Menu Close

Sebagai tuan rumah G20, Indonesia berpeluang menjadi mediator dalam konflik Rusia-Ukraina

Pembukaan Acara G20 Digital Economy Working Group (DEWG) di Jakarta. Aditya Pradana Putra/Antara Foto

Indonesia tengah menjadi perhatian dunia terkait perannya sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of 20 (G20), forum kerja sama 20 negara ekonomi terbesar di dunia.

Posisi Indonesia semakin menyita perhatian dengan adanya konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung hampir dua bulan. Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Barat lainnya, seperti Australia dan negara anggota Uni Eropa yang berafiliasi dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), mendesak Indonesia untuk tidak mengundang Rusia dalam KTT G20 di Bali pada November ini.

Desakan tersebut merupakan bagian dari usaha negara-negara Barat untuk memberikan sanksi kepada Rusia, setelah sebelumnya mereka juga telah menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi.

Merespons desakan tersebut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo malah menegaskan bahwa Indonesia akan tetap mengundang Rusia. Alasannya, Indonesia ingin menjaga imparsialitas.

Jokowi menilai netralitas Indonesia dalam konflik ini sangat penting. Pasalnya, Indonesia mejalin hubungan baik dengan kedua pihak yang sedang berkonflik maupun pihak lain yang terlibat.

Sikap Indonesia tersebut lantas direspon oleh negara-negara Barat dengan permintaan untuk turut mengundang Ukraina dalam KTT G20, bila Rusia akan tetap hadir di acara tersebut.

Keputusan Indonesia untuk tidak serta-merta tunduk pada desakan segelintir negara-negara Barat sudah tepat. Sebab, upaya menjaga kepentingan nasional serta kepentingan negara-negara peserta G20 lainnya jauh lebih penting.

Indonesia memahami bahwa aspirasi negara-negara lain yang mendukung kehadiran Rusia di KTT G20, seperti Cina dan Brazil, juga harus dipertimbangkan.

Terlihat bahwa saat ini Indonesia berada di posisi yang sulit. Selain memastikan partisipasi aktif seluruh anggota G20, Indonesia juga mesti mengantisipasi risiko ketegangan politik yang dapat mengganggu kelancaran pertemuan tahunan itu.

Selain itu, bila mengambil keputusan yang salah, Indonesia juga dapat merusak hubungan baik dengan Rusia, Ukraina, maupun negara-negara peserta G20 lainnya.

Apakah konflik Rusia-Ukraina perlu dibahas dalam G20?

Keinginan Indonesia agar pertemuan G20 berfokus pada pembahasan isu-isu ekonomi dan menghindari pembahasan konflik Rusia-Ukraina, didukung penuh oleh Cina.

Namun, hal tersebut sebenarnya bukanlah langkah yang tepat.

Beberapa ahli ekonomi Indonesia telah memperingatkan pentingnya membahas dampak konflik Rusia-Ukraina terhadap perekonomian internasional di perhelatan G20 nanti. Pasalnya, konflik tersebut juga mengganggu tatanan perekonomian global. Upaya menghindari pembahasan konflik dan dampaknya sepertinya tidak lagi menjadi opsi yang bisa dipilih oleh Indonesia.

Daripada tunduk pada tekanan negara-negara Barat atau menghindari pembicaraan terkait konflik Rusia-Ukraina dalam pertemuan G20, Indonesia justru dapat mengambil momentum ini untuk berperan dalam proses perdamaian dunia. Caranya dengan mengajukan diri sebagai mediator antara pihak-pihak yang terlibat konflik.

Berikut ini alasan utama mengapa Indonesia dapat menjadi mediator yang baik dalam negosiasi perdamaian antara Rusia dan Ukraina.

Posisi Imparsial Indonesia

Kebijakan luar negeri Indonesia menganut prinsip ‘bebas aktif’. Artinya, Indonesia memilih tidak terlibat dalam persaingan dan konflik antar negara-negara besar.

Selain itu, Indonesia juga memilih untuk tidak tergabung dalam aliansi dengan negara-negara besar karena keterlibatan dalam aliansi akan mengharuskan adanya dukungan maupun perlawanan kepada negara-negara yang dianggap sebagai musuh bersama aliansi tersebut. Posisi tersebut harus diambil meskipun Indonesia tidak merasa kepentingannya terancam.

Dengan mengacu pada prinsip bebas aktif ini, dunia dapat melihat bahwa Indonesia tidak semata-mata tunduk pada tekanan negara-negara besar. Keputusan Indonesia untuk tetap mengundang Rusia semakin menegaskan implementasi prinsip tersebut.

Keuntungannya, Indonesia dapat mengambil posisi strategis sebagai negara middle power yang dapat dipercaya oleh pihak-pihak yang berkonflik. Sebab, kepentingan mendasar Indonesia dalam pertikaian saat ini adalah de-eskalasi konflik secepatnya dan pemberian bantuan kemanusiaan bagi masyarakat yang terdampak. Penting bagi Indonesia untuk bisa terus menjaga hubungan baik dengan Ukraina maupun Rusia.

Memang, hingga saat ini, Indonesia belum memutuskan keikutsertaan Ukraina dalam pertemuan G20. Namun demikian, pemberian ruang bagi Ukraina dan Rusia untuk bertemu di dalam forum multilateral ini dapat menjadi bagian dari proses pendamaian kedua negara yang sedang berkonflik ini.

Bila kedua negara tersebut setuju untuk bertemu dan melanjutkan negosiasi damai saat KTT G20, Indonesia dapat mencari dukungan negara-negara anggota G20 lainnya yang memiliki posisi dan kepentingan yang sama sehingga proses mediasi dapat dimasukkan dalam agenda.

Pengalaman keberhasilan Indonesia sebagai mediator konflik

Indonesia memiliki rekam jejak dan pengalaman sebagai mediator dalam penyelesaian konflik regional.

Lina Alexandra, peneliti senior dari Centre for Strategic and International Studies, mencatat bahwa pada tahun 1988-1991, Indonesia berperan penting dalam penyelesaian konflik bersenjata di Kamboja, serta penyelesaian konflik antara Vietnam dan Kamboja.

Selain itu, masih menurut catatan Lina, Indonesia juga berhasil memediasi konflik pemerintah Filipina dan kelompok separatis Moro National Liberation Front (MNLF) selama dekade 1970-1990an. Ini terbukti ketika kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk bernegosiasi dan menghasilkan perjanjian damai di tahun 1996.

Berbagai pengalaman tersebut menunjukkan kapasitas Indonesia yang mumpuni sebagai mediator penyelesaian konflik. Inilah yang membuat Indonesia menjadi kandidat potensial sebagai mediator untuk penyelesaian konflik Rusia-Ukraina.

Tentu saja Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengincar posisi mediator ini. Beberapa negara lain seperti Turki, Cina, dan Israel juga menunjukkan kesiapan mereka sebagai mediator penyelesaian konflik Rusia-Ukraina.

Namun, sebagai tuan rumah perhelatan G20, Indonesia telah memegang golden ticket untuk menjadi mediator utama.

Itulah mengapa Indonesia sebaiknya tidak melihat pembicaraan terkait konflik Rusia-Ukraina sebagai ancaman terhadap keberlangsungan pertemuan G20 maupun gangguan terhadap pembicaraan agenda-agenda ekonomi G20 yang sebelumnya ingin diusung. Sebaliknya, hal ini perlu dilihat sebagai kesempatan untuk ikut memfasilitasi negosiasi damai kedua pihak yang bertikai.

Jika Indonesia berhasil berkontribusi pada pencapaian perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina, maka daya tawar Indonesia sebagai negara middle power yang terpandang di mata dunia internasional akan meningkat. Pada saat yang sama, Indonesia juga merealisasikan komitmen dasar kebijakan luar negerinya sebagai penjaga perdamaian dunia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now