Menu Close

Solusi bangun pendidikan di wilayah terpencil menurut riset

Tantangan pendidikan yang dihadapi oleh daerah terpencil seperti wilayah 3T berbeda dengan wilayah lainnya. EmGIEF/shutterstock.

Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menjamin kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu kualitas pendidikan yang merata.

Faktanya, banyak wilayah terpencil Indonesia belum merasakan kualitas pendidikan yang sama.

Kemiskinan ekstrem, tidak adanya dukungan keluarga yang memadai, keragaman suku yang bermukim dalam satuan administratif, serta metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan konteks lokal menjadi alasan mengapa sulit mewujudkan kualitas pendidikan yang merata.

Tantangan-tantangan ini berakar pada permasalahan-permasalahan mendasar, yaitu: faktor geografis, keterbatasan akses dan infrastruktur pendidikan, keterbatasan guru atau tenaga pendidik, serta hambatan sosial budaya.


Read more: Ternyata, pembelajaran daring di daerah terpencil semasa pandemi tidak efektif: ini akar masalahnya


Jadi, apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk membangun pendidikan di wilayah terpencil?

1. Asesmen berbasis lokasi

Setiap wilayah memiliki kebutuhan yang berbeda sesuai dengan kondisi sosial demografi, ekonomi, politik, budaya dan geografis masing-masing. Hal ini berlaku juga untuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), istilah untuk menyebut wilayah Indonesia yang terpencil dan kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional.

Kondisi yang berbeda tersebut membutuhkan asesmen untuk memastikan kebijakan pendidikan yang tepat sasaran sesuai dengan kondisi wilayah tujuan.

Asesmen yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya, Papua, adalah salah satu contoh praktik baik yang bisa diadaptasi.

Hasil riset yang penulis lakukan pada tahun 2016 menunjukkan bagaimana Sekretaris Daerah (Sekda) Lanny Jaya bekerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk merumuskan solusi yang merespons asesmen terkait masalah pendidikan yang ada di wilayah tersebut.

Hasil asesmen menunjukkan bahwa topografi wilayah Lanny Jaya yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung membuat siswa harus menempuh medan yang sulit untuk dapat menjangkau sekolah. Dari asesmen tersebut, pemerintah daerah Lanny Jaya kemudian membangun tiga sekolah asrama sebagai solusi atas kendala geografis tersebut.

Selain kendala geografis, hasil asesmen di Lanny Jaya juga menunjukkan adanya kendala sosial berupa konflik antar suku dan gangguan keamanan, yang menghambat pembangunan pendidikan.

Pemerintah daerah (pemda) mengambil peran dalam membantu penyelesaian konflik sosial yang terjadi, seperti kasus pelarangan guru mengajar murid yang berasal dari suku berbeda oleh orang tua, serta penyelesaian konflik lahan untuk sekolah yang dipalang oleh masyarakat adat pemilik tanah. Salah satunya melalui pelaksanaan upacara bakar batu sebagai tradisi menjalin silaturahmi dan media perekat kohesi sosial (kemampuan masyarakat untuk mempertahankan kesatuan dan kebersamaan dalam rangka mencapai tujuan bersama).

2. Akses transportasi dan jaringan internet

Jalur transportasi di Entikong, wilayah 3T yang terletak di Kecamatan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Fikri Muslim/The Conversation Indonesia.

Penyediaan alat dan jaringan transportasi menjadi salah satu kunci kehadiran guru dan siswa di sekolah.

Hasil wawancara penulis dengan kepala sekolah SD dan SMP di Distrik Sawa Erma, Kabupaten Asmat, Papua, pada tahun 2016, menyebutkan bahwa, sekolah menyediakan perahu untuk mengantar anak dan guru pulang pada hari Jumat dan menjemput kembali pada hari Minggu. Jika hal ini tidak dilakukan, mereka akan kesulitan untuk datang ke sekolah, karena wilayah sungai yang sangat luas dan lokasi pemukiman guru dan siswa yang berada di pulau lain.

Komitmen pendanaan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menyediakan infrastruktur dasar menjadi kunci terbukanya akses pendidikan bagi setiap anak.

Selain itu, penyediaan jaringan internet juga merupakan kunci pembangunan pendidikan di wilayah 3T. Dalam hal ini, pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, tengah berupaya mempercepat penyediaan jaringan internet untuk meningkatkan proses dan kualitas belajar di sekolah-sekolah di wilayah 3T.

3. Keberpihakan pada guru

Kualitas dan kuantitas guru merupakan faktor penting pembangunan pendidikan. Katiekk/shutterstock.

Kualitas guru di wilayah 3T perlu mendapat perhatian serius demi meningkatnya pemerataan kualitas pendidikan. Saat ini, terdapat kekurangan sekitar 21.676 guru untuk sekolah negeri di wilayah 3T. Akibatnya, para guru lulusan SMA tetap harus mengajar meskipun tidak memenuhi kualifikasi kelayakan mengajar yaitu minimal telah menamatkan pendidikan jenjang S1/D4.

Selain itu, pemerintah perlu mengapresiasi daya juang dan komitmen para guru yang bersedia ditempatkan di wilayah 3T dalam bentuk jaminan keamanan, remunerasi yang layak dan kesempatan peningkatan kapasitas guru.

Pemerintah Kabupaten Kabupaten Lanny Jaya, misalnya, memberikan fasilitas rumah, bahan pangan, dan transportasi dari Lanny Jaya ke Wamena, Papua, kepada guru kontrak agar mereka merasa nyaman mengajar. Selain itu, pemerintah pusat juga berupaya mengapresiasi guru yang sudah mengabdi di Papua dengan merencanakan pengangkatan guru tamatan SMA di 4 daerah otonom baru Papua menjadi ASN.

4. Kolaborasi: 3 tungku 2 peran

John Rahail, seorang dosen di Universitas Cendrawasih, Papua, memperkenalkan konsep kolaborasi “3 tungku 2 peran” untuk membangun infrastruktur sekolah kampung di daerah terpencil.

Kolaborasi yang baik ini melibatkan tokoh-tokoh yang secara simbolis disebut sebagai “3 tungku” yang meliputi pemerintah, tokoh adat dan tokoh agama dan “2 peran” yang meliputi tokoh perempuan dan tokoh pemuda. John Rahail menyebut kolaborasi 3 tungku dan 2 peran ini sebagai ‘pintu sosial’ untuk dapat diterima oleh masyarakat kampung serta untuk membangun jejaring komunikasi dan kemitraan.

Melalui kolaborasi tersebut, setiap tokoh berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di Papua. Di Kabupaten Lanny Jaya, contohnya, pengawasan pelaksanaan pembelajaran diperketat melalui kerja sama dengan warga, pendeta, dan kepala kampung untuk menghentikan ketidakhadiran yang terus-menerus dan putus sekolah akibat acara adat, keagamaan, atau berkebun yang memakan waktu lama.

Jika ada anak putus sekolah atau absen karena berkebun, maka bantuan tunai dari kabupaten yang didapat keluarga tersebut akan dicabut.

Dengan menjawab keempat kebutuhan di atas, pembangunan pendidikan di wilayah terpencil dapat dijalankan secara maksimal. Sehingga, pemerataan pendidikan dapat terjamin, tidak hanya untuk sekolah-sekolah di kota besar, tapi juga sekolah-sekolah di wilayah terpencil.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now