Menu Close
Presiden COP28 dari Uni Emirat Arab
Sultan Ahmed al-Jaber, CEO perusahaan minyak negara Uni Emirat Arab, akan memimpin konferensi iklim PBB COP28. Francois Walschaerts/AFP via Getty Images

Sentimen miring CEO raksasa migas memimpin COP 28 dapat mengabaikan agenda iklimnya untuk negara berkembang

Pada Desember 2023, delegasi dari seluruh negara akan bertemu di Uni Emirat Arab (UEA) untuk Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Global ke-28 atau COP 28.

Perundingan ini penting agar dunia bisa mencapai kesepakatan untuk menghindari perubahan iklim yang berbahaya. Sayangnya, kepercayaan global terhadap COP28 berada di tingkat yang rendah. Salah satunya disebabkan oleh pimpinan tertingginya.

UEA memicu kontroversi pada Januari 2023 saat mengumumkan bahwa Sultan Ahmed al-Jaber, CEO Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi (ADNOC) – akan menjadi presiden COP 28. Jabatan ini membuat Jaber memiliki kekuasaan besar atas agenda-agenda rapat.

Amerika Serikat (AS) dan politikus Eropa sempat menuntut pengunduran diri al-Jaber. Mantan Wakil Presiden AS Al Gore sampai menuding bahwa kepentingan bahan bakar fosil telah “merasuki proses di Perserikatan Bangsa Bangsa hingga tingkat yang meresahkan, bahkan menempatkan CEO salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia sebagai presiden COP 28.”

John Kerry, dalam setelan bisnis barat, menyentuh lengan Al Jaber saat mereka berbicara. Al Jaber mengenakan pakaian tradisional Timur Tengah. Kedua pria itu memiliki tinggi badan yang hampir sama.
Utusan Presiden AS untuk Iklim John Kerry berbicara dengan. Sultan Ahmed al-Jaber selama Forum Energi Global Dewan Atlantik di Abu Dhabi pada 14 Januari 2023. Kerry mendukung al-Jaber terpilih menjadi Presiden COP28. Karim Sahib/AFP via Getty Images

Menurut saya, kekhawatiran mengenai peran industri bahan bakar fosil menghambat kebijakan pro-iklim adalah hal yang wajar. Terdapat banyak bukti bahwa perusahaan bahan bakar fosil terbesar mengetahui produk mereka akan menyebabkan perubahan iklim sejak beberapa dekade silam. Mereka lantas sengaja berupaya untuk menyangkal ilmu pengetahuan iklim dan menentang kebijakan iklim.

Kendati demikian, saya meyakini seruan untuk memboikot COP28 dan memblok pilihan suatu kawasan untuk memimpin justru merusak kredibilitas negosiasi PBB dan mengabaikan potensi agenda dalam COP 28.

Saya pernah menjadi penasihat Program Lingkungan PBB (UNEP) dan akademisi bidang etika lingkungan. Kekhawatiran terhadap masalah ini mendorong saya untuk bekerja sama dengan enam rekan dari negara-negara belahan dunia Selatan untuk melakukan analisis komparatif terperinci tentang tujuan dan perilaku lima presidensi COP belakangan.

Kami terkejut saat menemukan bahwa agenda kebijakan yang dipromosikan oleh kepresidenan COP 28 UEA akan bermanfaat besar untuk mempercepat transisi dari bahan bakar fosil. Kami juga menemukan bahwa banyak kritik terhadap kepresidenan UEA tidak berdasar.

Bagaimana al-Jaber dipilih

Pertama, penting bagi kita untuk memahami bagaimana proses pemilihan presiden COP.

Pemilihan tuan rumah COP berlangsung dengan proses PBB yang bergilir secara demokratis di antara enam regional.

Negara-negara di setiap regional berkonsultasi mengenai siapa yang akan mewakili kawasan mereka. Setelah disepakati, perwakilan mereka mengusulkan nama, yang kemudian dinilai dan diselesaikan oleh Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC).

Untuk COP 28, kawasan Asia-Pasifik yang terdiri dari beragam negara berkembang, memilih UEA dan al-Jaber.

Kekhawatiran energi di negara-negara Selatan

Bagi beberapa negara di kawasan Selatan, tuntutan penghapusan bahan bakar fosil tidak hanya tampak menakutkan, tapi juga mengancam pembangunan ekonomi mereka. Tuntutan ini diserukan banyak kelompok aktivis dan negara-negara peserta COP 28.

Dari puluhan negara penghasil minyak dunia, sekitar separuhnya merupakan negara berkembang berpendapatan menengah dengan perekonomian yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dan gas. Studi menunjukkan bahwa penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara cepat dan tidak dipersiapkan dapat menyebabkan kerugian investasi infrastruktur senilai triliunan dolar AS di negara-negara penghasil minyak.

Namun, pada saat yang sama, banyak negara di Dunia Selatan menghadapi dampak perubahan iklim yang tidak proporsional dengan produksi emisi gas rumah kaca mereka. Dampaknya bermacam-macam, mulai dari peristiwa cuaca ekstrem hingga kenaikan permukaan air laut yang dapat mengancam keberadaan masyarakat mereka.

Al-Jaber menyebut penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap “tidak bisa dihindari” dan “penting”. Namun, dia mengatakan sistem energi dan negara-negara Selatan belum siap untuk penghentiannya secara cepat–setidaknya hingga kontribusi energi terbarukan meningkat.

COP 28, karena itu, harus berfokus pada adaptasi. Pandangan tersebut, meskipun didukung oleh beberapa negara di Dunia Selatan, telah menuai kritik tajam.

Al-Jaber, Masdar, dan ADNOC

Beberapa orang menggambarkan kepemimpinan Al-Jaber dalam COP 28 sebagai upaya UEA untuk melakukan “greenwash atas rencana ekspansi minyak dan gas ADNOC, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia.

Meskipun saya bersimpati dengan kekhawatiran ini, saya dan rekan-rekan saya menganggapnya terlalu sederhana.

Al-Jaber menghabiskan sebagian besar karirnya di sektor energi terbarukan. Pada 2006, ia mendirikan dan menjalankan perusahaan energi terbarukan pelat merah UEA, Masdar. Di sana, dia mengembangkan Masdar sehingga menjadi operator energi terbarukan terbesar di Afrika.

Al-Jaber baru ditunjuk sebagai CEO ADNOC pada 2016, dalam rangka peluncuran resmi “strategi pascaminyak nasional” UEA. Tahun sebelumnya, Putra Mahkota Mohammed bin Zayed menyampaikan pidato di pertemuan puncak pemerintah UEA. Dia menyatakan bahwa UEA akan merayakan “barel minyak terakhir” pada pertengahan abad ini.

Tiga pria berdiri dan berbicara.
Sultan Ahmed al-Jaber bertemu dengan pejabat di beberapa negara berkembang, termasuk Menteri Lingkungan Hidup, Hutan dan Perubahan Iklim India, Bhupender Yadav (kanan). R.Satish Babu/AFP via Getty Images

ADNOC banyak dikritik karena berencana menginvestasikan US$150 miliar (Rp2.315 triliun) untuk perluasan kapasitas minyak dan gasnya pada dekade ini. Saya mafhum dengan keprihatinan ini. Untuk tetap berada dalam batas pemanasan global 1,5°C (berdasarkan Perjanjian Paris) dunia mungkin perlu menghentikan investasi bahan bakar fosil baru, seperti yang didesak oleh Badan Energi Internasional. Dunia juga perlu menonaktifkan sekitar 40% dari cadangan bahan bakar fosil yang sudah dikembangkan.

Namun, saat membahas presidensi COP28, saya juga meyakini ambisi ADNOC harus dilihat dalam konteks global. Rencana ekspansi bahan bakar fosil dari AS, Kanada, Rusia, Iran, Cina, dan Brasil jauh lebih besar dibandingkan UEA. Sebagian besar pembiayaan bahan bakar fosil di seluruh dunia juga berasal dari bank-bank di AS, Kanada, dan Jepang. Sejak 2015, bank-bank Eropa telah menggelontorkan dana jumbo sebesar $1,3 triliun (Rp20,06 ribu triliun) untuk bahan bakar fosil, termasuk $130 miliar (Rp2.006 triliun) pada 2022 saja.

Agenda COP28

Penilaian kami menemukan bahwa, kepemimpinan UEA telah melampaui kepresidenan COP-COP sebelumnya.

Laporan kami menemukan bahwa nilai total proyek energi terbarukan yang direncanakan UEA dengan berbagai mitra pada dekade ini berjumlah lebih dari $300 miliar (Rp4.600 triliun). Analisis kami menemukan bahwa jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan investasi energi ramah lingkungan yang dimobilisasi oleh kepresidenan COP sebelumnya.

Agenda COP28 yang UEA promosikan juga menawarkan jalur menjanjikan untuk mempercepat transisi bahan bakar fosil global.

Agenda tersebut mencakup tujuan peningkatan kapasitas energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat dalam tujuh tahun ke depan. Ekspansi besar-besaran ini berpeluang memangkas ongkos investasi energi terbarukan dan mengalahkan nilai keekonomian bahan bakar fosil dengan cepat, setidaknya dalam 20 tahun ke depan.

COP28 juga mengagendakan pertemuan agar negara-negara setuju menghilangkan produksi bahan bakar fosil di mana emisi karbon tidak dapat ditangkap pada pertengahan abad ini. Kesepakatan tersebut dapat mempercepat peningkatan penangkapan, penggunaan, dan penyimpanan karbon secara komersial.

Restrukturisasi pendanaan iklim agar berbiaya rendah dan mengurangi beban utang, seperti yang diusulkan oleh kepresidenan UEA, pada akhirnya dapat membuat dana triliunan dolar mengalir. Dana ini sangat dibutuhkan negara berkembang untuk transisi energi sembari melakukan industrialisasi. Apalagi, kekurangan pendanaan adalah hambatan utama transisi energi di negara berkembang sehingga agenda ini dalam COP 28 sangatlah penting.

Kabar bahwa CEO perusahaan minyak memimpin pertemuan puncak perubahan iklim merupakan hal yang mengkhawatirkan bagi siapa pun yang mengupayakan aksi cepat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Kita juga masih harus dilihat seberapa besar dedikasi UEA dalam kebijakan-kebijakan ini.

Namun, saya dan rekan penulis laporan ini menyimpulkan bahwa jika COP28 berhasil mencapai kesepakatan penting mengenai isu-isu di atas, hal ini akan menjadi langkah signifikan dalam mempercepat transisi yang adil dari bahan bakar fosil. COP 28 juga dapat memicu perbaikan besar dalam hal-hal yang berkaitan dengan bahan bakar fosil, sebagaimana diusulkan dalam COP sebelumnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now