Menu Close
BKSDA Aceh mengerahkan lima ekor gajah jinak untuk memindahkan gajah betina liar yang terjebak di kawasan perkebunan sawit selama lima tahun. (Irwansyah Putra/Antara)

Sawit mendukung satwa liar? Logika keliru naskah akademik sawit sebagai tanaman hutan

Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University bersama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menerbitkan naskah akademik yang merekomendasikan kelapa sawit sebagai tanaman yang cocok untuk hutan terdegradasi (rusak).

Naskah ini menilik berbagai aspek mulai dari bioekologi sawit, penggunaan lahan, laju serapan karbon, dampak sosial-ekonomi, hingga keanekaragaman hayati dalam kebun sawit.

Dalam salah satu pemaparannya, penyusun mengatakan:

“Kebun kelapa sawit dapat menjadi habitat dari berbagai taksa satwa liar (mamalia, burung, amfibi dan reptil). Perubahan tutupan berupa hutan sekunder menjadi kebun sawit pada umumnya menurunkan keanekaragaman jenis (spesies) mamalia, sedangkan untuk taksa-taksa lainnya terjadi peningkatan. Perubahan tutupan bukan hutan menjadi kebun kelapa sawit cenderung meningkatkan keanekaragaman jenis hampir semua taksa.”

Kesimpulan di atas memberikan narasi bahwa kelapa sawit mendukung keanekaragaman satwa liar.

Temuan ini secara umum berseberangan dengan kajian literatur global yang melaporkan bahwa kelapa sawit masih menjadi ancaman bagi 321 spesies satwa terancam. Angka ini merupakan yang tertinggi di antara spesies tanaman minyak lainnya (kelapa, jagung, dan zaitun).

Sebagai peneliti satwa liar, saya bersama Herdhanu Jayanto, mahasiswa pascasarjana New Mexico Highlands University di Amerika Serikat (AS), membaca hasil kajian tersebut secara rinci dan memeriksa argumentasi serta publikasi ilmiah yang diacu di dalam naskah – khususnya Bab V tentang keanekaragaman hayati.

Kami mencatat ada empat poin dalam naskah akademik tersebut yang patut kita perhatikan.

1. Satwa liar hanya dijadikan sekadar angka

Naskah akademik menyatakan bahwa kebun sawit merupakan habitat satwa liar. Sejumlah penelitian mendukung bahwa satwa liar dapat hidup di kebun sawit.

Namun, kita perlu mencatat bahwa keberadaan satwa liar dipengaruhi oleh keberagaman tanaman penyusun habitat (kebun monokultur atau campuran). Jarak serta konektivitas dengan hutan sebagai habitat inti juga menjadi faktor yang berpengaruh.

Nyatanya, alih-alih menganalisis hal tersebut, naskah akademik cenderung mereduksi keberadaan spesies satwa liar menjadi sebatas angka. Penulis hanya memaparkan data-data spesies sesuai taksanya dalam jumlah tertentu, lalu membandingkannya dengan kawasan lainnya seperti hutan tanaman industri (HTI), ataupun kawasan terdegradasi (seperti area semak belukar ataupun bekas kebun).

Anda tidak akan menemukan pembahasan komposisi keragaman spesies satwa liar bernilai ekologi ataupun konservasi tinggi di dalam naskah secara komprehensif.

Padahal, setiap spesies makhluk hidup, terkhusus satwa liar, memiliki berbagai fungsi unik yang tidak tergantikan dalam menopang kesehatan dan keberlanjutan layanan ekosistem.

Naskah akademik juga masih kurang menjelaskan, apakah spesies di dalam komparasi merupakan satwa umum di hutan (babi, tikus, kodok) atau spesies terancam yang bernilai tinggi seperti owa, orang utan, dan harimau.

Selain itu, tak ada keterangan lebih lanjut seputar keberadaan spesies-spesies yang dimaksud: mereka menggunakan kebun sawit sebagai habitat utama atau hanya melintas saja?

2. Argumen tidak berimbang, tidak lengkap, dan kontradiktif

Naskah akademik membandingkan keanekaragaman satwa dalam kebun sawit dengan kawasan HTI ataupun lahan terdegradasi.

Menurut kami, perbandingan tersebut tidak berimbang karena penulis tidak menampilkan data detail terkait penurunan keanekaragaman satwa ketika hutan alam (primer) dikonversi menjadi perkebunan sawit.

Penulis naskah juga menggunakan sekitar 34 publikasi ilmiah rujukan untuk menyatakan bahwa peralihan hutan sekunder menjadi kebun sawit menaikkan keanekaragaman dan kelimpahan satwa liar, kecuali mamalia.

Kami menelaah seluruh publikasi rujukan tersebut. Hasilnya, sekitar 16 dari 34 publikasi rujukan tersebut justru menyatakan sebaliknya.

Penulis naskah juga menggunakan dua studi untuk perbandingan keanekaragaman spesies di perkebunan sawit dan HTI:

1) Kajian identifikasi nilai konservasi tinggi di perkebunan sawit PT Kahayan Agro Plantation di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan

2) Survei cepat populasi burung di kawasan konservasi dalam konsesi HTI PT Bumi Mekar Hijau di Sumatera selatan.

Kami menganggap penggunaan publikasi tersebut kurang tepat. Sebab, studi pertama dilakukan sebelum kawasan hutan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Sedangkan studi kedua membandingkan kebun sawit dengan area konservasi dalam konsesi HTI – tidak di dalam area produksi.

3. Praktik petik ceri

Naskah akademik menyatakan bahwa kebun sawit cenderung meningkatkan keanekaragaman spesies dengan diperkuat oleh sejumlah publikasi ilmiah.

Setelah menelaah naskah yang dijadikan acuan tersebut, kami justru menemukan sang penyusun memilah-milah fakta ilmiah dari sejumlah publikasi acuan untuk mendukung argumennya. Tindakan ini merupakan aksi petik ceri (cherry-picking) yang termasuk dalam kesesatan berpikir.

Misalnya, penulis naskah mengombinasikan publikasi tahun 2010 karya peneliti konservasi Leah L. Bremer dan Kathleen A. Valey) serta kajian tahun 2016 karya konsultan ekologi Chelsea Petrenko dan tim untuk mendukung pernyataan tersebut.

Padahal, jika karya Bremer dan Valey dikutip secara lengkap, maka publikasi ini mengatakan bahwa konversi perkebunan dari lahan bukan hutan (misalnya lahan terdegradasi) hanya dapat berkontribusi positif terhadap keanekaragaman hayati bila ditanam dengan tanaman asli, bukan eksotis (bukan jenis asli suatu daerah).

Naskah akademik juga melakukan bias interpretasi dari studi Petrenko dan timnya. Publikasi ini menyebutkan bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit dari lahan terdegradasi hanya mengurangi dampak terhadap keanekaragaman hayati, bukan berkontribusi besar meningkatkan keanekaragaman seperti seperti yang disampaikan di dalam naskah.

Penggunaan studi tahun 2008 dari peneliti biodiversitas Eckehard G. Brockerhoff dan tim sebagai acuan pun tidak tepat karena substansi utama publikasi ini justru tidak tercantum dalam naskah akademik.

Tiga substansi yang terkait manajemen agroforestri yang harusnya ada antara lain: pengelolaan perkebunan untuk keberlanjutan keanekaragaman hayati dengan mempertimbangkan keanekaragaman spesies tumbuhan yang ditanam (polikultur), memperpanjang rotasi penanaman, dan mengadopsi berbagai macam pendekatan pemanenan.

4. Referensi tanpa penilaian sejawat

Naskah akademik ini juga menggunakan referensi yang tidak terpublikasi melalui tinjauan sejawat (peer review).

Di antaranya adalah publikasi berjudul “Sejarah perkembangan status, penggunaan lahan dan keanekaragaman hayati kebun kelapa sawit Indonesia”, karya tahun 2016 dari tim Yanto Santosa, akademisi dari IPB, yang diacu sebanyak 30 kali.

Ada juga karya Yanto Santosa dan tim lainnya (terbit pada 2018) berjudul “Sejarah asal usul status, riwayat penggunaan lahan, keanekaragaman hayati kebun kelapa sawit di Sulawesi Barat dan Kalimantan Barat” yang diacu sebanyak 28 kali.

Kami mencoba mengakses kedua publikasi berbentuk laporan tersebut melalui internet. Sayangnya, karya Yanto tahun 2016 hanya bisa diakses dalam bentuk ringkasan eksekutif. Kami pun tidak mendapatkan akses terhadap publikasi karya Yanto tahun 2018.

Tinjauan sejawat penting dalam dunia akademik untuk menjaga kualitas produk ilmiah. Melalui penilaian sejawat, kesalahan proses ilmiah, interpretasi dan klaim yang tidak tepat, atau bias individu dapat dicegah.

Harapan perbaikan

Perubahan status sawit menjadi tanaman hutan dapat berdampak besar bagi keanekaragaman hayati. Status tersebut dapat menjadi dalih untuk melegalkan kebun-kebun yang sudah “terlanjur” di dalam hutan, dan membuka peluang untuk pembukaan hutan di masa depan.

Menghilangnya hutan tentu berdampak pada satwa liar dan juga terhadap kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, penurunan satwa kunci penyebar biji seperti owa dapat memperlambat proses regenerasi hutan.

Dampak lainnya adalah peningkatan populasi satwa umum seperti babi hutan yang justru menjadi hama pertanian. Penurunan luasan habitat dapat mendorong satwa seperti orang utan, harimau, dan gajah keluar dari hutan dan berkonflik dengan masyarakat.

Kami berharap tulisan ini dapat menjadi masukan agar tim penyusun memperkuat standar ilmiah dalam naskah akademik, khususnya BAB V mengenai keanekaragaman hayati.

Kami juga mendorong komunitas ilmiah untuk terus melakukan pemeriksaan dan peninjauan sejawat agar sebuah naskah akademik yang berdampak pada kebijakan publik dapat bersifat objektif, komprehensif, dan tidak petik ceri untuk membangun narasi tertentu.


Herdhanu Jayanto (Mahasiswa pascasarjana jurusan Sains Alam, New Mexico Highlands University) turut berkontribusi terhadap penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now