Menu Close
Utang Indonesia
Gedung Kementerian Keuangan. Wulandari Wulandari/shutterstock

Rp 1.000 triliun dari mana? Memahami seluk beluk utang Indonesia dan menimbang bahayanya

Belum lama ini, mantan wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla, menyebutkan bahwa dalam setahun, Indonesia membayar utang hingga Rp 1.000 triliun.

Pernyataan ini ramai diperbincangkan karena kerap kali masyarakat menilai utang dengan perspektif negatif.

Tak ayal, hal ini mendorong keingintahuan publik mengenai kebenaran dan asal muasal nominal Rp 1.000 triliun.

Asal nominal Rp 1.000 T: Berapa utang yang sebenarnya dibayar per tahun?

Saat membahas mengenai utang, kita sebaiknya terlebih dahulu berkenalan dengan definisinya. Utang adalah suatu pinjaman dana, baik dalam bentuk tunai ataupun surat berharga yang digunakan untuk membeli barang atau jasa sebagai pemenuhan kebutuhan dan harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu.

Negara perlu berutang untuk membiayai investasi publik, sebagai perangsang perekonomian dan akselerasi pencapaian sasaran pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta menjaga kesehatan keuangan negara dan mencegah pengeluaran berlebih.

Oleh karena itu, utang juga harus dilihat dari sisi penggunaannya seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya masyarakat, kesehatan, bantuan sosial dan subsidi, hingga membayar gaji pegawai negeri.

Bagaimana dengan utang Indonesia? Menilik dari nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), setidaknya terdapat tiga poin utama yang harus dibayarkan oleh negara setiap tahun.

Pertama adalah surat berharga negara (SBN).

SBN berperan penting dalam upaya pengembangan pasar keuangan. Sebab, selain untuk membiayai APBN, hasil penerbitan SBN juga menjadi sarana investasi bagi masyarakat. Dalam jangka panjang, porsi kepemilikan SBN oleh investor domestik yang semakin besar dapat mendukung terwujudnya pasar keuangan yang likuid dan tidak mudah terdampak oleh volatilitas global.

Melalui SBN, masyarakat dapat memperoleh imbal hasil investasi, sekaligus berperan langsung dalam pembiayaan pembangunan. Singkatnya, pemerintah ‘berutang’ pada masyarakat.

Hingga Juni 2022, SBN jatuh tempo dan harus dibayar adalah sebesar Rp 316,9 triliun. Nilai ini masih akan bertambah hingga realisasi final di akhir 2022. Saat ini datanya belum diterbitkan.

Kedua adalah pembayaran bunga utang.

Jenis utang yang dimiliki Indonesia terdiri atas utang dalam negeri dan utang luar negeri. Utang memiliki bunga yang harus dibayar setiap tahun sebagai keuntungan bagi pemberi utang.

SBN termasuk dalam instrumen utang dalam negeri, dan memiliki bunga sebagai imbal hasil untuk para investor.

Oleh karena SBN mendominasi portofolio utang pemerintah, pembayaran bunga utang Indonesia pun didominasi oleh bunga utang dalam negeri.

Per 2023, total bunga utang yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 441,4 triliun.

Ketiga adalah pembayaran cicilan pokok pinjaman. Pembayaran cicilan pokok pinjaman Indonesia berasal dari cicilan pokok pinjaman dalam negeri dan luar negeri dengan total sebesar Rp 82,1 triliun. Pembayaran cicilan pokok pinjaman ini termasuk dalam komponen pembiayaan utang yang terdiri dari penarikan pinjaman dalam negeri, pinjaman tunai, dan pinjaman kegiatan.

Berdasarkan ketiga komponen ini, bisa disimpulkan bahwa nilai utang yang harus dibayarkan oleh Indonesia pada 2023 adalah sebesar lebih kurang Rp 840,4 triliun.

Kepada siapa utang ini dibayarkan?

Instrumen utang Indonesia terdiri atas surat berharga negara (SBN) dan pinjaman (dalam negeri dan luar negeri). Nominal pinjaman luar negeri per Juni 2022 sebesar Rp 806,7 triliun sedangkan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 15,4 triliun.

Angka dari besaran pinjaman (dalam negeri dan luar negeri) memiliki perbandingan yang jauh terhadap nominal surat berharga negara (SBN) yang memiliki nilai sebesar Rp 6.301,9 triliun. Artinya, SBN mendominasi instrumen utang di Indonesia yaitu sekitar 88%.

Kepemilikan SBN oleh institusi domestik berdasarkan data realiasasi hingga Juni 2022 yaitu hampir mencapai 80%. Mereka di antaranya adalah bank umum, Bank Indonesia (BI), reksadana, asuransi dan dana pensiun, dan lain-lain dengan persentase masing-masing 29,6%, 20,9%, 3,2%, 15,9%, dan 8,6%. Sisa 21,9% dimiliki oleh asing.

Simpulannya, Indonesia paling banyak meminjam dana dari dalam negeri sehingga pokok dan bunga pinjaman yang dibayarkan juga ditujukan ke dalam negeri.

Ini menjadi alasan mengapa pemerintah menjadikan utang sebagai instrumen untuk mendukung pencapaian target pembangunan. Prinsipnya: dari Indonesia untuk Indonesia.

Apakah nilai utang Indonesia berbahaya?

Utang tidak bisa dinilai hanya berdasarkan nominalnya saja. Penilaian utang harus ada pembanding sehingga nilai tersebut tidak menimbulkan arti yang bias.

Di Indonesia, utang dapat dikatakan besar atau kecil jika telah dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan UU No. 17 tahun 2003, batas maksimal defisit adalah sebesar 3% dan rasio utang maksimal 60% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Namun, hingga 2022, batasan defisit Indonesia masih dilonggarkan hingga melebihi 3%. Pelonggaran ini dibolehkan sesuai UU Nomor 2 Tahun 2020 (tentang Perppu Covid) karena Indonesia membutuhkan dana untuk penanganan dampak COVID-19.

Perlu diingat bahwa situasi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di penjuru dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat bahwa pada tahun pertama pandemi, utang global menyentuh rekor tertinggi menjadi US$226 triliun atau naik 28% menjadi 256% dari PDB global.

Meski demikian, Indonesia tidak dalam kondisi berbahaya karena komposisi sumber pinjaman utang didominasi oleh pinjaman dari dalam negeri. Selama kegiatan ekonomi terus berjalan, maka pembayaran SBN dan pinjaman akan dapat terus dibayarkan oleh pemerintah.

Persentase rasio utang terhadap PDB Indonesia pada 2021 juga masih terjaga di kisaran 40,71% – juga menurut data IMF. Ini menunjukkan kemampuan membayar utang yang masih sehat.

Sebagai perbandingan, pada periode yang sama, Amerika Serikat, Jepang dan Singapura sebagai negara maju masing-masing memiliki rasio utang sebesar 115%, 221%, dan 164% total PDB mereka. Sementara, rasio utang terhadap PDB sesama negara berkembang seperti Brasil, India, dan Thailand masing-masing berkisar di angka 88%, 54%, dan 53%.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan nilai utang Indonesia

Walau nilai rasio utang Indonesia tidak berbahaya, harus tetap dilakukan upaya untuk memperlambat laju pertumbuhan utang Indonesia. Pemerintah juga berkomitmen mengembalikan defisit kembali ke angka maksimal 3% terhadap PDB pada tahun 2023 yang memang diatur dalam UU No. 17 tahun 2003

Kementerian Keuangan telah menyusun strategi pengelolaan utang negara dengan menggunakan strategi jangka menengah dan strategi khusus. Strategi jangka menengah ini dilakukan dengan cara mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik, melakukan pengembangan instrumen yang memiliki risiko rendah utang, serta pengadaan pinjaman luar negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan prioritas dengan kondisi wajar tanpa agenda politik.

Pemerintah juga mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka menengah, meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan pasar modal, serta meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak agar pengelolaan pinjaman menjadi efisien.

Diharapkan dengan adanya strategi ini, pengelolaan utang dapat dilaksanakan secara hati-hati, akuntabel, dan transparan sehingga dapat menurunkan nilai utang Indonesia.

Namun demikian, harus dicatat bahwa walaupun utang membawa manfaat dalam pembangunan, kita tetap perlu memperhatikan nominal utang yang bertumbuh. Pemerintah harus cerdik menempatkan utang di sektor produktif dan memilih investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah harus menghindari strategi “gali lubang, tutup lubang” yang bisa menjatuhkan perekonomian Indonesia, seperti yang terjadi di Srilanka tahun lalu

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now