Menu Close
UU Desa diharapkan membuka peluang lebih luas bagi desa dan warganya untuk membayangkan masa depannya sekaligus mewujudkannya sesuai dengan kebutuhan, keragaman, dan keunikannya masing-masing. www.shutterstock.com

Rp187 triliun ke desa: semangat baru dan praktik lama dari UU Desa

Sejak 2015 hingga akhir tahun lalu, pemerintah pusat mengucurkan dana sekitar Rp127 triliun untuk sekitar 70 ribu desa di Indonesia. Ditambah Dana Desa tahun ini Rp60 triliun, total Dana Desa akan menjadi sekitar Rp187 triliun sampai akhir tahun ini yang disalur untuk membangun desa-desa, baik desa yang sudah maju maupun yang masih tertinggal.

Secara konseptual Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menggunakan perspektif baru yang menjanjikan, tapi pemerintah perlu meningkatkan kapasitas pengguna anggaran, perangkat desa, dan stafnya di tingkat desa.

Perlu juga dievaluasi keefektifan penggunaan dana ratusan triliun itu, termasuk adanya kasus-kasus tindak pidana korupsi yang masih menyisakan masalah. Pengawasan terhadap Dana Desa perlu ditingkatkan.

Undang-Undang Desa lahir dari semangat mulia yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup warga desa yang selama puluhan tahun terpinggirkan.

Sebelum disahkan UU Desa, desa ditempatkan sebagai objek dari pembangunan. Konskuensinya, desa hanya menerima apa pun intervensi dari pemerintah pusat atau pemerintah kabupaten dan kota. Ironisnya, hal ini terjadi setelah otonomi daerah. Posisi ini membuat entitas desa hanya memiliki sedikit peluang menggugat meski kebijakan yang ada memberi dampak negatif bagi kehidupan warga desa.

Karena itu banyak lahir kebijakan di masa lalu yang membuat warga desa bisa mudah kehilangan ragam kultur daerahnya dan juga hak atas tanah atau aset penghidupan produktif lainnya atas nama pembangunan.

Rezim setelah disahkannya UU Desa berupaya menggabungkan fungsi desa sebagai satuan masyarakat yang memiliki pemerintahannya sendiri (self-governing community) dan sekaligus sebagai pemerintahan lokal (local self-government).

Yang terbaru dari UU Desa adalah adanya upaya pemberian pengakuan terhadap desa untuk menjalankan hak asal usulnya yang meliputi revitalisasi adat-istiadat, tanah ulayat, dan kearifan lokal (asas rekognisi). Selain itu, UU Desa juga menjamin pemberian kewenangan yang bersifat lokal sehingga sebuah pemerintahan desa bisa menentukan kebijakannya sendiri (asas subsidiaritas).

Dari kedua hal di atas, UU Desa sebenarnya membuka peluang lebih luas bagi desa dan warganya untuk mewujudkannya masa depan mereka sesuai dengan kebutuhan, keragaman, dan keunikannya masing-masing. Apalagi undang-undang ini mengamanatkan pemerintah pusat untuk menyalurkan Dana Desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai bagian dari hak pemerintah desa.

Jumlah Dana Desa semakin besar. Pada 2017, transfer Dana Desa mencapai Rp60 triliun atau rata-rata Rp800 juta per desa. Jumlah ini meningkat dibandingkan alokasi 2015 yang berkisar Rp20,7 triliun rupiah atau sekitar Rp280 juta per desa.

Pelaksanaan setengah jalan

Sampai sekarang belum ada kajian yang cukup memadai untuk melihat dampak dari UU Desa baik untuk peningkatan kesejahteraan warga desa maupun untuk penanggulangan kemiskinan. Ini bisa jadi karena usia undang-undang masih baru implementasinya, sementara indikator hasilnya hanya bisa dilihat jangka panjang.

Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dapat memberi sedikit gambaran mengenai implementasi UU Desa sampai saat inu ini. Hingga 2016, pembelanjaan Dana Desa telah menghasilkan pembangunan 60.000 kilometer jalan desa, 1800 unit pasar desa, dan 11.000 gedung yang digunakan untuk Pendidikan Anak Usia Dini. Dari angka tersebut, pembangunan infrastruktur memang masih mendominasi.

Selain itu, cerita baik juga hadir dari pengembangan Badan Usaha Milik Desa. Teridentifikasinya 40 Badan Usaha Milik Desa yang telah memiliki omset di atas Rp300 juta patut diapresiasi.

Lewat refleksi tiga tahun UU Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mengukuhkan Badan Usaha Milik Desa Tirtonirmolo Bantul di Yogyakarta dengan omset Rp8,7 miliar dari usaha pinjam pinjam dan Badan Usaha Milik Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah dengan Rp5,1 miliar dari pengembangan wisata sebagai dua Badan Usaha Milik Desa paling sukses.

Bukan tanpa tantangan

Implementasi UU Desa juga bukan tanpa tantangan. Sebut saja kasus korupsi yang melanda pemerintahan desa. Pernyataan pers dari lembaga pengawas tindak pidana korupsi Indonesia Corruption Watch pada 2017 mengungkapkan sedikitnya ada 110 kasus korupsi terkait pembelanjaan Dana Desa sepanjang 2016 sampai Agustus 2017.

Kasus-kasus tersebut melibatkan setidaknya 139 pelaku dengan kerugian negara ditaksir meningkat dari Rp10,4 miliar pada 2016 menjadi Rp30 miliar pada 2017 atau naik hampir tiga kali lipat.

Modus korupsinya pun beragam, mulai dari tindak penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, peningkatan batas anggaran, laporan fiktif, pemotongan anggaran hingga suap.

Namun, perlu dipahami bahwa praktik korupsi merupakan masalah akut yang sudah melanda negeri ini bahkan sebelum lahirnya UU Desa. Akuntabilitas sosial, yakni pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, perlu bekerja untuk mengatasi permasalahan ini.

Selain banyaknya praktik korupsi, tantangan lainnya dalam pelaksanaan UU Desa terkait dengan kesiapan unsur-unsur pemerintah desa dan pemerintahan di atasnya. Saat ini keterlibatan masyarakat dan Lembaga Kemasyarakatan Desa dalam proses pembangunan masih terbatas. Di samping itu, peran Badan Permusyaratan Desa juga belum optimal. Belum lagi keberadaan pendamping desa yang masih dihujani kritik.

Selain itu, pemerintah pusat harus menjaga jangan sampai kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan melanggar hakikat UU Desa itu sendiri sebagai subjek utama dalam pembangunan. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah pusat diharapkan tidak hanya sebatas instruksi dan pelengkap administrasi tapi perlu mendorong sebesar-besarnya kemandirian dan keberdayaan desa.

Dengan pelaksanaan UU Desa yang optimal, maka anggapan desa-desa akan maju bila Indonesia maju tidak lagi relevan, karena seharusnya Indonesia akan maju bila desa-desanya telah maju.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now