Menu Close
Buku-buku dalam daftar ini digarap dengan sangat serius, berdampak atau punya nilai sejarah penting di bidangnya, menjadi penanda satu generasi, atau berpotensi mengubah cara berpikir mereka yang disasar sebagai pembacanya. www.shutterstock.com

Sembilan nonfiksi Indonesia yang wajib Anda baca sebelum usia 40

Artikel ini adalah yang ketiga dalam seri tulisan memperingati Hari Aksara Internasional yang jatuh pada tanggal 8 September.


Di awal proses ini, saya membayangkan melacak buku-buku nonfiksi Indonesia yang penting dibaca bukan pekerjaan yang sulit. Saya keliru.

Cukup banyak, memang, buku nonfiksi Indonesia yang berkualitas di atas rata-rata, tak peduli keringnya pasar buku nonfiksi di luar kiat sukses, resep masak, serta trik Photoshop. Judul-judul nonfiksi yang diterbitkan Marjin Kiri, Ombak, Indie Book Corner selalu memikat penggemarnya dan beberapa di antaranya digarap secara serius. Namun, pertanyaannya, bagaimana memilih sembilan yang penting dibaca?

Maka saya putuskan, buku-buku yang masuk dalam daftar ini tak selalu buku yang lebih baik daripada yang lain. Namun, buat saya, akan disayangkan apabila pembaca yang menggemari isunya tidak menyambanginya.


Baca juga: Semangat membaca di pelosok menantang anggapan minat baca rendah_


Mereka adalah buku-buku yang digarap dengan sangat serius, berdampak atau punya nilai sejarah penting di bidangnya, menjadi penanda satu generasi, atau berpotensi mengubah cara berpikir mereka yang disasar sebagai pembacanya.

Kendati demikian, daftar ini akhirnya harus Anda terima dengan kecurigaan. Pengamatan dan pemilahan saya, tentu saja, terhalau bias selera, jejaring sosial, serta ketidakmampuan menerawang semua buku yang ada.

‘Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja’, Adhe (2007)

Goodreads

Fakta bahwa buku ini dapat terbit saja sudah mengagumkan saya. Declare! memuat sebuah studi independen yang paling menyeluruh tentang seluk-beluk dunia penerbitan di Yogyakarta. Ia adalah satu buku yang, jelas, ditulis dengan cinta. Hasilnya? Sebuah gambaran yang sulit ditandingi kelengkapannya tentang kesemrawutan, keganjilan, kegigihan, serta antusiasme penerbitan di Yogyakarta.

Apakah sentimen saya sebagai penerbit (Penerbit Kepik) mengambil andil dalam pemilihan buku ini sebagai buku wajib baca? Tentu. Sejak waktu yang cukup lama, Declare! adalah bacaan wajib para pegiat buku.

Tetapi, bila Anda adalah pembaca awam, buku yang diterbitkan Komunitas Penerbit Jogja ini dijamin tidak akan gagal menghibur Anda. Anda akan mengetahui bagaimana produk literasi yang sampai di tangan Anda, yang Anda pikir muncul dari proses nan profesional, sebenarnya diproduksi melalui kerja-kerja “bergaya rumah tangga”.

‘Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula’, Ultimus (2015)

Sejarah Gerakan Kiri Indonesia: Untuk Pemula. Penerbit Ultimus

Sewaktu pertama kali menemukan serial buku “for beginners” terbitan Icon Books (silakan Google!), saya kontan mengangankan ada buku serupa untuk memperkenalkan kepada publik di Indonesia isu-isu penting yang terkesan rumit dan mengintimidasi. Misalnya, sejarah gagasan tentang Indonesia, dan bagaimana ia mengarungi zaman. Persoalannya, ia menuntut kerja sama—dan kerja ekstra—editor, penggagas, ilustrator, dan saya tak yakin hasilnya akan berbayar bila ia diterbitkan di dalam negeri.

Satu peristiwa yang lantas tak saya duga-duga adalah berkat kerja sama sejumlah aktivis buku semacam itu kini terbit. Hasilnya pun bukan buku sembarangan. Ia adalah buku yang memang diperlukan di tengah penistaan berlarut-larut terhadap gagasan dan gerakan kiri, yang membuat kita alpa akan andilnya dalam perjuangan melawan penindasan.

Pembaca awam akan menemukan penggambaran yang memikat tentang isu ini. Para pembaca sejarah, yang sudah mengetahui seluk-beluk historisnya terlebih dulu, akan merayakannya.

Serial ‘Lagak Jakarta’, Benny dan Mice (1997-2008)

Lagak Jakarta Edisi Koleksi I oleh Benny dan Mice. Goodreads

Menurut penerbitnya, Lagak Jakarta awalnya merupakan sebuah eksperimen. Bagaimana kalau mereka menerbitkan satu buku yang menggambarkan secara jenaka seluk-beluk keseharian warga Jakarta? Ini sepele tampaknya. Namun, pada hari-hari itu, eksperimen ini terbilang berani. Pasar buku di Indonesia tidak pernah benar-benar ramah terhadap buku kartun besutan pengarang dalam negeri.

Dalam perjalanannya, Lagak Jakarta tak hanya mencetak sukses. Ia bukan hanya penggambaran jenaka keseharian warga Jakarta. Ia menjadi kronik historis serta penggambaran etnografis kehidupan ibu kota yang ditulis dari kehidupan sehari-hari—yang kontras dengan apa yang biasa kita peroleh dari catatan-catatan para pengkaji dan juru komentar.

Sepanjang pengamatan saya, belum ada buku sejarah Indonesia yang mencatat segala rupa reaksi serta sentimen orang awam terhadap krisis 1998, dari ketakutan terhadap kerusuhan hingga keriangan sewaktu Soeharto mengundurkan diri, sebagaimana Lagak Jakarta melakukannya.

Pembaca mungkin tidak ingat krisis ekonomi Indonesia diselingi oleh Piala Dunia yang menghibur sebagian orang. Pembaca mungkin juga tidak ingat euforia kebebasan dari sensor sewaktu Orde Baru baru saja lengser. Lagak Jakarta dapat mengingatkan pembaca sewaktu-waktu dengan sejarah kehidupan sehari-hari yang sangat mudah luput ini.

Mungkin bias saya sebagai peneliti antropologi, yang terobsesi dengan detail mendorong saya memilih serial ini sebagai karya wajib baca.

‘Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru’, Daniel Dhakidae (2003)

Cendekiawan dan Kekuasaan oleh Daniel Dhakidae. Goodreads

Konon, penulis buku ini memanfaatkan tahun-tahun terakhirnya bekerja di sebuah koran besar tanah air (Kompas), yang tentu saja memiliki gudang data yang lengkap, untuk menyusun buku ini. Hasilnya adalah sebuah studi ekstensif bagaimana kerja dan kehidupan para cendekiawan tak pernah lepas dari intervensi kekuasaan, secara halus maupun vulgar.

Nyaris dua dasawarsa kemudian selepas Orde Baru, buku ini masih penting untuk dibaca. Ia mencatat manuver-manuver negara untuk menjadikan para ilmuwan bergantung serta tak membangkang darinya. Ia memperlihatkan bagaimana temuan penelitian serta pengetahuan yang dihasilkan, yang galib diterima begitu saja, dikendalikan dari kejauhan oleh kekuatan yang menguasai sumber-sumber penghidupan. Dan membacanya hari ini mengasah kepekaan kita terhadap watak berpihak dari setiap bentuk pengetahuan yang diklaim ilmiah sekalipun.

Sebagai pengamat ilmu sosial, saya punya keberatan terhadap buku ini yang sudah saya tuliskan pada beberapa kesempatan. Namun, keberatan ini, bagi saya pribadi pun, tak menyurutkan arti penting buku Daniel Dhakidae.

‘Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut’, Adrian B. Lapian (2009)

Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Sulawesi Abad XIX oleh Adrian B. Lapian. Goodreads

Ada beberapa nama sejarawan yang bisa disebut karyanya di daftar ini. Namun, bila harus merujuk satu orang yang menuliskan karya monumental dalam bahasa Indonesia, nama yang akan tersebut adalah Adrian B. Lapian. Bukunya? Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Buku ini merupakan gambaran sejarah kawasan laut Sulawesi yang bertumpu pada tiga kelompok yang menjadi judul bukunya.

Yang mengagumkan dari buku ini adalah ia dibangun dari usaha pencarian sumber yang sangat intensif, serta paparan data yang amat kaya. Dalam percakapan dengan rekan-rekan sejarawan, buku Lapian masih menjadi standar emas bagaimana sejarawan seharusnya bekerja hingga hari ini.

‘Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga’, George Junus Aditjondro (2007)

Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Goodreads

George Junus Aditjondro adalah seseorang yang menulis tanpa rasa takut. Tentu saja itu baru satu hal. Ia pun mengantongi sumber-sumber data yang ekstensif. Ia mempunyai argumentasi yang, kalaupun tidak sepenuhnya tepercaya, tak mudah dibantah. Dan buku Korupsi Kepresidenan adalah salah satu dari antara karyanya yang paling perlu diperhatikan.

Buku ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan kepresidenan di Indonesia dilanggengkan dari waktu ke waktu. Banyak orang sudah cukup tahu bahwa presiden bukan jabatan yang dimantapkan oleh mandat rakyat belaka.

Tetapi, paparan George akan tetap mengagetkan siapa pun. Dalam buku ini, modus-modus memantapkan kekuasaan didedah sedemikian detail. Jejaring aktor serta lembaga yang bekerja mempertahankannya diungkap tanpa tedeng aling-aling. Dan satu hal yang menjadi nampak gamblang: hubungan-hubungan penuh skandal sangat esensial bagi berlangsungnya kekuasaan.

Satu hal lagi yang kian menggugah saya mengatakan ini buku nonfiksi yang wajib dibaca adalah George menulisnya dalam predikat sebagai sosiolog—yang berpihak, sangat berpihak. Dengan melakukan ini, ia mencontohkan bagaimana intelektual dan penulis seyogianya bekerja dengan kritis.

‘Sesuatu Indonesia’, Afrizal Malna (2000)

Sesuatu Indonesia oleh Afrizal Malna. Toko Cinta Buku

Jagad kesusastraan Indonesia diberkahi dengan nama-nama pencatat tekun seperti H.B. Jassin dan A. Teeuw. Namun, saya memilih buku Afrizal Malna dengan satu alasan penting. Afrizal adalah salah seorang dari segelintir pencatat sekaligus pengarang yang peka dengan politik estetika dalam kerja mencatat.

Perbandingan-perbandingan antara karya sastra yang dilakukannya terbilang kaya. Daftar literatur yang dikajinya lebih ekstensif dibanding kebanyakan karya kritik yang saya jumpai. Dan yang paling mendesak: ia menampik kategori-kategori menyederhanakan yang marak dipakai namun jarang diperbincangkan dalam kesusastraan Indonesia. Ia menolak kelirihan sebagai keindahan. Ia menolak adanya modernitas dan tradisionalitas. Ia mengajukan topik dan penelaahan yang orisinal.

Dan, percayalah, bagi pembaca sastra, pandangan-pandangannya disampaikan dengan argumentasi yang kuat—meski tidak selalu terang untuk dibaca semua kalangan.

‘Matahari dari Mataram’, Afthonul Afif (2012)

Matahari dari Mataram: Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram oleh Afthonul Afif. Tokopedia

Saya mengakui, saya curang dalam memilih buku ini. Matahari dari Mataram: Menyelami Spiritualitas Jawa rasional Ki Ageng Suryomentaram merupakan terbitan dari penerbit saya, Penerbit Kepik. Namun, saya pada akhirnya tidak bisa menggugurkannya dari daftar ini karena inilah satu-satunya karya yang, sejauh pengamatan saya, menjawab pertanyaan banyak orang, “adakah sosok filsuf Indonesia?”

Jawabannya? Ada. Tetapi, ia muncul bukan di menara gading. Ia muncul sebagai sosok pengajar ilmu kebahagiaan pada era Renaisans Jawa awal abad ke-20. Dan bila Anda mengira sebagai pengajar kebahagiaan ia adalah pemikir yang mistis, pikir lagi.

Bukan tanpa alasan orang-orang menyebutnya “Heidegger dari Jawa”. Kawruh Jiwa, ajarannya, adalah strategi pengelolaan kondisi psikis yang berangkat dari identifikasi-identifikasi empiris. Nama sosok ini adalah Ki Ageng Suryomentaram, anak ke-55 dari Sultan Hamengku Buwono VII.

Pilu menjumpai kemelaratan rakyat kecil, Suryomentaram meninggalkan kehidupannya di keraton dan hidup sebagai seorang petani. Pada waktu inilah, ia berusaha menjawab persoalan ketidakbahagiaan yang kekal mengganggu manusia dan merumuskan Kawruh Jiwa.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang mengkaji sosoknya dari berbagai sisi.

‘Berebut Hutan Siberut’, Darmanto dan Abidah B. Setyowati (2012)

Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi. Etnohistori.org

Ada beberapa buku dari penelitian etnografi yang dihasilkan di Indonesia dan banyak dari antara mereka yang mengangkat isu-isu penting.

Akan tetapi, buku Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi memilih tema yang secara spesifik relevan dengan situasi kebudayaan kita hari ini. Buku ini menggambarkan bagaimana kontrol terhadap hutan—Siberut dalam kasus ini—berubah, diperebutkan, dan ditegakkan.

Namun, berkat kepekaan riset para penulisnya, di buku ini akan tampak bahwa orang-orang adat bukanlah kelompok yang terperangkap dalam kearifan masa silam. Orang-orang Siberut, dalam kasus yang dikaji buku ini, merupakan kelompok yang gigih menata ulang identitasnya untuk menghadapi perubahan-perubahan dalam eksploitasi hutan. Mereka senantiasa berada di antara pergulatan kepentingan pemerintah, usahawan kapitalis, LSM.

Selayaknya sebuah karya etnografi yang baik, kekuatan buku ini adalah pada potretnya yang hidup, mendetail, serta peka. Tak banyak, setahu saya, buku tentang ekologi Indonesia dengan kualitas ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now