Perubahan iklim berdampak pada siapa saja, termasuk para petani.
Perubahan iklim yang sering mengakibatkan kekeringan dan banjir bisa menimbulkan ancaman gagal panen dan juga mengakibatkan penurunan produksi beras nasional.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa petani di berbagai belahan dunia, seperti di India, Pakistan, Ghana dan negara-negara di Afrika Timur tidak memiliki kemampuan melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim karena rendahnya sumber daya ekonomi dan terbatasnya pilihan baik berupa teknologi maupun infrastruktur.
Namun, berdasarkan hasil penelitian saya menunjukkan bahwa petani di kawasan Indramayu, Jawa Barat, mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim secara kolektif.
Sebagai negara yang sangat mengandalkan padi sebagai pangan pokok, survei ini penting untuk melihat ketahanan petani dalam beradaptasi atas dampak perubahan iklim yang sedang terjadi.
Apabila petani dapat membangun ketahanan secara mandiri, maka mereka dapat mencapai kesejahteraan dan berkontribusi positif terhadap keberlanjutan pasokan pangan nasional.
Peran pemimpin, petani, dan tradisi adaptasi kolektif
Kabupaten Indramayu merupakan lumbung beras terbesar di provinsi Jawa Barat karena menyumbang produksi beras sebesar 1.391.928 ton pada tahun 2018.
Namun, cuaca tidak menentu akibat perubahan iklim menjadi ancaman yang serius bagi petani lokal.
Dari hasil survei yang saya lakukan pada tahun 2019, setidaknya 70% dari 296 responden petani di Desa Nunuk menyatakan mereka tidak bisa lagi menentukan musim tanam.
Sebagai contoh, mereka sulit untuk menentukan awal musim tanam padi karena ketidakpastian terjadinya musim penghujan.
Selain itu, 58% petani menyatakan musim kekeringan semakin sering terjadi dan 69% mengakui bahwa musim penghujan semakin tidak menentu, baik waktu maupun intensitas.
Namun hasil survei saya juga menunjukkan bagaimana para petani desa Nunuk, Indramayu mampu beradaptasi terhadap ketidakpastian iklim melalui mekanisme partisipasi mereka dalam menentukan waktu tanam padi.
Di bawah kepemimpinan kepala desa, para petani lokal dapat menetapkan waktu tanam padi dengan menghitung siklus pertumbuhan hama dan mempertimbangkan informasi iklim dari ilmuwan.
Pengetahuan tentang hama ini didapatkan setelah mereka mengikuti program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Kabupaten Indramayu pada tahun 1994 hingga 1996.
SLPHT merupakan program nasional pemerintah pusat dengan bantuan teknis dari Badan Pangan Dunia (FAO), dan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu sebagai pendamping para petani. Program ini digelar karena daerah tersebut terkena serangan hama secara masif pada tahun 1994 hingga 1995.
Sejak itu, komunitas petani di desa Nunuk secara konsisten menerapkan pengetahuan dari SLPHT tentang hama dan skenario dalam menentukan masa tanam padi.
Selain itu, mereka mendapatkan informasi terkait iklim dari Warung Ilmiah Lapangan, program yang digagas oleh ahli agro-metereologi Cornelius J. Stigter (Wageningen University di Belanda) dan antropolog Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia), tahun 2008.
Program ini membentuk suatu jaringan petani dan ilmuwan yang membantu meningkatkan kapasitas petani dalam melakukan antisipasi terhadap perubahan iklim.
Dalam kasus desa Nunuk, ilmuwan memberikan informasi iklim untuk membantu petani dalam menentukan awal masa tanam padi.
Ketahanan sosial kolektif
Umumnya, secara individu, petani tidak memiliki kemampuan adaptasi menghadapi perubahan iklim karena faktor ekonomi dan akses pengetahuan yang terbatas.
Namun, ketika mereka beralih kepada kemampuan belajar secara kolektif untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang praktis untuk meningkatkan keterampilan, misalnya mengikuti Warung Ilmiah Lapangan, maka daya tahan mereka terhadap perubahan iklim meningkat.
Ketahanan sosial secara kolektif ini yang membuat petani mampu menghadapi perubahan iklim.
Berdasarkan penuturan para petani, kejadian gagal panen sudah jarang terjadi di daerah mereka.
Tahun 2016-17, mereka sempat mengalami gagal panen, tetapi ini disebabkan oleh petani di luar desa Nunuk yang melakukan percepatan tanam padi selama 3 kali dalam setahun.
Alhasil, hama wereng batang coklat juga menyerang lahan sawah mereka, dan seluruh kabupaten Indramayu.
Kebijakan tanam 3 kali dalam satu tahun adalah salah satu kebijakan nasional untuk meningkatkan produksi beras nasional sebanyak 1,7 juta ton setahun dengan luas areal 116 ribu hektar.
Modal kapital sosial petani desa Nunuk yaitu partisipatif dalam tindakan kolektif juga mencegah kejadian gagal panen dan memperkuat adaptasi petani menghadapi perubahan iklim.
Ketahanan sosial merupakan suatu konsep yang menunjukkan bagaimana aktor-aktor sosial yang bergantung kepada sumber daya alam, seperti petani, dapat menciptakan pilihan adaptasi dari sumber daya komunitas.