Menu Close

Sejak Orde Baru, majalah anak pengaruhi tumbuh kembang sosial anak – termasuk pandangan mereka akan negara dan gender

Beberapa majalah anak di Indonesia pelan-pelan berhenti beredar. Setelah majalah Kiddo mandek cetak pada Desember 2016, kini giliran Kompas Gramedia yang menyetop penerbitan majalah Bobo Junior beserta majalah Mombi dan Mombi SD per Januari 2023.

Di samping nostalgia yang beberapa dari kita miliki terkait majalah-majalah tersebut, majalah anak memang merupakan salah satu media yang turut andil membangun kesadaran anak atas realitas di sekitarnya.

Menurut peneliti komunikasi Stewart Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku mereka Human Connection, anak-anak memperoleh informasi tentang dunia dan mengembangkan konsep mengenai peranan mereka pada masa depan salah satunya melalui media bacaan.

Mengingat mereka ada pada fase produktif dalam pembentukan segala hal, psikolog kenamaan Albert Bandura mengatakan anak adalah “peniru ulung”. Imajinasi anak tentang apa yang ideal tentang dunia, sangat mungkin terbangun lewat konsumsi mereka atas buku dan majalah.

Jadi, seperti apa bacaan yang sudah dikonsumsi anak-anak Indonesia selama beberapa dekade ke belakang?

Dengan merujuk pada berbagai pandangan akademisi dan riset terkini, termasuk penelitian saya sendiri, saya ingin menjelaskan seperti apa muatan majalah anak yang telah beredar di Indonesia sejak era Orde Baru hingga kini.

Majalah anak pada Orde Baru: propaganda pembangunan hingga pembentuk peran gender

Sejarah mencatat, majalah anak di Indonesia pertama kali hadir pada 1949, yakni majalah Kunang-Kunang terbitan Balai Pustaka.

Namun, popularitas majalah anak mungkin baru terlihat ketika Si Kuntjung muncul pada 1956. Majalah tersebut terbit sebulan sekali dan berisi 16 halaman yang mencakup cerita-cerita pendek ramah anak. Pada eranya, kehadiran majalah ini sangat dinantikan anak-anak.

Yang menarik adalah Si Kuntjung merupakan majalah pertama, dan mungkin satu-satunya, yang menjalin relasi yang sangat dekat dengan pemerintah di masa Orde Baru.

Pada kisaran 1976, pemerintahan Soeharto mendaulat majalah ini secara resmi sebagai majalah anak nasional. Selain sebagai media pendidikan dan kebudayaan, pemerintah juga turut membantu penerbitan Si Kuntjung dari segi pemasaran dan pembiayaan.

Tonggak bersejarah selanjutnya adalah ketika pada tahun 1973, Kompas Gramedia menerbitkan majalah anak serupa bernama Bobo yang populer hingga saat ini. Bobo adalah majalah anak pertama yang berwarna dan menampilkan banyak komik di dalamnya. Senada dengan Si Kuntjung, majalah Bobo dianggap berkontribusi membentuk karakter anak pada era Orde Baru.

Kajian tahun 2021 dari Universitas Diponegoro, misalnya, memetakan bagaimana majalah Bobo memuat 18 nilai pembentuk karakter yang selaras dengan cita-cita pendidikan era tersebut. Nilai-nilai ini seperti religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, dan seterusnya.

Namun, majalah ini masih tampak memposisikan anak sebagai “komoditas”. Produksi majalah Bobo, beserta berbagai teks dan penggambaran karakter di dalamnya, lekat dengan selara pasar, paham pembangunan, dan kepentingan elit. Kontennya banyak menampilkan sosok selebritas anak papan atas, representasi kecantikan dengan postur tubuh proporsional dan kulit putih, dan penyajian wahana bermain yang eksklusif, bergengsi, dan mahal.

Selain majalah, buku-buku pelajaran di Indonesia juga dijamin jadi “best-seller”. Dalam proses distribusi, pemerintah Orde Baru mendorong besar-besaran agar bacaan-bacaan tersebut menjadi bacaan wajib di sekolah. Hal tersebut menegaskan bahwa bacaan anak di masa Orde Baru dikontrol ketat oleh negara, dan akibatnya pun menjadi laku di pasaran.

Tapi mengapa negara melakukan ini?

Menurut filsuf Prancis ternama, Louis Althusser, negara memang memiliki apa yang ia sebut sebagai “aparatus ideologis” (ideological state apparatus). Negara, dengan berbagai instrumen, melakukan penanaman ideologi secara masif yang sekaligus juga berfungsi sebagai alat represi secara halus dan tak sadar. Berlandaskan konsep ini, penulis Saya Shiraishi dalam bukunya juga menegaskan bahwa bacaan anak Indonesia merupakan sarana ideologis yang ampuh karena anak tidak terlalu mengontrol apa yang ia baca.

Tak hanya sebagai propaganda pembangunan, bacaan anak sejak Orde Baru telah menjadi menjadi arena politisasi terkait peran gender.

Peneliti gender di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), Julia Suryakusuma berargumen bahwa pemerintah Orde Baru mengusung ideologi “Bapak-Ibuisme”. Sosok “bapak” berperan memimpin kekuasaan formal (misal di pemerintahan atau ekonomi), sementara “ibu” berperan memimpin kekuasaan informal (seperti di ranah domestik). Dengan ideologi ini, perempuan didefinisikan sesuai relasinya dengan laki-laki: sebagai istri, ibu, atau keduanya.

Cara pandang negara yang bias gender ini pun mempunyai implikasi pada kebanyakan bacaan anak.

Misalnya, banyak cerita anak bergenre kisah rakyat (folklore) yang populer pada Orde Baru seperti Sangkuriang, Bawang Merah Bawang Putih, hingga Malin Kundang memiliki tendensi untuk menanamkan karakter yang tidak adil gender. Gambaran dominan tentang perempuan adalah berdasar standar kecantikannya, serta selalu ditempatkan di ranah domestik. Ilustrasi tentang perempuan yang terdiskriminasi dalam wilayah privat dan cenderung gemar berkonflik untuk merebutkan laki-laki juga masih sangat kuat dalam cerita-cerita tersebut.

Evolusi bacaan anak selepas reformasi

Meski butuh waktu beberapa tahun terlebih dahulu, menurunnya kontrol ketat negara pasca-Orde Baru membuka keran bagi karya-karya baru yang progresif. Banyak penulis mulai mengekpresikan karyanya secara terbuka dan visioner.

Mata di Tanah Melus (2018) Okky Madasari/Kompas Gramedia Utama

Beberapa contohnya adalah bacaan anak karya pengarang Okky Madasari yang berjudul Mata di Tanah Melus. Buku ini mengisahkan perjalanan seorang remaja perempuan yang menjumpai Suku Melus yang menutup diri ketika sedang diajak ibunya berlibur ke satu perbatasan Timor Leste. Tak seperti kebanyakan bacaan anak sebelumnya, Okky memposisikan perempuan secara otonom, tidak tersubordinasi dan tak terpinggirkan.

Selain itu, ada juga bacaan anak menarik berjudul Na Willa karya Reda Gaudiamo. Willa sosok anak perempuan yang lincah, kuat dan jenaka – sebuah cerita yang yang menempatkan anak perempuan secara berbeda. Cerita anak ini pun unik menawarkan penggambaran sekaligus kritik yang unik atas pola asuh keluarga, harmoni beragama, sampai masalah rasisme.

Namun demikian, kemajuan ini masih cenderung lambat. Kita masih melihat ada banyak bacaan anak dengan penggambaran gender yang masih tertinggal meski telah lama memasuki era Reformasi.

Penelitian tentang bacaan anak bertemakan agama Islam selepas Orde Baru yang saya lakukan pada 2021, menemukan bahwa tradisi pelanggengan narasi patriarki dalam bacaan anak masih cenderung kuat, dengan penggambaran posisi laki-laki yang dominan ketimbang perempuan.

Ini menegaskan bahwa bacaan anak selama ini lagi-lagi masih sekadar menjadi komoditas. Apa yang menarik di mata pasar akan disajikan kepada anak tanpa ada kesadaran kritis atas nilai-nilai adil gender.

Seiring mulai banyak majalah cetak yang berhenti beredar untuk anak, bacaan-bacaan anak bertransformasi menjadi digital. Kini bacaan-bacaan anak mulai banyak disajikan dalam bentuk audiovisual dengan akses digital yang mudah, sehingga mengubah pola konsumsi anak atas bacaan sering semakin dekatnya mereka dengan gawai.

Beberapa pihak bisa jadi memperdebatkan potensi dampak negatif ketika anak lebih intens mengakses bacaan dan konten di internet.

Tapi ini tak boleh membuat kita lengah mempertanyakan hal yang juga penting: apakah bacaan dan konten yang dikonsumsi anak sudah mengusung nilai adil gender dan nilai-nilai progresif lain?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now