Menu Close

Satu Tahun Pandemi: keberpihakan pada dunia usaha yang membawa petaka

Sejumlah calon penumpang pesawat udara berjalan di selasar Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (2/3/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penumpang angkutan udara domestik pada Januari 2021 sebanyak 2,34 juta orang atau mengalami penurunan bila dibandingkan dengan Desember 2020 yang sebanyak 3,7 juta orang disebabkan oleh kewajiban tes COVID-19 dan imbauan pembatasan keberangkatan. ANTARA FOTO/Feny Selly/wsj. Antara Foto

Genap satu tahun berlalu sejak Indonesia mencatat kasus COVID-19 pertamanya pada tahun lalu.

Perjalanan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 kemarin seperti balapan di sirkuit yang menantang, penuh dengan tikungan tajam yang jika tidak diantisipasi dengan baik maka akan berakibat fatal.

Anda bisa mencari sirkuit bernama Nurburgring Nordschleife yang memiliki julukan neraka hijau di Jerman karena ukurannya yang sangat panjang dan luas dikelilingi pepohonan dengan lintasan penuh tanjakan dan turunan serta tikungan-tikungan tajam. Mungkin inilah sirkuit yang sedang dilalui oleh ekonomi Indonesia saat ini.

Kebijakan pemerintah yang tidak tepat akan sama seperti mobil balap yang melaju terlalu kencang ke suatu tikungan tanpa perhitungan yang cermat, hasilnya tentu bisa saja mobil hancur menghantam pembatas sirkuit.

Pemerintah seperti kebingungan dalam menangani pandemi, terlalu berpihak pada dunia usaha ketika menyelesaikan krisis kesehatan seharusnya prioritas nomor satu.

Sepanjang tahun 2020, pembatasan sosial yang tidak efektif di Indonesia telah membuat perekonomian Indonesia terjatuh ke jurang resesi. Sampai sekarang pun, penanganan pandemi yang belum juga terkendali membuat ketidakpastian pemulihan ekonomi pun masih sangat tinggi.

Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan proyek kereta ringan (LRT) di kawasan Rasuna Said, Kuningan, jakarta, Selasa (23/2/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww. Antara Foto

Kebijakan yang terlalu pro ekonomi

Pada awal terjadinya pandemi, pemerintah tidak mendengarkan para peneliti dan lebih mementingkan ekonomi, walaupun banyak pengamat memberikan pendapat bahwa krisis kesehatan yang harus menjadi prioritas dan diselesaikan terlebih dahulu.

Ini terbukti ketika pada awal-awal pandemi, pemerintah masih sempat memberikan diskon tiket pesawat untuk mendorong pariwisata yang mulai terpuruk, walaupun pada akhirnya dibatalkan.

Pemerintah pun tidak memberlakukan lockdown dan hanya memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kebijakan sejenis lainnya. Kritikan dari berbagai pihak atas pelonggaran kebijakan PSBB pun tidak didengarkan oleh pemerintah.

Pemerintah pun lebih mementingkan ekonomi ketika memutuskan untuk tetap melanjutkan pemilihan kepala daerah (pilkada) karena alasan akan menggerakkan ekonomi.

Anggaran untuk bidang perlindungan sosial dan kesehatan di program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pun jika dibandingkan lebih rendah dibandingkan untuk dunia usaha yang mencapai hampir Rp 300 triliun.

Ini terlihat dari anggaran untuk perlindungan sosial hanya mencapai Rp 243,33 triliun sedangkan anggaran untuk bidang kesehatan hanya mencapai Rp 97,26 triliun.

Namun ironinya, kebijakan yang fokus pada ekonomi tidak berhasil menyelamatkan Indonesia.

Indonesia resmi terjerumus ke jurang resesi pada triwulan ketiga tahun lalu setelah pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi pada triwulan kedua sebesar 5,3% dan setelahnya 3,49%.

Hal ini pertama kali terjadi sejak terakhir kali terjadi pada tahun 1998 ketika krisis moneter terjadi.

Buah kebijakan pemerintah yang terlalu terbagi antara kepentingan ekonomi dan kesehatan pun diprediksi bisa membawa Indonesia terjatuh ke lubang yang lebih dalam dari resesi, yaitu depresi ekonomi. Ini terjadi jika ekonomi Indonesia akan mengalami kemunduran selama setahun atau lebih.

Penyaluran PEN yang lamban dan bermasalah

Pemerintah mengumumkan program PEN pada bulan Juli tahun lalu, atau hampir lima bulan setelah kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan pada bulan Maret. Jumlahnya jika dilihat oleh orang awam cukup fantastis, yaitu Rp 695,2 triliun

Namun jika dibandingkan dengan ekonomi Indonesia, jumlah stimulus ini relatif kecil karena tidak sampai 5% dari produk domestik bruto (PDB) atau keseluruhan ekonomi Indonesia yang mencapai Rp 15.833,9 triliun pada tahun lalu.

Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan India, jumlahnya relatif kecil karena mereka mengganggarkan dana stimulus di atas 10% dari PDB.

Terlepas dari jumlahnya yang tidak besar, program PEN membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia pada tahun lalu mencapai 6,09% atau setara dengan Rp 956,3 triliun.

Defisit ini pun ditambal dengan berbagai macam utang mulai dari surat utang negara sampai ke pinjaman luar negeri, yang kesemuanya akan ditanggung oleh kita semua dan generasi mendatang.

Kebijakan Indonesia pun juga lebih memprioritaskan sektor dunia usaha ketimbang konsumen.

Untuk sektor dunia usaha, pemerintah memberikan bantuan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mencapai Rp 114,81 triliun, permodalan untuk perusahaan sebanyak Rp 62,22 triliun, dan insentif usaha sebanyak Rp 120,6 triliun. Jika ketiga pos itu digabungkan saja telah mencapai hampir Rp 300 triliun.

Tentu menjaga keberlangsungan dunia usaha sangat penting karena untuk meredam gelombang pemutusan tenaga kerja (PHK) yang bisa terjadi, namun melindungi konsumen dan daya beli mereka juga tak kalah penting.

Konsumsi rumah tangga menopang ekonomi Indonesia, dan sumbangan dari sektor ini mencapai hampir 60% terhadap produk domestik bruto atau keseluruhan kegiatan ekonomi Indonesia di tahun 2019.

Terlepas dari komposisinya yang lebih pro dunia usaha, program PEN sampai akhir tahun lalu tidak terlaksana dengan mulus, karena hanya bisa terserap sebanyak Rp 578,9 triliun atau 83,4% dari anggaran total anggaran yang tersedia.

Peningkatan signifikan dari penyerapan PEN pun hanya terjadi menuju ke akhir tahun, karena pada bulan November penyerapannya baru mencapai 60%. Ini menandakan kurang adanya kepekaan terhadap krisis dari pemerintah.

Untuk tahun ini program PEN alokasinya sedikit lebih kecil dibandingkan tahun lalu, dengan anggaran yang mencapai Rp 688,33 triliun. Berita buruknya adalah anggaran untuk perlindungan sosial kini turun, hanya Rp 150 triliun dari sebelumnya Rp 243,33 triliun.

Konsumsi masyarakat Indonesia merupakan kunci pertumbuhan ekonomi, dan saat ini konsumsi masyarakat masih lemah. Ini bisa dilihat dari deflasi atau penurunan harga yang terjadi terus menerus pada tahun lalu.

Tahun ini kita akan melihat apakah pemerintah akan mengulangi kesalahan yang sama, apakah Indonesia akan sampai ke garis akhir setelah melewati sirkuit COVID-19 yang menakutkan. Atau kita akan terhempas dan mengalami pemulihan yang lama serta menyakitkan di gedung pit yang bernama depresi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now