Menu Close
Seorang perempuan Ukraina memeluk ketiga anaknya setelah mereka terpaksa meninggalkan negara mereka dan menjadi pengungsi. Marian Weyo/Shutterstock

Seperti Palestina, Ukraina juga menanti solidaritas kemanusiaan dari Indonesia

Tepat dua tahun sudah Rusia melakukan invasi skala penuh ke wilayah Ukraina. Perang masih terus berlangsung sampai hari ini.

Bahkan pada 29 Desember 2023 lalu, Rusia melancarkan serangan udara terbesarnya ke Ukraina. Sekitar 39 penduduk dilaporkan tewas dan 160 orang terluka akibat serangan yang menggunakan 158 misil (termasuk peluru kendali jelajah dan hipersonik) dan pesawat tanpa awak Shaheed tersebut.

Di Indonesia, serangan ini tampaknya masih kalah “populer” dari berita serangan brutal Israel ke Palestina dan isu krisis pengungsi Rohingya di Aceh. Terlebih, publik juga tengah fokus dengan semarak Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bahkan, dalam sesi debat calon presiden (capres) dengan topik politik luar negeri pada 7 Januari lalu, isu mengenai perang Rusia-Ukraina tidak diungkit sama sekali oleh ketiga capres.

Hal ini tentu bisa dimaklumi, mengingat kedekatan relijius dan historis mayoritas masyarakat Indonesia dengan Palestina, kedekatan geografis dengan Rohingya dan dampaknya pada masyarakat Aceh, serta tentu saja betapa pentingnya Pemilu.

Tulisan ini bermaksud mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa invasi skala penuh Rusia ke Ukraina masih terus berlangsung, korban masih terus berjatuhan, dan oleh karenanya perlu adanya solidaritas dari masyarakat Indonesia untuk masyarakat Ukraina.

Kondisi terakhir di Ukraina

Dalam kapasitas saya sebagai akademisi kajian Eropa Timur, saya bersama dengan beberapa anggota delegasi perwakilan masyarakat sipil Indonesia berkesempatan mengunjungi Ukraina pada 9-20 Desember 2023 lalu. Ini merupakan kunjungan balasan terhadap kehadiran delegasi masyarakat sipil Ukraina di Indonesia pada awal Februari 2023.

Pada kunjungan ke Ukraina itu, kami bertemu dengan banyak elemen masyarakat sipil di Ukraina, termasuk para ulama Islam di sana, mengunjungi wilayah-wilayah yang rusak parah akibat serangan Rusia, seperti Bucha, Borodyanka, dan Irpin, bertemu dengan para penyintas dan bekas tahanan perang Rusia yang mengalami siksaan, serta bertemu dengan banyak organisasi hak asasi manusia (HAM) dan universitas.

Warga Ukraina melarikan diri dari perang dan melintasi perbatasan Hungaria. Janossy Gergely/Shutterstock

Dalam kunjungan kami ke Lviv dan Kyiv, serta area sekitarnya yang hancur akibat perang, kami melihat bagaimana sebetulnya situasi kehidupan masyarakat di sana saat ini.

Penculikan anak-anak

Invasi Rusia telah menimbulkan dampak masif terhadap masyarakat Ukraina. Salah satu isu besar yang mengemuka, yang juga sempat dibahas oleh Dewan Keamanan PBB, adalah penculikan sekitar 700 ribuan anak di Ukraina oleh militer Rusia.

Laporan dari Associated Press yang diterbitkan Maret 2023 menunjukkan bagaimana Rusia mengambil paksa anak-anak dari wilayah Ukraina yang dihancurkan, seperti Mariupol, dan mengintegrasikan mereka secara paksa ke keluarga Rusia.

Isu ini menjadi salah satu permasalahan utama yang dibahas oleh Dewan Keamanan PBB, dalam debat tanggal 24 Agustus 2023. Penculikan ini juga menyebabkan Presiden Rusia Vladimir Putin dianggap sebagai penjahat perang oleh Mahkamah Kriminal Internasional.

Delegasi kami bertemu dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) SaveUkraine dan Regional Center for Human Rights, yang keduanya menjelaskan bahwa dari total yang diculik, 19 ribu sudah berhasil diidentifikasi, namun otoritas Ukraina hanya berhasil menyelamatkan 388 anak.

Hal ini tentu tidak dibenarkan oleh hukum internasional, dan justru menjadi cara Rusia untuk menghapus bangsa Ukraina, karena secara spesifik menyasar anak-anak sebagai calon pemimpin Ukraina di masa depan.

Persekusi Muslim Krimea

Isu lain yang juga mengemuka di Ukraina adalah mengenai kondisi masyarakat Muslim di Krimea, wilayah Ukraina yang sudah diduduki dan dicaplok oleh Rusia sejak 2014.

Mantan Mufti (ulama yang biasanya berwenang mengeluarkan fatwa) Ukraina yang sekarang turut berperang, Sheikh Said Ismagilov, dalam pertemuannya dengan kami mengatakan bahwa pemerintah Rusia menekan hak asasi kaum Muslim di Krimea, baik melalui intimidasi, penangkapan ulama, serta pembubaran pesantren di wilayah Krimea. Hal ini diamini juga oleh Sheikh Aider Rustemov, yang pertemuannya dengan kami dilakukan di sebuah bunker akibat masifnya serangan Rusia pada hari tersebut.

Laporan dari berbagai organisasi internasional menunjukkan bahwa kelompok Muslim Tatar (salah satu dinasti Muslim yang pernah berjaya di Krimea) telah dipersekusi oleh pemerintah pendudukan Rusia di Krimea karena melawan pendudukan tersebut sejak awal. Bentuk persekusinya antara lain penangkapan warga Muslim Tatar, penggerebekan oleh polisi, pelarangan media Muslim Tatar, serta pelarangan terhadap Majelis (dewan perwakilan masyarakat) Krimea.

Menariknya, Desember 2023 lalu, Kedutaan Rusia di Indonesia memberitakan dibukanya Mesjid Agung di Simferopol, Krimea, dengan mengutip Mufti Krimea yang diakui Rusia, yaitu Emirali Ablayev. Pemberitaan ini bisa disebut sebagai bentuk disinformasi dari Rusia, yang dengan sengaja menonjolkan pembangunan mesjid agung di tengah penderitaan warga Muslim Krimea.

Warga Ukraina, termasuk anak-anak, mengungsi di Stasiun Kereta Api Lviv karena dilanda perang. Sodel Vladyslav/Shutterstock

Berita soal pendirian mesjid ini tentu akan diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia, yang mayoritas tidak memahami bahwa di balik itu, masih ada penindasan besar terhadap kelompok Muslim di Krimea.

Propaganda narasi Islam

Bisa dilihat bahwa pola propaganda Rusia di Indonesia kini berfokus pada narasi-narasi Islam. Penelitian menemukan bahwa warganet di Indonesia cenderung merespons dua aspek dari propaganda Rusia: (1) kehebatan Putin melawan Barat dan Putin yang dianggap aktor pro-Islam, dan (2) pembelaan Rusia terhadap Palestina.

Di balik itu, masyarakat Indonesia tidak memahami bahwa di Krimea, masyarakat Muslim Tatar justru dipersekusi oleh Rusia.

Dalam hal ini, seharusnya ada solidaritas sesama Muslim yang menguatkan relasi antara Indonesia dengan Ukraina dan Krimea, seperti halnya solidaritas sesama Muslim yang banyak ditunjukkan masyarakat Indonesia untuk penduduk di Gaza.

Ukraina juga perlu solidaritas kemanusiaan

Dalam pernyataannya di European Union Indo-Pacific Ministerial Forum, 3 Februari 2024, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta Uni Eropa konsisten dalam hal penghormatan terhadap hukum internasional di kasus Ukraina dan Palestina. Namun, faktanya konsistensi dukungan Indonesia terhadap Ukraina pun masih diragukan.

Sebagai contoh, Indonesia masih menolak mengecam dan menekan Rusia secara langsung, padahal di saat yang sama Indonesia mampu mengecam Israel dan mendukung langkah Afrika Selatan membawa Israel ke Mahkamah Internasional.

Aksi solidaritas mendukung Ukraina dan menentang invasi Rusia di Warsaw, Polandia. Damian Lugowski/Shutterstock

Rasanya sulit berharap bahwa akan ada ketegasan dari pemerintah Indonesia terkait sikap terhadap konflik di Ukraina, karena sejak awal Indonesia bermain aman dengan berposisi netral.

Oleh karenanya, peran masyarakat untuk bersolidaritas bisa lebih diharapkan.

Sebagaimana disampaikan delegasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), perlu ada solidaritas sesama Muslim dari mayoritas bangsa Indonesia dengan masyarakat Ukraina, terutama untuk kelompok Muslim Krimea.

Dukungan moral ini kemudian bisa diturunkan dalam bentuk bantuan kemanusiaan pada warga Ukraina yang kehilangan rumah serta tempat tinggal mereka. Selain itu, meningkatkan kewaspadaan kita pada bentuk-bentuk disinformasi yang menghilangkan rasa kemanusiaan kita menjadi krusial.

Semestinya, kita bisa bersolidaritas dengan kelompok yang ditindas di seluruh dunia, baik dengan warga Palestina, warga Rohingya, maupun dengan warga Ukraina serta kelompok Muslim Tatar Krimea.

Konsistensi Indonesia dalam menentang penjajahan dan berpihak pada yang terjajah, baik di level masyarakat maupun pemerintahan, sedang diuji.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now