Menu Close
Dengan data genom publik, sebuah tim di Berlin menyempurnakan mekanisme diagnosis untuk mendeteksi 2019-nCoV lebih dari seminggu sebelum kasus pertama coronavirus di Jerman. Shutterstock

Sains terbuka mendorong riset global untuk hadapi coronavirus: mengapa peran Indonesia minim?

Kolaborasi antara peneliti dunia untuk menghadapi coronavirus Wuhan (2019-nCoV) terbentuk begitu cepat akibat adanya data materi genetik virus yang bisa diakses siapa saja. Namun, Indonesia tampaknya tertinggal dalam upaya global tersebut akibat terbatasnya kapasitas dan prioritas riset yang berbeda di negeri ini.

Indonesia, yang memiliki jumlah penduduk hingga 270 juta orang, masih belum melaporkan adanya temuan kasus conoravirus meskipun negara tetangga Singapura dan Malaysia telah menyatakan ada warganya yang terinfeksi.

Berbagai pihak mempertanyakan klaim Indonesia tentang tidak adanya satupun kasus.

Sebuah studi dari Harvard University dari Amerika Serikat menyimpulkan bahwa belum adanya satupun kasus 2019-nCoV yang terdeteksi di Indonesia adalah hal yang mengejutkan.

Laporan media menyatakan bahwa keterlambatan Indonesia dalam mendapatkan alat tes yang dapat secara langsung mendeteksi 2019-nCoV adalah alasan mengapa Indonesia masih belum melaporkan kasus coronavirus.

Para peneliti juga mengindikasikan bahwa kapasitas laboratorium di Indonesia belum seunggul lab lain di dunia. Hal ini membuat Indonesia cenderung lamban dalam riset kesehatan dan belum mampu bergabung dalam upaya penelitian global untuk menangani coronavirus 2019.


Read more: 4 hal yang sedang ilmuwan selidiki soal coronavirus Wuhan


Saat ini, 42.000 orang sudah tertular kasus penularan dan setidaknya 1.000 orang kehilangan nyawanya di Cina, ditambah lagi 350 kasus di setidaknya 25 negara lain. Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya memberikan status darurat kesehatan global terkait epidemi coronavirus 2019.

Sejak urutan genom (genome sequence) dari 2019-nCoV tersedia di basis data genetika ‘GenBank’ yang terbuka untuk siapa saja pada awal Januari, laboratorium di seluruh dunia saling bergegas untuk mencari tahu tentang virus tersebut - gejalanya, kemiripan dengan jenis coronavirus yang sudah ada, bagaimana penularannya dan seberapa cepat.

Berbagai inisiatif tersebut didominasi oleh institusi riset di Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan berbagai laboratorium di Eropa - namun tidak ada yang berasal dari Indonesia.

Celah pada kapasitas dan pendanaan

Sebelum mendapatkan perangkat diagnosis yang secara khusus menguji 2019-nCoV beberapa hari lalu, pemerintah Indonesia menggunakan mekanisme diagnosis yang hanya dapat mendeteksi turunan coronavirus secara umum dan butuh pengurutan genetik tambahan untuk benar-benar bisa mendeteksi coronavirus Wuhan.

Laporan mengatakan bahwa metode dua langkah ini dapat memakan waktu hingga 6 hari untuk setiap diagnosis.

Sementara lab di luar negeri sudah berhasil memanfaatkan urutan genom 2019-nCoV untuk mengembangkan sendiri perangkat diagnosis yang efektif, Direktur Institut Eijkman untuk Biologi Molekuler [EIMB] Amin Soebandrio mengatakan bahwa lab-lab di Indonesia kesulitan untuk mengikuti langkah tersebut.

“Kita tentu melakukan penelitian dan pengembangan, tapi kecepatan kita bergerak tidak setinggi teman-teman kita di negara maju dengan fasilitas dan pendanaan yang lebih fleksibel,” katanya.

Saat ini, hanya tiga laboratorium di Indonesia yang memiliki kapasitas untuk menguji coronavirus yang baru, di antaranya Eijkman dan juga Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Dari ketiganya pun, hanya laboratorium Kementerian Kesehatan yang memiliki otoritas untuk menjalankan pengujian.

“Kami belum membuat sendiri [perangkat diagnosis khusus 2019-nCoV] karena pertimbangan kecepatan dan ekonomi juga.”

Ketika ditanya berapa dana dari pemerintah yang diberikan kepada EIMB, Amin menolak untuk menjelaskan. Namun, ia mengindikasikan bahwa anggaran yang ada diprioritaskan untuk menangani epidemi.

“Anggaran dari pemerintah yang tersedia utamanya dipergunakan untuk menangani kasus-kasus, jadi menyiapkan fasilitas penanganan awal, juga di bandara misalnya disediakan thermoscanner [pemindai temperatur] yang besar-besar, kan mahal,” katanya.

Keterbatasan dana untuk riset menghalangi upaya penelitian tentang coronavirus Wuhan.


Read more: Kapan vaksin coronavirus Wuhan bisa dibuat? 5 pertanyaan dijawab ahli vaksin


Sementara itu di beberapa negara lain, tim riset dapat mengakses pendanaan dari berbagai sumber alternatif - sesuatu yang telah sering dikritisi karena minim di Indonesia - untuk riset dan pengembangan teknik diagnosis untuk 2019-nCoV.

European Commission (Komisi Eropa) baru-baru ini mengumumkan dana berjumlah total hampir Rp 150 miliar, sementara Institut Riset Kesehatan Kanada membuka pendaftaran untuk paket pendanaan Rp 14 miliar bagi peneliti yang mengembangkan upaya penanganan - termasuk diagnosis maupun vaksin - untuk coronavirus 2019.

Kombinasi dari keterbatasan kapasitas dan pendanaan bisa jadi menjelaskan mengapa komunitas riset kesehatan di Indonesia belum mampu memanfaatkan bank data urutan genom coronavirus yang terbuka aksesnya.

Menengok riset internasional

Sejak urutan genom 2019-nCoV tersedia di GenBank, berbagai laboratorium di seluruh dunia berlomba untuk mengembangkan perangkat diagnosis untuk secara spesifik dan akurat mendeteksi coronavirus Wuhan pada pasien.

Hingga kini terdapat enam tim yang telah secara publik membagikan mekanisme pengujian mereka dengan WHO. Di antaranya adalah Hong Kong University dan Charité Berlin University of Medicine di Jerman.

Tim peneliti dari Berlin, misalnya, mengembangkan salah satu alat tes pertama untuk coronavirus 2019. Mereka dapat dengan cepat mengembangkannya karena telah lama berpengalaman meneliti virus yang terkait dengan SARS.

Ketika kemudian urutan genomnya pertama dirilis dari Cina, tim tersebut mampu dengan segera memanfaatkannya untuk menyempurnakan perangkat tes yang ada.

Temuan tersebut diumumkan bahkan lebih dari seminggu sebelum munculnya kasus coronavirus pertama di Jerman.

Selain itu, sejak awal tahun ini terdapat lebih dari 90 publikasi internasional terkait 2019-nCoV yang tersedia di salah satu repositori penelitian kesehatan terbesar, PubMed.

Lima puluh penelitian sudah dipublikasikan hanya dalam satu minggu belakangan ini.

Mungkinkah prioritas memang berbeda?

Anis Fuad, peneliti epidemiologi dan kesehatan masyarakat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menawarkan penjelasan alternatif.

Ia mengatakan bahwa partisipasi Indonesia yang rendah dalam riset coronavirus di tingkat global disebabkan komunitas peneliti Indonesia memiliki prioritas penelitian yang berbeda.

“Kalau sekarang dunia baru sibuk mengenai coronavirus, di Indonesia belum positif sehingga mungkin juga produk atau sampel untuk meneliti, insentif untuk meneliti kan sedikit,” katanya.

“Berbeda dengan TBC [tuberkulosis] itu kasusnya sampai ratusan ribu per tahun di Indonesia, malaria juga.”

Laporan terkini memperkirakan sekitar 800.000 hingga 1 juta kasus TBC di Indonesia - tertinggi ketiga setelah India dan Cina. Beban ekonomi Indonesia akibat TBC adalah salah satu yang tertinggi di dunia.

Anis sendiri sedang dalam tahap awal melakukan riset berbasis bibliometri untuk memahami bagaimana ilmuwan meneliti coronavirus dengan melihat publikasi yang diindeks di PubMed.

“Ada sekitar 9.700 entri berkaitan dengan coronavirus secara umum sejak awal-awal [epidemi SARS di tahun 2002]. Sekarang ada sekitar 300-400 publikasi terindeks di PubMed setiap tahunnya,” katanya.

“Dari jumlah tersebut, yang menulis dari Indonesia kurang dari 10. Ini belum bicara yang Wuhan.”

Ia menyarankan salah satu cara memantik peneliti Indonesia untuk turut berpartisipasi pada riset coronavirus adalah menghubungkannya dengan fenomena lokal yang lebih familiar dengan masyarakat Indonesia.


Read more: Bagaimana _coronavirus_ Wuhan bisa saja berasal dari ular


“Misal ada beberapa peneliti yang - kalau tidak salah dari IPB [Institut Pertanian Bogor] - melihat variasi coronavirus yang ada di Sulawesi yang katanya terkait budaya perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi makanan satwa liar [seperti kelelawar dan ular].

"Saya kira temuan dari riset dengan konteks lokal untuk coronavirus semacam itu dapat memperkaya peneliti lain seperti yang sekarang [meneliti 2019-nCoV], meskipun beda karakteristik. Kemudian urutan genomnya dipublikasikan [di Genbank] juga bisa membantu untuk saling memanfaatkan.”

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now