Menu Close

Saling membutuhkan, Indonesia sebaiknya perkuat kerja sama energi terbarukan dengan Singapura

plts terapung
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS terapung). tampatra/iStock

Dalam beberapa tahun belakangan ini, hubungan ekonomi antara Indonesia dan Singapura terlihat semakin hangat.

Singapura masih menjadi negara salah mitra ekonomi utama Indonesia dalam bidang investasi dan perdagangan.

Kedua negara tersebut juga mendapatkan keuntungan bersama dari kerjasama bidang industri di Indonesia, seperti KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yaitu Nongsa Digital Park di Pulau Batam, Kepulauan Riau, dan Kawasan Industri Kendal di Jawa Tengah.

Pada 25 Oktober 2021, tiga proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) serta sistem penyimpanan listrik yang berskala besar ditandatangani oleh perusahaan patungan Indonesia dan Singapura, untuk mempercepat pengembangan industri energi terbarukan di Batam. Acara penandatanganan kerja sama itu juga disaksikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif serta Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Kedua Perdagangan dan Industri Tan See Leng dari Singapura.

Tiga proyek tersebut akan memberikan manfaat untuk masing-masing negara.

Akibat keterbatasan lahan, Singapura tidak bisa membangun PLTS berskala besar. Sementara, Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah dan juga terletak dalam posisi geografis yang strategis. Sehingga, kerja sama di antara kedua negara akan mendorong transisi energi di Singapura dan mengerek industri energi terbarukan, serta menciptakan pekerjaan baru yang berkualitas di Batam.

Ambil peluang atau lepaskan?

Namun, keadaan berbalik saat awal Juni 2022, pemerintah Indonesia mengumumkan larangan ekspor listrik yang bersumber dari energi terbarukan ke luar negeri. Alasan yang cukup strategis adalah pemerintah Indonesia sebenarnya juga menginginkan investor asing masuk ke Indonesia. Sementara, jika kapasitas listrik hijau di Singapura semakin meningkat, maka investor akan terus menanamkan investasinya di sana.

Perubahan sikap pemerintah pusat secara tiba-tiba adalah hal yang disayangkan. Sebab, investasi dari perusahaan patungan Indonesia dan Singapura untuk membangun infrastruktur industri energi terbarukan di Batam akan mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan memberikan dampak positif untuk ekonomi setempat.

Jika listrik dari PLTS tidak bisa dijual ke Singapura, maka perusahaan Singapura mungkin tidak mau berinvestasi karena sulit untuk mendapat keuntungan.

Pemerintah pusat seharusnya berkomunikasi dengan pemerintah Batam guna mendengarkan aspirasi dan melihat peluang dan keuntungan yang akan didapatkan oleh negara jika proyek-proyek tersebut dijalankan. Koordinasi antara lembaga/institusi negara menjadi kunci untuk melahirkan sebuah kebijakan yang tepat, apakah proyek ini akan dikerjakan atau ada strategi lain.

Tiga alasan utama melonggarkan larangan ekspor energi terbarukan

Ada tiga alasan yang penting untuk melonggarkan kebijakan larangan ekspor energi terbarukan.

Pertama, bukan hanya di Batam, Indonesia mempunyai potensi PLTS yang besar. Indonesia juga akan mendapatkan keuntungan dari hasil kerja sama dengan negara-negara lain. PLTS terapung merupakan sumber energi ramah lingkungan dan punya potensi besar untuk memasok listrik di Indonesia. Meski demikian, tanpa investasi besar, termasuk investasi luar negeri yang berbasis keuntungan bersama, potensi tersebut akan sulit untuk dipenuhi.

Menurut studi dari tim 100% Renewable Energy Australian National University (ANU), PLTS terapung sangat cocok sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan Indonesia. PLTS terapung bisa dipasang baik di atas permukaan air di danau besar, seperti Danau Toba (Sumatara Utara) dan Danau Maninjau (Sumatara Barat), maupun di atas permukaan laut.

Tim ANU sudah mengidentifikasi kawasan maritim seluas 700.000 kilometer persegi yang cocok untuk pemasangan PLTS terapung di permukaan laut. Kawasan tersebut cocok karena ketinggian ombaknya tidak melebihi 4 meter, dengan kecepatan angin di bawah 15 meter per detik dalam 40 tahun terakhir.

Kedua, kerja sama di bidang energi terbarukan, termasuk ekspor listrik, akan membuka kesempatan untuk bertukar pengetahuan dan kajian proses bisnis pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan.

Sebagai contoh, proyek PLTS terapung di Singapura sudah menunjukkan bahwa air bisa menurunkan suhu panel surya, meningkatkan kinerja PLTS, dan juga memperlambat penguapan air di lokasi tersebut.

Ada dua proyek yang potensial untuk membuka kesempatan pertukaran pengetahuan. Pertama adalah proyek PLTS terapung yang direncanakan di Waduk Duriankang, waduk yang paling besar di Batam. Proyek ini akan dibangun oleh Sunseap Group dengan nilai investasi sebesar US$2 millar (Rp 30,3 triliun). Supaya bisa mengalihkan ketrampilan kepada pekerja setempat, proyek ini juga disertai pembangunan Sunseap Academy untuk membekali mereka.

Satu proyek lain adalah kerja sama antara Sembcorp Industries, PT PLN Batam, dan Suryagen untuk membangun sistem penyimpanan energi berskala besar di Batam.

Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang energi, pelibatan PLN juga penting untuk menyelesaikan masalah intermitensi energi surya (pasokan listrik yang tergantung pada cuaca) serta kebutuhan energi yang berfluktuasi. Hal ini akan sangat berguna ketika Indonesia mau menyerap energi listrik dari PLTS berskala besar di masa depan.

Terakhir, ekspor energi terbarukan juga akan mempercepat rencana ASEAN Power Grid. ASEAN Power Grid adalah sebuah inisiatif untuk menyambungkan negara-negara ASEAN dalam satu jaringan tenaga listrik. Tujuannya supaya pasokan energi dapat mengalir dari kawasan yang mempunyai kelebihan energi terbarukan.

Rencana itu akan menguntungkan eksportir energi seperti Laos dan Indonesia ke depannya. Manfaatnya juga bisa dirasakan negara kecil seperti Singapura dan Brunei terkait tersedianya pasokan listrik dari berbagai jenis pembangkit.

Sekarang, Singapura sudah mulai mengimpor 100 megawatt (MW) listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Laos. Singapura juga berencana untuk mengimpor sebanyak 4000 MW listrik dari sumber energi terbarukan, atau setara dengan 30% kebutuhan listrik negeri itu, pada tahun 2035.

Indonesia yang adalah negara tetangga Singapura, terletak pada posisi paling strategis untuk menyuplai energi terbarukan ke Singapura. Sebagai negara yang punya potensi energi surya yang melimpah hingga 190.000 terawatt-hour (TWh), Indonesia tentu mampu menjadi “baterai” Asia Tenggara dan dalam waktu yang sama mendongkrak transisi energi di ASEAN.

Saling membutuhkan

Secara umum, kami percaya bahwa Indonesia dapat berperan menjadi salah satu pemain utama sektor energi terbarukan di ASEAN. Indonesia bisa mempercepat proses tersebut dengan pembangunan kemitraan dan investasi luar negeri yang strategis. Selain itu, listrik dari energi terbarukan juga menjadi salah satu komoditas yang dapat mendatangkan devisa, supaya Indonesia tidak selalu bergantung pada ekspor batubara.

Adapun rencana-rencana seperti ASEAN Power Grid, rencana Singapura untuk mengimpor energi terbarukan, dan rencana Indonesia untuk mencapai tujuan impas emisi (net zero emmission) pada 2060 bisa dimatangkan bersama dalam pembahasan bilateral berikutnya antara kedua negara.

Kami meyakini kedua negara bisa mendapatkan lebih banyak manfaat dari kerja sama bidang energi daripada bertindak sendiri-sendiri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now