Menu Close
(Volodymyr Shtun/Shutterstock)

Sepertiga tanah di Bumi telah rusak, saatnya pemerintah dunia bertindak memulihkannya

Tanah yang kita jejaki ini merupakan bukan benda mati. Tanah adalah ruang kehidupan–rumah bagi begitu banyak mikroba di Bumi, yang bertanggung jawab terhadap sejumlah proses penting seperti penguraian dan kesehatan tumbuhan.

Komponen organik dalam tanah, seperti humus (dari hasil penguraian hewan maupun tumbuhan), berperan penting menjaga struktur tanah. Humus menjadi agen pengikat partikel dalam tanah. Sama halnya dengan dinding dalam suatu bangunan, tanah yang sehat merupakan struktur yang menjadi kanal-kanal pengaliran air. Kanal ini menjaga tanah dari erosi, sekaligus menjadi habitat makhluk hidup.

Tanah yang sehat juga memungkinkan manusia mendapatkan makanan yang aman dan bernutrisi. Kesehatan tanah juga penting bagi para petani dan masyarakat adat di negara-negara berkembang.

Sayangnya, lebih dari sepertiga tanah di Bumi saat ini rusak, alias menghadapi masalah pengerasan tanah, erosi, kemerosotan nutrisi, dan naiknya keasaman tanah.

Kerusakan tanah dapat mengakibatkan seretnya hasil panen dan penurunan kualitas makanan. Pasokan air dalam tanah juga bisa berkurang sehingga risiko kekeringan semakin bertambah. Bukan hanya itu, banjir juga berisiko terjadi karena tanah kehilangan kemampuan untuk menahan dan menyaring air.

Artikel ini akan menjelaskan faktor-faktor utama di balik kerusakan tanah, sekaligus alasan mengapa pemerintah di seluruh dunia harus lebih mengupayakan pelestarian sumber daya ini.

Para perusak tanah

Industri pertanian global menggunakan pupuk secara berlebihan. Akibatnya, ekosistem mikroba dalam tanah rusak. Praktik berlebihan ini juga meningkatkan ketergantungan industri pertanian terhadap pupuk dan pestisida yang mahal.

Praktik pertanian modern untuk komoditas tertentu seperti jagung dan kentang juga lebih sering mendahulukan jumlah produksi dengan memakai pupuk nitrogen berlebihan. Pupuk ini menyebabkan terlepasnya dinitrogen oksida–gas rumah kaca yang lebih kuat memerangkap panas di atmosfer 300 kali lipat dibandingkan karbon dioksida.

Selain itu, praktik perladangan agresif seperti pembajakan tanah dengan alat berat juga naik signifikan dalam satu dekade belakangan. Parktik ini menghancurkan unsur-unsur organik sehingga merusak keberagaman hayati dalam gumpalan tanah.

Aktivitas manusia juga mengakibatkan tekanan berlebihan terhadap sumber daya tanah. Saat ini, sumber daya tanah sudah memasuki titik nadir keselamatannya yang tak hanya membahayakan keberagaman hayati, tapi juga mengganggu pasokan pakan yang berisiko menjerumuskan jutaan orang dalam kemiskinan.

Kesuburan tanah berarti kelestarian bumi

Studi oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) tahun 2020 menyatakan, tanah dan kawasan yang sehat dapat meningkatkan ketangguhan tanaman menghadapi dampak perubahan iklim seperti kekeringan ataupun banjir.

Usaha meningkatkan pengetahuan kita tentang tanah juga dapat menggenjot pemenuhan target ekonomi dan iklim yang berkelanjutan.

Laporan IUCN di atas menyebutkan, peningkatkan komponen karbon organik dalam lapisan tanah (kedalaman 0-40 cm) sebesar 0,4% per tahun dapat meningkatkan produksi pangan global seperti jagung, beras, dan gandum. Angka peningkatannya cukup besar, sekitar 20-40% per tahun.

Usaha menggenjot komponen organik di lahan pertanian dan padang rumput global juga mendongkrak kapasitas penangkapan karbon sekitar 1 gigaton per tahun hingga 30 tahun mendatang. Jika ditotal, angka tersebut setara dengan penangkapan 10% gas rumah kaca dari aktivitas manusia tahun 2017.

Walau begitu, peningkatan kesuburan tanah tak bisa dicapai hanya dengan penyebaran pupuk saja. Pemerintah di tingkat dunia, regional, dan nasional harus bekerja sama untuk menyehatkan tanah.

3 langkah untuk pemerintah

Pemerintah dapat mempelajari berbagai inisiatif yang sudah dilakukan di seluruh dunia untuk meningkatkan kesehatan tanah.

Pertama, pemerintah dapat membuat kebijakan yang mendukung petani ataupun pengelola lahan menerapkan praktik-praktik ramah lingkungan.

Salah satu contohnya adalah kebijakan carbon farming yang diterapkan Uni Eropa. Kebijakan ini mengatur pemberian insentif bagi petani maupun pengelola lahan yang menerapkan praktik ramah lingkungan. Beberapa contohnya adalah pemberagaman tanaman, penanaman tanaman kacang-kacanagan seperti lentil ataupun kacang tanah, maupun praktik agroforestri (pertanian ataupun peternakan yang dibarengi penanaman tanaman berkayu).

Langkah ini dapat meningkatkan penyerapan karbon dalam tanah sekaligus mendukung penyehatan ekosistem dengan makhluk-makhluk yang menguntungkan seperti bakteri, jamur, protozoa, dan nematoda (cacing).

Untuk meningkatkan kesuburan tanah dan keberagaman hayatinya, pemerintah perlu mengalihkan anggaran subsidi pupuk kimia ke solusi penyuburan tanah secara alami seperti pupuk organik dan praktik kompos berbasis sains. Negara-negara seperti Brasil, Cina, India, Indonesia, dan Thailand sudah menerapkan pengurangan subsidi ini.

Kedua, pemerintah perlu berpartisipasi dalam inisiatif global untuk meningkatkan kualitas tanah.

Organisasi-organisasi internasional seperti Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan (UN SDSN), menggaet para pakar, pemerintah, sektor swasta, dan organisasi lingkungan untuk menekankan masalah lingkungan krusial, termasuk pentingnya kesuburan tanah.

Pertemuan tahunan seperti Pertemuan Target Pembangunan Berkelanjutan PBB dan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 28) tahun ini dapat menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menyadari kelayakan dan keuntungan dari pemulihan tanah besar-besaran.

Ketiga, pendidikan publik tentang ilmu tanah juga penting.

Salah satu contohnya, museum tanah yang telah didirikan di banyak negara. Museum ini berfungsi mendidik orang-orang tentang berbagai jenis tanah, bagaimana tanah terbentuk, penggunaan dan ancamannya, serta langkah-langkah pelestariannya.

Usaha untuk merawat hubungan timbal balik antara manusia dan kehidupan tanah membutuhkan perubahan pola pikir. Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan sekaligus membuat masyarakat menghormati siklus alam yang sebenarnya mereka andalkan dalam kehidupan sehari-hari.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now