Menu Close

Siapa yang paling diuntungkan dari kebebasan berpendapat: si kaya atau si miskin?

Ilustrasi pembungkaman kebebasan berbicara. Getty Images

Di berbagai negara, baik melalui represi kekuasaan rezim otoriter maupun cancel culture (budaya penolakan), pentingnya kebebasan berekspresi kini tengah diperdebatkan dengan sengit. Namun, apakah kebebasan berpendapat menguntungkan semua kelompok secara setara?

Lewat penelitian yang terbit baru-baru ini, kami menjawab pertanyaan tentang siapa yang paling diuntungkan dari kebebasan berpendapat. Apakah individu yang memiliki sumber daya paling banyak-–secara pendapatan ataupun pendidikan-–yang lebih diuntungkan, atau justru individu yang memiliki sedikit sumber daya?

Gagasan bahwa mereka yang memiliki sumber daya adalah yang paling diuntungkan sejalan dengan konsep hierarki kebutuhan yang dikembangkan oleh psikolog Amerika Serikat (AS) Abraham Maslow. Dia berargumen bahwa orang akan berusaha memenuhi kebutuhan yang paling mendesak-–seperti makanan dan tempat tinggal-–sebelum berupaya mendapatkan ‘kemewahan’ seperti kebebasan berpendapat.

Walau begitu, pandangan bahwa kebebasan berpendapat paling menguntungkan untuk mereka yang memiliki sedikit sumber daya pun konsisten dengan gagasan: orang-orang yang terpinggirkan memiliki ruang lingkup yang lebih kecil untuk memengaruhi keputusan dalam masyarakat jika harus menggunakan dana atau jaringan mereka. Mereka membutuhkan kebebasan berpendapat untuk memengaruhi keputusan dalam kebijakan publik.

Hak untuk mengatakan apapun

Prinsip kebebasan berpendapat yang (mungkin) paling tepat telah digambarkan pada 1906 oleh penulis Evelyn Beatrice Hall. Dia memparafrasekan filsuf Prancis Voltaire. Dia menulis:

Saya tidak setuju dengan pendapatmu, tetapi saya akan membela sampai mati hakmu untuk mengungkapkannya.

Kebebasan berpendapat telah ditetapkan sebagai hak oleh PBB dan tercantum dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, yang bunyinya:

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).

Namun, perlu diakui bahwa bahkan di negara-negara dengan tingkat kebebasan berpendapat yang tinggi tetap punya batasan terhadap ujaran kebencian, terorisme, dan pengkhianatan negara. Setelah tragedi pembantaian Christchurch di Selandia Baru, contohnya, manifesto dan video oleh para pelaku teror itu diklasifikasikan sebagai dokumen terlarang untuk ditayangkan dan didistribusikan di negara tersebut.

Meskipun berbagai negara telah “mengabadikan” hak atas kebebasan berekspresi dalam konstitusi mereka, masih banyak orang di banyak negara lainnya yang mengalami pembatasan berpendapat. Selama proses penobatan Raja Charles baru-baru ini, misalnya, 52 pengunjuk rasa di Inggris ditangkap, bahkan sebelum memulai aksi protes. Penangkapan ini dikritik sebagai serangan terhadap kebebasan berpendapat publik.

Para pengunjuk rasa ditangkap selama proses penobatan Raja Charles, termasuk penangkapan awal terhadap aktivis antimonarki di London. Wiktor Szymanowicz/Getty Images

Kebebasan berpendapat dan kesejahteraan

Penelitian kami menguji apakah perubahan pembatasan kebebasan berpendapat berkaitan dengan naik-turunnya kesejahteraan orang-orang yang memiliki banyak sumber daya dibandingkan dengan orang-orang dengan sedikit sumber daya di suatu negara.

Analisis kami melibatkan 300 ribu responden lebih dari 90 negara selama 40 tahun. Kami menggunakan data kesejahteraan dan data individual lainnya dari World Values Survey dan survei Latino Barometer. Kesejahteraan diukur dengan bagaimana orang-orang menilai kualitas hidup mereka secara keseluruhan.

Kami melengkapi data kesejahteraan individu menggunakan ukuran kebebasan berpendapat dan HAM tingkat negara. Sumbernya dari dua database yang disusun secara independen (oleh CIRIGHTS dan VDEM). Banyak negara dalam survei-survei tersebut yang menunjukkan perubahan tingkat kebebasan berpendapat selama masa penelitian berlangsung.

Penelitian kami menghasilkan dua temuan kunci.

Pertama, orang-orang dengan lebih banyak sumber daya menempatkan memprioritaskan kebebasan berpendapat (ketika mereka diminta mengurutkan kepentingannya).


Read more: Oath Keepers convictions shed light on the limits of free speech – and the threat posed by militias


Kedua, orang-orang dengan sedikit sumber dayalah yang sebenarnya paling diuntungkan dari kebebasan berpendapat. Hasil riset menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat membuat orang-orang ini menjadi lebih berdaya. Kebebasan pun lebih berpeluang meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang terpinggirkan.

Dua temuan tersebut tidak bertentangan: orang-orang dengan sumber daya yang lebih sedikit mungkin perlu memprioritaskan kebutuhan dasar lebih dari “kemewahan” seperti kebebasan berpendapat. Namun, karena berada dalam lingkup populasi yang terpinggirkan, mereka menjadi penerima manfaat paling besar dari kebebasan berekspresi.

Riset kami juga menemukan bahwa orang-orang yang menghargai kebebasan berpendapat merasa diuntungkan dengan tinggal di negara-negara dengan kebebasan berpendapat. Preferensi terhadap kebebasan berpendapat pun bervariasi: tergantung karakter-karakter tertentu dalam suatu populasi (selain pendapatan dan pendidikan).

Ada beberapa kelompok masyarakat yang cenderung memprioritaskan kebebasan berpendapat: kaum muda, pelajar, orang yang tidak menganut agama, dan mereka yang berada di spektrum politik kiri.

Preferensi juga mencerminkan keadaan negara. Masyarakat di negara-negara Barat cenderung lebih mendukung kebebasan berpendapat ketimbang masyarakat lainnya di dunia.

Mempertahankan “pasar gagasan”

Di dunia di mana kebebasan berpendapat semakin terancam, penting untuk melindungi “pasar gagasan”. Menurut pemikir abad ke-19, John Stuart Mill, gagasan harus “bersaing” di pasar terbuka dan diuji oleh publik untuk menentukan gagasan mana yang akan menang.


Read more: There are differences between free speech, hate speech and academic freedom – and they matter


Terlepas dari risiko dengan adanya echo-chambers (ruang gema) media sosial kini, pemikiran Mill masih relevan. Seseorang harus dapat mengungkapkan pandangannya dan menerima pandangan orang lain secara terbuka.

Deklarasi HAM PBB menekankan kebebasan berekspresi yang dua arah. Artinya, setiap orang memiliki “hak untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi dan gagasan”.

Undang-undang negara harus mencerminkan desakan Hall tentang kebebasan berekspresi. Di tingkat nasional, kita harus membela hak orang lain untuk mengatakan apa yang mereka inginkan. Sementara, di tingkat personal, kita juga harus menghormati pentingnya menjadi pendengar yang baik, bahkan ketika kita tidak menyetujui apa yang dikatakan orang lain.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now