Menu Close
Imigran rohingya menunggu penanganan dan relokasi di Banda Aceh, Aceh, Selasa 12 Desember 2023. Irwansyah Putra/Antara Foto

Rohingya di Indonesia: bagaimana dehumanisasi terhadap pengungsi terjadi di media sosial

Pada penghujung 2023, isu pengungsi menjadi perhatian masyarakat Indonesia utamanya di sosial media. Padahal sebelumnya pengungsi internasional ini bukan isu yang banyak dibicarakan publik.

Produksi dan perputaran informasi di sosial media penuh dengan disinformasi dan narasi kebencian terhadap pengungsi. Yang paling terlihat adalah terhadap pengungsi etnis Rohingya, kelompok minoritas di Rakhine, Myanmar, yang mengalami persekusi sosial, politik, dan agama.

Di Indonesia, dehumanisasi kelompok pengungsi bahkan diproduksi dan diamplifikasi oleh influencer dan content creator. Konten mereka berisikan disinformasi dan ujaran kebencian karena cenderung mengutamakan perhatian daripada kebenaran informasi.

Situasi diperparah oleh lambannya pemerintah dan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) dalam meluruskan informasi. Ini kemudian berdampak pada berkembangnya sikap rasisme dan anti-imigran.

Isu pengungsi internasional di Indonesia

Dalam sejarahnya, Indonesia telah menerima pengungsi internasional sejak tahun 1970-an. Pada saat itu ribuan pengungsi dari Vietnam ditempatkan sementara di Pulau Galang di Batam, Kepulauan Riau, sebelum dipindahkan ke negara penerima atau dikembalikan pulang.

Hingga abad ke-21, pengungsi internasional masih berdatangan ke Indonesia dari berbagai negara. Bukan untuk tinggal menetap, melainkan mencari suaka sementara.

Aliran pengungsi internasional menuju Indonesia dari tahun 2003-2018. Aditya dan Pitoyo (2023)

Meskipun sudah lama berurusan dengan pengungsi, Indonesia belum mampu menangani isu ini secara baik. Salah satu contohnya adalah saat kedatangan para pengungsi Rohingya belakangan ini.

Salah satu aspek yang sering luput dalam manajemen krisis pengungsi di Indonesia adalah manajemen informasi publik pada saat krisis terjadi. Kolaborasi pemerintah dan UNCHR cenderung lebih fokus pada proses pencegahan, penyelamatan, pendaratan pengungsi, dan pengelolaan di rumah detensi. Memang, fokus tersebut merupakan amanat Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.

Di era digital ini, informasi dapat menyebar dengan cepat dan luas ke masyarakat. Keakuratan informasi menjadi penentu bagaimana masyarakat dapat memahami krisis pengungsi yang sedang terjadi.

Kapitalisasi sosial media oleh ‘influencer’ dan ‘content creator’

Setelah banyak content creator menggunakan isu pengungsi Rohingya sebagai bahan untuk meningkatkan popularitas mereka, isu ini semakin menjadi perhatian besar di masyarakat.

Akun instagram @hamzali_abradinezad menjadi contoh bagaimana content creator memanfaatkan isu ini untuk mendapat engagement publik.

Begitu pula TikTok @geraldvincentt yang videonya telah ditonton 4,2 juta kali. Meskipun tidak memiliki latar belakang yang berkaitan dengan isu pengungsi, akun-akun tersebut gencar membahas pengungsi Rohingya. Bukannya mengedukasi, konten-konten yang dibuat cenderung provokatif dan menyulut kebencian dari masyarakat.

Ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa di era pascakebenaran atau post-truth, kebenaran informasi menjadi nomor dua. Yang pertama adalah perhatian publik.

Prinsip ini kerap digunakan oleh content creator karena mereka memiliki kepentingan untuk mengapitalisasi akun media sosial mereka. Akun yang memiliki engagement publik yang tinggi akan bernilai jual tinggi, misalnya terkait tarif endorsement produk suatu perusahaan.

Padahal, konten-konten yang dibuat sensasional agar mencuri perhatian publik seringkali mengarah pada dehumanisasi kelompok pengungsi. Pengungsi tidak lagi ditunjukkan sebagai kelompok lemah yang pantas dibantu. Mereka sering ditampilkan sebagai penyelundup, pembuat onar, bahkan disamakan dengan orang-orang yang akan merebut tanah masyarakat lokal.

Pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh juga sering disamakan dengan penduduk Israel yang dulunya merupakan pengungsi di tanah Palestina. Publik di media sosial mengekspresikan kekhawatiran masyarakat jika kelompok Rohingya di masa depan akan menjajah tanah masyarakat Aceh.

Tidak sedikit juga yang mengaitkan isu pengungsi ini dengan Pemilu 2024, bahkan dengan penemuan cadangan migas di Aceh.

Ironisnya, konten-konten yang tidak memanusiakan pengungsi semacam ini mendapat perhatian besar dari pengguna sosial media. Pemanfaatan isu untuk kepentingan pribadi inilah yang turut menjadi tantangan bagi produksi informasi tentang krisis kemanusiaan.

Dua mata pisau media sosial

Kehadiran teknologi informasi mulanya diharapkan mampu memperkenalkan masyarakat dengan isu pengungsi internasional. Media sosial, contohnya, seharusnya mampu memfasilitasi produksi, distribusi, dan konsumsi informasi secara cepat dan masif tentang pengungsi.

UNHCR dan Organisasi Migran Internasional (IOM) mengakui bahwa sosial media menjadi elemen penting dalam krisis pengungsi. Gambaran yang tepat tentang pengungsi sebagai kelompok rentan diharapkan dapat meningkatkan keinginan masyarakat untuk menerima atau bersimpati terhadap mereka.

Namun, media sosial layaknya pisau bermata dua. Ia juga berpotensi menjadi sumber dari misrepresentasi dan misinformasi tentang pengungsi serta, lebih jauh lagi, dapat menciptakan sentimen anti-imigran dan rasisme.

Hal ini setidaknya pernah terjadi di Turki. Berita bohong dan rasisme digital mewarnai sosial media masyarakat Turki saat kedatangan pengungsi dari Suriah. Hal yang sama juga terjadi di Inggris, Denmark, dan Kanada saat krisis pengungsi terjadi di Eropa.

Memopulerkan aksi sosial

Pendapat individual pengguna media sosial patut menjadi perhatian karena lama kelamaan dapat menjadi pemahaman kolektif mengenai asal muasal pengungsi Rohingya dan mengapa mereka bisa sampai ke Indonesia. Pemahaman tersebut dapat memengaruhi sentimen masyarakat luas dan keputusan mereka untuk menerima dan membantu pengungsi atau menolaknya.

Produksi dan perputaran informasi yang jauh dari akurat dapat melahirkan kesalahpahaman dan sentimen. Ini kemudian dapat berujung pada penolakan, aksi berbau rasisme dan antiimigran, dan lebih jauh lagi, berpotensi menyebabkan konflik sosial di tengah masyarakat yang pada akhirnya mengganggu stabilitas nasional.

Sayangnya, diskusi yang terjadi di media seringkali luput dalam manajemen krisis pengungsi di level nasional maupun internasional. Pemerintah dan organisasi internasional sangat lamban, bahkan cenderung membiarkan, dalam memberikan narasi umpan balik untuk merespons disinformasi seputar pengungsi.

Pernyataan ahli di media televisi yang bersifat sensitif dan provokatif.

Sosial media telah berhasil secara efektif memopulerkan isu pengungsi di masyarakat. Namun, arus informasi bergerak ke arah yang salah.

Tekanan-tekanan sosial seharusnya diarahkan pada pemerintah dan rezim penanganan pengungsi internasional atas kegagalan mereka mengelola pengungsi dengan baik, bukan justru diarahkan pada para pengungsi.

Pengusiran dengan kekerasan pengungsi Rohingya oleh mahasiswa di Aceh.

Pekerjaan rumah bagi pemerintah dan UNHCR

Media sosial jangan lagi dilihat hanya sebagai bentuk budaya modern dalam berkomunikasi, tetapi juga arena baru untuk politisasi informasi.

Nilai universal bahwa membantu mereka yang lemah sangat mudah digantikan dengan narasi-narasi kebencian terhadap kelompok pengungsi dengan menampilkan informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya.

Disinformasi dan narasi kebencian terhadap kelompok rentan media sosial seharusnya menjadi cambukan bagi pemerintah Indonesia dan UNHCR. Hal yang bisa dilakukan salah satunya adalah membentuk tim untuk memproduksi narasi umpan balik yang dapat mengklarifikasi atau memvalidasi kebenaran tentang isu pengungsi dan mempromosikan nilai-nilai solidaritas.

Pemerintah, jika diperlukan, dapat memangkas birokrasi penyampaian klarifikasi agar dapat meluruskan informasi secara cepat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now