Menu Close
Presiden Joko Widodo menghadiri KTT ASEAN ke-38 secara virtual. Kantor Sekretariat Presiden/Lukas

Sebagai Ketua ASEAN 2023, apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk membantu mengakhiri konflik Myanmar?

Sejak melakukan kudeta militer pada bulan Februari 2021, kepemimpinan militer Myanmar melakukan sejumlah penganiayaan terhadap rakyatnya sendiri. Mereka mengklaim hal ini sebagai bentuk penindakan atas perbedaan pendapat dan upaya mempertahankan keamanan negara.

Namun, adanya pandemi COVID-19 dan agresi militer Rusia di Ukraina telah membuat perhatian internasional terhadap Myanmar bergeser, meski rangkaian aksi protes terus terjadi selama satu tahun ini.

Sebagai negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan Ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 2023, Indonesia perlu mengatasi krisis Myanmar melalui inisiatif strategis. Ini penting untuk dilakukan sebelum situasi menjadi semakin anarkis atau berkembang menjadi konflik berkepanjangan.

Myanmar dapat mengikuti langkah Indonesia

Reformasi militer Indonesia dimulai pada tahun 1998, tepat setelah berakhirnya rezim otoriter Orde Baru akibat mundurnya Presiden Soeharto, seorang mantan jenderal, dari jabatannya sebagai presiden.

Militer Indonesia kemudian dipaksa menjauhi politik praktis. Banyak anggota militer di parlemen pun mundur dari Senayan. Hingga saat ini, jika anggota militer aktif ingin yang mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ataupun bergabung ke lembaga pemerintahan, mereka harus mengundurkan diri dari institusi militer.

Satu hal penting yang perlu dicatat dari reformasi militer kala itu adalah bahwa keinginan untuk berubah berasal dari dalam institusi militer itu sendiri.

Inilah mengapa hampir setiap survei opini publik, termasuk yang dilakukan baru-baru ini, menunjukkan bahwa militer menjadi lembaga paling terpercaya di Indonesia.

Banyak pemimpin militer Indonesia menempuh pendidikan di negara-negara Barat, sehingga mereka banyak mempelajari konsep dan peraturan demokrasi sipil. Oleh sebab itu, mereka mau dengan terbuka memberi dukungan bagi reformasi struktural di negara ini.

Berdasarkan pengalaman inilah Indonesia dapat memulai dan mendorong pendekatan militer dengan Myanmar, sehingga Myanmar dapat mempertimbangkan contoh reformasi militer Indonesia.

Harapannya, langkah dan pendekatan seperti ini dapat mengubah pola pikir junta Myanmar terhadap peran militer, sekaligus meyakinkan pemerintahannya bahwa memiliki pemerintahan sipil tidak akan membuat militer terpinggirkan. Militer dapat menjadi lebih kuat dengan cara yang lebih manusiawi di bawah pemerintahan sipil.

Apa yang telah dilakukan Indonesia

Indonesia telah berupaya membantu menangani konflik Myanmar dalam bentuk hubungan bilateral, regional, dan multilateral.

Contohnya adalah melakukan “diplomasi ulang alik” untuk menggaet partisipasi negara tetangga dalam meredam konflik. Melalui pendekatan ini, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengunjungi Brunei, Singapura, dan Thailand untuk mencari dukungan dalam upaya mendorong transisi demokrasi inklusif di Myanmar.

Di tingkat regional, Indonesia sudah mengajak anggota ASEAN untuk menyepakati suatu rencana aksi untuk meyakinkan Junta militer Myanmar supaya memenuhi janjinya menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun.

Tahun ini, fokus Indonesia pada krisis Myanmar nampaknya tersita akibat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Tapi, saat mengambil alih kursi kepresidenan ASEAN tahun depan, harapannya Indonesia dapat lebih fokus menunjukkan kepemimpinannya di kawasan dalam menghadapi krisis Myanmar.

Misalnya, Indonesia dapat mendorong negara-negara ASEAN untuk mengadakan KTT regional khusus untuk mengatasi krisis Myanmar lebih lanjut.

Pendekatan ASEAN terhadap Myanmar

Perdebatan mengenai cara menangani krisis Myanmar sebenarnya sudah menjadi isu selama bertahun-tahun sejak 1988. Kala itu, pemerintah militer Myanmar masih berkuasa dan negara tersebut belum menjadi anggota ASEAN.

Salah satu upaya ASEAN untuk menekan konflik adalah dengan mengisolasi rezim militer Myanmar. Negara-negara Barat dan berbagai kelompok demokrasi dan etnis di Myanmar mendukung pendekatan ini.

Pendekatan lain adalah dengan melibatkan kebijakan yang lebih terbuka, dengan mendorong investasi dan perdagangan sambil mengakui kepemimpinan junta militer untuk mempromosikan liberalisasi. Pendekatan yang diprakarsai oleh Thailand ini mendapat dukungan dari anggota ASEAN karena dianggap cocok dengan “kebijakan non-interferensi (tidak ikut campur) ASEAN,” di mana para anggota tidak saling mencampuri urusan dalam negeri – sambil tetap bekerja sama dengan harapan keterlibatan ASEAN akan membantu Myanmar mereformasi negaranya.

Kebijakan tersebut sejalan dengan kerangka hukum ASEAN lainnya, seperti Deklarasi ASEAN 1967,Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (TAC), dan Piagam ASEAN.

Bagi ASEAN, pendekatan yang lebih terbuka semacam ini lebih realistis dan dapat mendorong perubahan politik secara stabil.

Para ahli berpendapat bahwa strategi demikian pernah berhasil mengambil alih demokrasi di Myanmar pada 2011 dari pemerintahan militer – sebelum junta militer melakukan kudeta lagi pada 2021.

Dahulu, keterbukaan ASEAN memang telah membantu Myanmar kembali ke pemerintahan sipil. Apakah pendekatan ini efektif untuk diterapkan di masa ini masih menjadi pertanyaan.

Namun, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ASEAN tidak lagi sepenuhnya mengadopsi pendekatan “tidak ikut campur” ini. ASEAN telah memutuskan untuk tidak mengundang junta militer Myanmar untuk menghadiri KTT Menlu ke-55 pada 3 Agustus 2022 lalu karena pihak junta tidak mematuhi Lima Poin Konsensus ASEAN yang telah disepakati. Konsensus tersebut mengatur tentang demokrasi, pemerintahan yang baik, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), dan pemerintahan konstitusional.

Kondisi seperti ini harusnya menjadi landasan bagi Indonesia mengambil sikap yang lebih keras selama menjadi Ketua ASEAN. Indonesia bisa saja mengajak ASEAN mengisolasi Myanmar dari kegiatan-kegiatan ASEAN, kecuali jika junta militer menunjukkan kemajuan dalam mematuhi Lima Poin Konsensus tersebut.

Menangani krisis di Myanmar akan menjadi salah satu tantangan terberat bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN 2023. Ditambah adanya keterlibatan kekuatan global di kawasan ini, krisis ini bisa jadi semakin sulit untuk ditangani.

Namun, Indonesia tetap perlu mendorong anggota ASEAN untuk mengatasi masalah ini dengan menerapkan langkah-langkah yang lebih tegas.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now