Menu Close

Setelah setahun temuan obat sirup, bagaimana kasus ini pengaruhi industri obat?

Pexels/Cottonbro Studio

Kasus cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada produk obat sirup yang terkait dengan kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia pada Oktober 2022, lebih dari setahun lalu, menjadi evaluasi besar bagi banyak pihak baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Cemaran EG/DEG dalam obat sirup sepanjang 2022-2023 dilaporkan ditemui lebih dari delapan negara, termasuk Indonesia.

Dari delapan negara tersebut, laporan menyatakan cemaran ini ditemui dari produk ekspor yang berasal dari India. Sementara di Indonesia, cemaran EG/DEG yang melebihi batas aman ditemukan pada produk yang diproduksi di dalam negeri.

Selain pengusutan pidana pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab di dalam negeri, kasus ini juga mendorong perubahan peraturan di level domestik dan internasional.

Perubahan aturan

Kasus ini mendorong badan berwenang bidang obat-obatan mengeluarkan aturan baru selama tahun 2023.

Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan aturan baru yang mewajibkan pelaporan kegiatan industri dan pedagang besar farmasi untuk bahan tambahan yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG.

Di India, pemerintah menetapkan bahwa seluruh sirup yang ditujukan untuk ekspor harus diuji di laboratorium pemerintah.

Badan regulasi obat Amerika Serikat (FDA) mengeluarkan pedoman terbaru dalam pengetatan pelaporan hingga mengirimkan surat peringatan kepada industri farmasi yang gagal dalam pemenuhan dokumen, meskipun tidak ditemukan kasus cemaran DEG/EG di negara tersebut.

Aturan ini senada dalam memastikan kualitas dan keamanan bahwa setiap industri yang memproduksi komponen yang berpotensi mengandung EG/DEG sebagai cemaran harus waspada. Mereka juga perlu mengetahui dengan jelas pentingnya menjaga kadar EG/DEG dalam batas yang dinyatakan aman (0,1%).

Langkah teknis perlu dilakukan secara rinci, mulai dari pengujian identitas dari setiap sampel wadah bahan yang diterima hingga uji batas EG/DEG sebelum digunakan dalam proses produksi dengan menggunakan prosedur yang tepat dan handal.

Industri farmasi juga harus menelusuri dan bertanggung jawab dalam rantai distribusi (siapa pembuat atau produsen bahan tersebut, apakah dilakukan pengemasan ulang dari pemasok) komponen yang berpotensi tersebut.

Seluruh personel dalam industri farmasi atau produsen (terutama bagian yang bertanggung jawab terhadap penerimaan, pengujian, dan pelulusan produk) harus memahami dan mewaspadai kemungkinan kontaminasi EG/DEG.

Investigasi penyebab

Kasus cemaran obat sirup di Indonesia terdeteksi berawal pada Oktober 2022 setelah beberapa bulan sebelumnya kasus gagal ginjal akut pada anak tidak diketahui penyebabnya secara pasti. Lebih dari 320 anak meninggal akibat obat sirup tercemar ini.

Adanya peringatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa ditemukan produk sirup untuk anak tidak memenuhi standar di Gambia, Afrika, dan temuan ini dikaitkan dengan kasus gagal ginjal akut pada anak. Peringatan dan kewaspadaan ini mengakibatkan dihentikannya seluruh kegiatan pendistribusian obat kepada masyarakat di Indonesia hingga obat-obat sirup tersebut dinyatakan bebas cemaran EG/DEG oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Akibat hukum dari temuan ini tiga perusahaan obat di Indonesia dicabut perizinannya, tiga penanggung jawab perusahaan menjalani sidang pidana, dan dua orang pemasok bahan baku ditetapkan sebagai tersangka.

Keluarga korban kasus gagal ginjal akut pada anak menggugat pemerintah (Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan dan Kementerian Kesehatan) lewat gugatan class action di pengadilan.

Sementara itu, investigasi kasus cemaran obat sirup di India diduga terjadi akibat disrupsi rantai pasok. Pengusutan kasus ini mengakibatkan kenaikan harga dari propilen glikol pharmaceutical grade sebagai bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan obat sirup.

Propilenglikol yang diperdagangkan terdiri dari industrial grade – yang ditujukan untuk pemakaian di industri non-makanan atau obat-obatan–dan pharmaceutical grade – yang ditujukan untuk digunakan sebagai bahan obat. Propilenglikol industrial grade memiliki persyaratan kemurnian yang lebih longgar dengan harga yang lebih murah daripada pharmaceutical grade.

Investigasi lebih lanjut melaporkan bahwa produsen sirup mengaku menggunakan bahan baku pharmaceutical grade sementara distributor bahan baku mengaku hanya menjual industrial grade. Kedua pihak tidak dapat memberikan bukti dokumentasi yang mendukung pernyataan ini.

Industri obat di India merupakan salah satu industri farmasi terbesar di dunia dan menjadi salah satu penopang perekonomian negara tersebut.

Pengujian obat sirup sebenarnya telah rutin dilakukan oleh produsen obat di Indonesia dan dipantau oleh BPOM. Badan POM memberikan penjelasan bahwa temuan cemaran ini diduga akibat penggantian pemasok bahan baku farmasi ke kimia oleh produsen selama pandemi.

Penyebab lainnya adalah ketiadaan kendali impor bahan baku yang digunakan sebagai bahan aktif maupun bahan tambahan dalam pembuatan produk farmasi.

Produsen di Indonesia menyatakan bahwa meski industri farmasi telah mengikuti prosedur yang ketat sesuai aturan, ada celah yang memungkinkan industri farmasi tertipu pemasok bahan baku.

Sementara itu, bahan baku obat dan bahan tambahan di Indonesia memang 90% masih mengandalkan produk impor, terutama dari Cina dan India.

Keseluruhan temuan cemaran EG/DEG yang tercatat selama ini memiliki pola yang mirip akibat beberapa hal berikut:

  1. Pengujian bahan baku kurang menyeluruh (mengandalkan dokumen dari distributor).
  2. Tidak adanya syarat mutu EG/DEG yang harus diuji pada bahan yang kemungkinan terkontaminasi.
  3. Produsen dari bahan baku yang digunakan tidak jelas atau tidak dapat ditelusuri.

Lalu apa tindak lanjutnya?

Investigasi mendalam, menyeluruh, dan melibatkan banyak pihak mungkin perlu dilakukan untuk menelusuri kecurigaan cemaran pada bahan baku impor. Hal ini akan berpengaruh terhadap kebijakan yang sistemik.

Adanya kebijakan baru akan memengaruhi bagaimana peredaran, harga jual obat, hingga derajat kesehatan di masyarakat.

Tidak dipungkiri lemahnya industri hulu, seperti industri bahan baku EG/DEG,di Indonesia menjadi salah satu poin kritis yang memengaruhi kasus cemaran EG/DEG yang menjadikan banyak masyarakat sebagai korban.

Peraturan baru dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh untuk mencegah kasus serupa berulang ke depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now