Menu Close
Charlton Heston sebagai Musa dalam epik alkitabiah Sepuluh Perintah Allah. Koleksi Layar Perak/Arsip Hulton/Getty Images. Silver Screen Collection/Hulton Archive/Getty Images

Siapa yang menulis Alkitab?

Alkitab menceritakan kisah keseluruhan tentang sejarah dunia: penciptaan, kejatuhan, penebusan dan Penghakiman Terakhir Tuhan atas orang hidup dan orang mati.

Perjanjian Lama (yang berasal dari tahun 300 Sebelum Masehi/SM) dimulai dengan penciptaan dunia dan Adam dan Eva, ketidaktaatan mereka kepada Tuhan dan pengusiran mereka dari Taman Eden.

Perjanjian Baru menceritakan penebusan umat manusia yang disebabkan oleh kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Perjanjian baru ini ditutup oleh kitab Wahyu, dengan berakhirnya sejarah dan Penghakiman Terakhir Tuhan.

Selama 400 tahun pertama Kekristenan, gereja meluangkan waktu untuk memutuskan Perjanjian Baru. Akhirnya, pada tahun 367 M, pihak berwenang mengonfirmasi 27 buku yang menyusun Perjanjian Baru tersebut.

Namun, siapa yang menulis Alkitab?

Secara umum, ada empat teori berbeda.

Alkitab menceritakan kisah keseluruhan tentang sejarah dunia. Pixabay/Pexels

1. Tuhan menulis Alkitab

Semua penganut Kristiani setuju bahwa ada sumber otoritas dalam Alkitab. Banyak orang melihatnya sebagai firman Tuhan yang diwahyukan secara ilahiah. Namun ada perbedaan pendapat yang signifikan mengenai artinya.

Pendapat yang paling ekstrem menganggap bahwa kata-kata itu sendiri diilhami oleh Tuhan. Tuhan mendiktekan Alkitab kepada para penulis, tak ubahnya musisi Tuhan dalam komposisi ilahi.

Pada awal abad kedua, filsuf Kristen Justin Martyr melihat Alkitab sebagai keperluan orang suci saja.

untuk menyerahkan pribadi mereka yang telah disucikan ke dalam arahan Roh Kudus, sehingga seolah-olah plektrum (semacam harpa atau kecapi) ilahiah dari surga ini dapat mengungkapkan kepada kita kebenaran ilahi dan surgawi.

Dengan kata lain, Allah mendiktekan firman tersebut kepada sekretaris-sekretaris, yang menuliskan semuanya dengan tepat.

Pandangan ini dilanjutkan oleh gereja Katolik abad pertengahan. pada abad ke-13, teolog Katolik Thomas Aquinas menyatakan secara sederhana bahwa: “penulis Tulisan Suci adalah Tuhan”. Dia berpendapat, setiap kata dalam Kitab Suci dapat memiliki beberapa arti–dengan kata lain, dapat ditafsirkan secara beragam.

Gerakan reformasi agama yang dikenal sebagai Protestanisme melanda Eropa pada tahun 1500-an. Sekelompok gereja baru terbentuk berdampingan dengan tradisi Katolik dan Ortodoks Timur yang sudah ada lebih dulu.

Umat Protestan menekankan otoritas “kitab suci saja” (sola scriptura), artinya teks Alkitab adalah otoritas tertinggi atas gereja. Hal ini memberikan penekanan lebih besar pada kitab suci dan gagasan “dikte ilahiah” mendapat lebih banyak dukungan.

Misalnya, pembaru Protestan John Calvin menyatakan:

[kami] sepenuhnya yakin bahwa para nabi tidak berbicara atas saran mereka sendiri, tetapi karena, sebagai organ Roh Kudus, mereka mengucapkan apa yang telah diperintahkan dari surga untuk mereka nyatakan.

Reformator Protestan, John Calvin, percaya pada ‘dikte ilahiah’.

“Dikte ilahiah” dikaitkan dengan gagasan bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan (inerrant)–karena kata-kata didiktekan oleh Tuhan.

Secara umum, selama 1700 tahun pertama sejarah Kristen, hal ini hanya merupakan asumsi atau pendapat. Namun sejak abad ke-18, baik sejarah maupun sains mulai meragukan kebenaran Alkitab. Apa yang tadinya dianggap sebagai fakta kini dianggap sebagai mitos dan legenda.

Keyakinan bahwa kitab suci tidak mungkin salah menjadi doktrin utama gerakan abad ke-20 yang dikenal sebagai fundamentalisme. Pernyataan Chicago tentang kemutlakan Alkitab pada 1978 di Amerika Serikat (AS) berisi:

Karena seluruh ajarannya adalah pemberian Allah, maka Kitab Suci tidak mempunyai kesalahan atau cacat dalam seluruh ajarannya, tidak kurang dari apa yang dinyatakannya tentang tindakan Allah dalam penciptaan, tentang peristiwa-peristiwa dalam sejarah dunia, dan tentang asal-usul sastranya di bawah kekuasaan Allah, serta dalam kesaksiannya tentang anugerah penyelamatan Tuhan dalam kehidupan individu.


Read more: How the Bible helped shape Australian culture


2. Tuhan mengilhami para penulis: konservatif

Sebuah alternatif terhadap teori dikte ilahiah adalah inspirasi ilahi dari para penulis. Di sini, Allah dan manusia berkolaborasi dalam penulisan Alkitab. Jadi, bukan kata-katanya yang berasal dari Tuhan, tapi penulisnya terinspirasi oleh Tuhan.

Teori ini memiliki dua versi yang berasal dari Reformasi. Versi konservatif, yang disukai oleh Protestantisme, adalah: meskipun Alkitab ditulis oleh manusia, Tuhan merupakan kekuatan dominan dalam kemitraan tersebut.

Penganut Protestan percaya bahwa kedaulatan Tuhan mengesampingkan kebebasan manusia. Namun bahkan para reformator seperti Martin Luther dan John Calvin, mengakui variasi dalam cerita-cerita Alkitab dapat disebabkan oleh tindakan manusia.

Umat Katolik cenderung lebih mengakui kebebasan manusia di atas kedaulatan ilahi. Beberapa orang tergoda dengan gagasan bahwa penulisnya adalah manusia. Tuhan hanya campur tangan untuk mencegah kesalahan.

Misalnya, pada 1625, Jacques Bonfrère mengatakan bahwa Roh Kudus bertindak: “bukan dengan mendikte atau dalam tarikan napas, tetapi ketika seseorang mengawasi pada saat yang lain ketika dia sedang menulis, agar dia tidak tergelincir ke dalam kesalahan”.

Umat Katolik cenderung lebih mengakui kebebasan manusia di atas kedaulatan ilahi dibandingkan Protestan. Pixabay/Pexels

Pada awal 1620-an, Uskup Agung Split di Kroasia, Marcantonio de Dominis, melangkah lebih jauh. Dia membedakan bagian-bagian Alkitab yang diwahyukan Tuhan kepada para penulisnya dengan bagian-bagian yang tidak diwahyukan oleh Tuhan. Dalam hal ini, dia yakin, kesalahan bisa saja terjadi.

Pandangannya didukung sekitar 200 tahun kemudian oleh John Henry Newman, yang memimpin gerakan Oxford di Gereja Inggris dan kemudian menjadi pemimpin gerakan Oxford, kardinal lalu menjadi orang suci di Gereja Katolik Roma.

Newman berpendapat bahwa kitab-kitab yang diilhami secara ilahiah dalam Alkitab disisipi tambahan-tambahan manusia. Dengan kata lain, Alkitab diilhami dalam hal iman dan moral–tetapi tidak, katakanlah, dalam hal ilmu pengetahuan dan sejarah.

Kadang-kadang sulit untuk membedakan pandangan konservatif ini dari “dikte ilahiah”.


Read more: Friday essay: The Qur’an, the Bible and homosexuality in Islam


3. Tuhan mengilhami para penulis: liberal

Selama abad ke-19, baik di kalangan Protestan maupun Katolik, teori konservatif digantikan oleh pandangan yang lebih liberal. Para penulis Alkitab diilhami oleh Tuhan, tapi mereka adalah “anak-anak pada masanya”, tulisan mereka ditentukan oleh konteks budaya di mana mereka menulis.

Penggambaran abad ke-18 dari Injil Matius dan Markus. Wikimedia Commons

Pandangan ini, meskipun mengakui status khusus Alkitab bagi umat Kristen, juga mengakui adanya kesalahan. Misalnya, pada 1860 teolog Anglikan Benjamin Jowett menyatakan: “doktrin inspirasi apapun yang benar harus sesuai dengan semua fakta sejarah atau ilmu pengetahuan yang telah dipastikan dengan baik”.

Bagi Jowett, berpegang pada kebenaran Alkitab tanpa mempertimbangkan penemuan ilmu pengetahuan atau sejarah berarti merugikan agama. Namun, kadang-kadang sulit untuk membedakan antara pandangan liberal tentang inspirasi dan tidak adanya arti dari “inspirasi”.

Pada 1868, sebuah gereja Katolik konservatif menolak pandangan yang lebih liberal dan menyatakan bahwa Alkitab ditulis langsung oleh Tuhan. Konsili Gereja yang dikenal sebagai Vatikan 1 menyatakan baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru adalah: “ditulis di bawah ilham Roh Kudus, keduanya mempunyai Tuhan sebagai penulisnya.”


Read more: In spite of their differences, Jews, Christians and Muslims worship the same God


4. Orang-orang menulisnya, tanpa bantuan Tuhan

Di kalangan Kristen paling liberal, pada akhir abad ke-19, gagasan tentang Alkitab sebagai “yang diilhami ilahi” telah kehilangan maknanya.

Umat Kristen Liberal bisa saja mengikuti rekan-rekan sekuler mereka dalam mengabaikan pertanyaan tentang akurasi atau infalibilitas Alkitab secara historis atau ilmiah. Gagasan mengenai Alkitab sebagai hasil karya manusia kini diterima. Pertanyaan tentang siapa yang menulisnya kini sebanding dengan pertanyaan tentang penulis teks kuno lainnya.

Eva di Taman Eden. Giuliano di Piero di Simone Bugiardini/Wikimedia Commons

Jawaban sederhana untuk “siapa yang menulis Alkitab?” menjadi: penulis yang disebutkan dalam Alkitab (misalnya, Matius, Markus, Lukas dan Yohanes – keempat penulis Injil). Namun, gagasan tentang siapa penulis Alkitab itu rumit dan problematik. Demikian pula studi sejarah terhadap teks-teks kuno secara lebih umum.

Hal ini disebabkan karena sulitnya mengidentifikasi penulis tertentu.

Isi 39 kitab Perjanjian Lama sama dengan 24 kitab Yahudi Alkitab Ibrani. Dalam studi Perjanjian Lama modern, pendapat bahwa kitab-kitab tersebut bukanlah hasil karya seorang penulis tunggal, melainkan hasil sejarah penyampaian cerita yang panjang dan terus berubah, telah diterima secara umum.

Oleh karena itu, pertanyaan tentang kepenulisan bukanlah tentang seorang penulis individu, melainkan tentang banyak penulis, editor, juru tulis, dan redaktur–serta berbagai versi teks yang berbeda.

Hal ini hampir sama dengan Perjanjian Baru. Walaupun 13 Surat diatribusikan kepada Santo Paulus, terdapat keraguan mengenai kepenulisan tujuh surat di antaranya (Efesus, Kolose, 2 Tesalonika, 1 Timotius, 2 Timotius, Titus, dan Ibrani).

Ada juga perselisihan mengenai penulis tradisional dari sejumlah surat yang tersisa. Misalnya, Kitab Wahyu secara tradisional dianggap berasal dari Yohanes sang murid Yesus. Namun, sekarang secara umum disepakati bahwa dia bukanlah penulisnya.

Secara tradisional, penulis keempat Injil dianggap sebagai rasul Matius dan Yohanes, Markus (pendamping murid Yesus, Petrus), dan Lukas (rekan Paulus, yang menyebarkan agama Kristen ke dunia Yunani-Romawi pada abad pertama). Namun Injil yang ditulis secara anonim baru dikaitkan dengan tokoh-tokoh ini pada abad kedua dan ketiga.

Tanggal pembuatan Injil juga menunjukkan bahwa Injil tersebut tidak ditulis oleh saksi mata kehidupan Yesus. Injil paling awal, Markus (65-70 M) ditulis sekitar 30 tahun setelah kematian Yesus (29-34 M). Injil terakhir, Yohanes (90-100 M) ditulis sekitar 60-90 tahun setelah kematian Yesus.

Tanggal pembuatan Injil menunjukkan bahwa Injil tersebut tidak ditulis oleh saksi mata kehidupan Yesus. Joe Alblas/AAP

Tampak jelas bahwa penulis Injil Markus mengambil tradisi awal yang beredar di awal-awal gereja tentang kehidupan dan ajaran Yesus, lalu menyatukannya dalam bentuk biografi kuno.

Pada gilirannya, Injil Markus menjadi sumber utama bagi penulis Matius dan Lukas. Masing-masing penulis memiliki akses ke sumber yang sama (dikenal sebagai “Q”) dari perkataan Yesus, beserta materi yang unik untuk masing-masing penulis.

Singkatnya, ada banyak penulis Injil yang tidak diketahui.

Menariknya, kelompok teks lain, yang dikenal sebagai Apokrifa, ditulis di masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (400 SM hingga abad pertama M). Gereja Katolik dan tradisi Kristen Ortodoks Timur menganggapnya sebagai bagian dari Alkitab, tapi gereja Protestan tidak menganggapnya otoritatif.


Read more: 5 things to know about the traditional Christian doctrine of hell


Ilahi atau manusia: mengapa itu penting?

Siapa yang menulis Alkitab adalah pertanyaan penting. Sebab, sebagian besar penduduk Kristen di dunia meyakini Alkitab bukan buatan manusia.

Jika diilhami secara ilahiah, ia memiliki makna transendental. Dengan demikian, hal ini memberi umat Kristiani pemahaman akhir tentang dunia ini, arti sejarah dan bagaimana kehidupan manusia seharusnya dijalani.

Hal ini penting karena pandangan Alkitabiah merupakan landasan tersembunyi (dan sering kali tidak terlalu tersembunyi) dalam praktik ekonomi, sosial, dan pribadi. Sehingga, kitab ini tetap menjadi sumber utama perdamaian dan konflik.

Pertanyaan ini juga penting karena Alkitab masih merupakan kumpulan buku terpenting dalam peradaban Barat. Terlepas dari keyakinan agama kita, Alkitab telah membentuk, memberi informasi, dan menempa kita-–secara sadar atau tidak, baik maupun buruk.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now