaku kesehatan juga tercakup dalam teori ini.

Ketika memilih antara membayar iuran JKN secara mandiri atau membeli rokok, banyak hal yang mempengaruhi jawaban para peserta diskusi. Bukan hanya kemampuan membayar iuran, kebermanfaatan dan hambatan dalam pelayanan kesehatan serta ketergantungan merokok turut menjadi pertimbangan pekerja sektor informal.

Hampir semua peserta diskusi berpendapat bahwa dengan kondisi ekonomi mereka, mereka membutuhkan JKN yang dapat membantu pengobatan mereka saat sakit. Para peserta diskusi juga menyadari bahwa merokok berdampak buruk pada kesehatan.

Namun demikian, efek adiksi membuat para pekerja sektor informal merasa tidak sanggup berhenti merokok. Selain itu, pasangan dari beberapa pekerja sektor informal cenderung mendorong perilaku merokok suaminya karena dinilai meningkatkan produktivitas mereka.

Di lain pihak, pengalaman kurang memuaskan yang dialami saat mengakses pelayanan kesehatan juga membuat mereka enggan membayar iuran. Tenaga kesehatan setempat dinilai kurang ramah dalam memberikan pelayanan.

Karena adanya program bantuan dari pemerintah, beberapa pekerja sektor informal merasa enggan membayar iuran JKN secara mandiri. “Selama ada yang gratis, kenapa susah-susah bayar,” kata salah satu peserta diskusi.

Keengganan membayar premi JKN secara mandiri mempengaruhi keberlanjutan program JKN yang saat ini masih sangat bergantung pada subsidi pemerintah. “Mental gratisan” yang masih ditemukan di kalangan masyarakat menunjukkan bahwa prinsip gotong-royong yang selama ini digaungkan oleh BPJS Kesehatan belum benar-benar diterima dan diadopsi oleh masyarakat.

Literasi asuransi kesehatan

Literasi kesehatan yang baik menentukan sejauh mana individu dapat memperoleh, memproses, dan memahami informasi serta layanan kesehatan dasar yang diperlukan untuk membuat keputusan kesehatan.

Literasi kesehatan yang baik akan mendukung literasi asuransi guna mengantisipasi kerentanan kesehatan yang mungkin dihadapi pekerja informal di masa depan.

Literasi asuransi memungkinkan masyarakat untuk memiliki pengetahuan yang secara aktif mampu memilih rencana terbaik untuk kesehatannya. Literasi asuransi adalah kebijakan kunci untuk mendorong pekerja informal bergabung dan berpartisipasi dalam program JKN.

Pekerja informal yang cenderung miskin biasanya memilih membeli rokok dibandingkan membayar premi JKN. Mereka bahkan tidak segan-segan mengalokasikan Rp.450 - 750 ribu per bulan untuk membeli rokok dibandingkan membayar premi JKN yang hanya Rp 35.000 per bulan per kepala untuk kelas 3 – sebenarnya Rp 42 ribu, dengan Rp 7.000 di antaranya disubsidi pemerintah.

Namun lagi-lagi, kemauan membayar iuran JKN secara mandiri ini tidak hanya berkaitan dengan alasan ekonomi. Ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu ‘penghambat’ masyarakat untuk membayar iuran JKN secara mandiri.

Gunakan kultur lokal untuk kampanye

Pemerintah, rumah sakit, puskesmas, tenaga kesehatan, dan asosiasi profesi kesehatan perlu meningkatkan literasi asuransi dalam konteks lokal sesuai kultur setempat.

Kultur Indonesia yang masih membangun relasi intim dengan keluarga bisa dimanfaatkan. Seperti memberikan informasi preventif lewat penyuluhan di puskesmas dengan target peserta ibu-ibu untuk bersama membangun ketidaksukaan terhadap asap rokok di rumah.

Literasi asuransi yang dapat dibangun adalah lebih baik menyisihkan penghasilan demi kepentingan keluarga jika suatu saat terjadi kerentanan kesehatan.

Selain itu, perokok pasif juga mendapatkan potensi penyakit yang biaya pengobatannya tidak sedikit. Dorongan keluarga dapat membuat perokok berhenti karena faktor kecintaan dengan keluarga. Dengan begitu, uang untuk membeli rokok bisa dialihkan untuk membayar premi JKN.

Kampanye literasi kesehatan juga dapat menekankan kembali nilai gotong-royong dalam program JKN. Selain itu, kebijakan-kebijakan JKN sebaiknya juga menekankan pentingnya menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Hal ini penting karena peningkatan literasi kesehatan akan terhalang apabila masyarakat masih memelihara stigma mengenai sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang mudah dan merasa tidak puas pada pelayanan kesehatan yang tersedia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now