Menu Close
Personel TNI. Novrian Arbi/Antara Foto

Serangan siber kian masif, akankah Angkatan Siber TNI jadi solusi?

Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini diterbitkan ulang sebagai bagian dari kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.


Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.

Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam publik. UU ITE saja sudah kerap menjadi alat untuk membatasi publik dalam menyampaikan pendapat.

Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.

Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan disusupi agenda-agenda politik praktis.

Rentannya serangan siber

Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.

Indonesia sendiri termasuk negara yang masih sangat rentan terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.

Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa komponen pertahanan di bidang siber yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.

Namun, kenyataannya masih banyak terjadi serangan siber yang gagal diantisipasi. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.

Contohnya adalah kebocoran data paspor dan penduduk yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.

Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran ujaran kebencian dan hoax di media sosial.

Maka dari itu, usulan munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.

Usulan pembentukan Angkatan Siber ini perlu ditinjau secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.

Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat patroli siber Polri menjadi sangat agresif dalam menegakkan keamanan siber.

Agresivitas ini justru lambat laun menjadi mengkhawatirkan, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. Jika salah langkah, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru mengancam demokrasi.

Antara pertahanan dan keamanan

Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.

Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.

Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini.

Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “Sinergitas TNI-Polri”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.

Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.


Read more: Perlukah TNI ikut menjaga pertandingan sepak bola, konser musik dan kegiatan sipil lainnya? Bagi negara demokrasi, ini tidak lazim


Untuk pertahanan, bukan keamanan

Kita bisa belajar dari Digital and Intelligence Service (DIS), Angkatan Siber Singapura yang baru saja dibentuk pada Maret tahun lalu.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Operasi siber memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil.

Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.

Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now