Pengunduran diri Boris Johnson dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Inggris tidak hanya menjadi momen politik besar. Masa-masa ketika ia menjabat - dan alasan pengunduran dirinya - memunculkan beragam pertanyaan penting seputar institusi dan nilai-nilai demokrasi.
Seringkali kita menyalahkan moralitas seorang pemimpin – yang mungkin tidak sesuai dengan standar kita – sebagai penyebab kegagalan suatu rezim politik. Padahal, kita semua pun tahu bahwa akar masalahnya jauh lebih dalam daripada perkara karakter flamboyan yang melekat pada diri Johnson. Kelengserannya patut dilihat sebagai momen bersejarah dunia, bukan hanya di Inggris.
Beberapa pakar berpendapat bahwa debat politik menjelang referendum British Exit (Brexit) adalah titik terendah dalam sejarah politik Inggris: harapan sekaligus kekhawatiran publik dieksploitasi oleh para politikus yang bahkan tidak mempercayai isi pesan yang mereka sampaikan sendiri.
Nampaknya, kepemimpinan Johnson jatuh karena ia juga tidak bisa membedakan antara mana yang benar dan mana yang bijaksana dalam konteks politik. Begitu dua perbedaan itu bertabrakan dan menciptakan masalah, situasi demokrasi menjadi tidak stabil dan menimbulkan misinterpretasi permanen dalam komunikasi politik.
Integritas suatu pemerintahan bergantung pada struktur yang mengikat, seperti kode etik dan komite etik, juga pada komitmen para politikus dan warga negaranya dalam menentang praktik korupsi dan ujaran kebencian. Pengunduran diri Johnson merupakan momen yang tepat untuk melakukan refleksi tentang seberapa jauh sebuah negara demokrasi siap untuk mentoleransi gaya kepemimpinan machiavellis.
Pada praktik pemerintahan machiavellian, pemimpin punya kecenderungan untuk berbohong, memanipulasi, dan mengeksploitasi ketakutan publik, serta menghalalkan segala cara agar masyarakat mengikuti aturan untuk mewujudkan apa yang mereka anggap sebagai ‘kebaikan bersama’.
Politik “daging merah”
Dari masa-masa pemerintahan Johnson kita dapat melihat perbedaan antara ‘pemerintah yang populer’ dengan ‘pemerintah yang membuat perbedaan berarti’ bagi rakyatnya. Ketika negara menghadapi tantangan yang berat, Johnson lebih sering menawarkan solusi yang bersifat populis – hanya bertujuan untuk menarik perhatian.
Mengirim pengungsi ke Rwanda dan memutuskan sekaligus menyatakan Brexit “selesai” tentunya merupakan gebrakan yang laris menjadi konsumsi media, serta dapat memengaruhi hasil survei opini publik. Tetapi, solusi-solusi tersebut biasanya hanya simbolik dan seringkali kontraproduktif.
Menjalankan roda pemerintah membutuhkan waktu dan pemikiran, juga evaluasi yang transparan yang kemudian ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan terhadap kebijakan tidak berjalan dengan baik. Ini sangat berbeda dengan pemerintahan propaganda: merepresentasikan kegagalan, yang jelas-jelas terlihat sebagai sebuah keberhasilan dan mengesampingkan kritik.
Parlemen, yang seharusnya meminta pertanggungjawaban pemerintah atas nama publik, perlu memanfaatkan kekuasaan mereka. Parlemen Inggris telah menunjukkannya melalui pencopotan seorang perdana menteri – yang memang merupakan kewajiban mereka sebagai wakil rakyat – tetapi hal lain yang lebih penting dilakukan oleh parlemen adalah menantang kembali usulan kebijakan yang jelas-jelas tidak lahir dari hasil pemikiran yang matang dan hanya bertujuan untuk menenangkan massa.
Pemerintah Johnson tidak punya cara unik dalam mempromosikan sejumlah kebijakan sederhana. Namun, berbeda dengan pemerintah-pemerintah sebelumnya, Johnson kuat bermain dengan retorika kebijakan populisme demi menarik perhatian masa.
Wacana yang lebih baik tentunya melibatkan perhatian pada bagaimana ekologi media saat ini yang terlalu sering memberi ruang dan penghargaan kepada figur-figur yang lantang namun menyesatkan, serta para politisi yang tahu bagaimana memanfaatkan praktik jurnalistik yang buruk.
Politik Oxbridge di dunia yang terus berubah
Masalah terakhir yang juga penting adalah bagaimana membawa lebih banyak suara dan pengalaman ke dalam politik demokrasi.
Hal-hal yang terjadi di Inggris belakangan ini termasuk urusan lobi-lobi yang merusak dan terungkapnya pelanggaran terhadap aturan isolasi diri selama pandemi oleh tokoh-tokoh politik yang membuat aturan itu sendiri. Ini kemudian disusul oleh pengunduran diri Johnson, yang terjadi tidak lama setelah munculnya tuduhan pelanggaran seksual terhadap seorang tokoh senior di pemerintahannya.
Semua kejadian tersebut mungkin telah membuat publik lelah terhadap drama Westminster (julukan parlemen Inggris). Secara keseluruhan akan ada dampak yang dihadapi, yakni semakin menurunnya kepercayaan pemilih terhadap politik – yang dari awal memang sudah rendah.
Akhir karir para pemimpin mana pun menjadi kesempatan bagi mereka untuk merefleksi kembali apa sebenarnya yang diharapkan oleh masyarakat terhadap para wakil rakyat. Selama masa jabatan Johnson, terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk membahas apa yang akan menarik dan berterima oleh publik.
Johnson akan segera meninggalkan Downing Street (sebutan untuk kediaman resmi dan kantor PM Inggris). Pertanyaan berikutnya adalah: apa yang masyarakat inginkan dari pemimpin selanjutnya – dan bagaimana mereka bisa mewujudkannya?