Menu Close
Kerendah hatian yang autentik mungkin langka diantara calon untuk posisi CEO. www.shutterstock.com

Sulit menemukan CEO rendah hati. Ini alasannya

Kerendahan hati adalah karakteristik terkini di kalangan mereka yang berpengaruh. Mulai dari politisi, eksekutif, hingga artis papan atas.

Gagasan tentang CEO rendah hati adalah penyimpangan romantis dari jagoan korporat serakah yang mementingkan diri sendiri. Hampir bisa dipastikan, ketika dihadang kesulitan, para CEO rendah hati akan mengorbankan kepentingan mereka demi maslahat yang lebih besar.

Berbagai studi meneguhkan anggapan bahwa pemimpin rendah hati adalah pemimpin yang paling bersahaja, stabil secara emosi, dan mau belajar. Tidak mengherankan, kecil kemungkinan mereka memperlihatkan sifat-sifat mengagungkan diri seperti narsisme.

Barangkali yang paling signifikan adalah temuan bahwa perusahaan dan tim yang dipimpin oleh individu lebih rendah hati memperlihatkan kinerja lebih bagus. Tetapi, walaupun kerendahan hati bagus untuk bisnis, sulit sekali bagi para CEO untuk benar-benar rendah hati.

Kesuksesan menyingkirkan kerendahan hati

Salah satu kekuatan khas para pemimpin rendah hati adalah kesadaran diri—keyakinan pada kemampuan mereka diiringi penilaian diri akurat atas keterbatasan mereka. Namun, pada kenyataannya orang sering melebih-lebihkan keunggulan mereka seraya mengecilkan keterbatasan mereka.

Misalnya, temuan penelitian yang sering muncul adalah orang merasa dirinya lebih baik dari rata-rata orang. Lebih pintar, lebih menarik, bahkan pengemudi yang lebih jago. Para CEO bukan perkecualian, bahkan mereka lebih berisiko melebih-lebihkan kekuatan mereka.

Alasan utamanya adalah para CEO—sebagai produk sampingan kesuksesan karier mereka—sangat percaya diri. Entah CEO itu meniti dari anak tangga terbawah korporat, entah dia adalah CEO selebriti yang ditunjuk ke posisi itu, dia harus berhasil menyingkirkan orang-orang percaya diri dan cakap lainnya untuk mendapatkan posisi itu.

Kepercayaan diri yang diperoleh dengan kesuksesan karier sangat penting artinya dalam memimpin sebuah organisasi. Bagaimana pun juga, kesuksesan adalah pedang bermata dua. Rangkaian kesuksesan karier yang panjang bisa membuat CEO menilai terlalu tinggi kekuatan mereka tanpa mengindahkan peran faktor-faktor lain, seperti keberuntungan, dalam pencapaian mereka.

Kepercayaan diri berlebihan semacam itu bahkan bisa mengancam organisasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa para CEO yang menilai kemampuan mereka terlalu tinggi cenderung membayar lebih banyak untuk akuisisi, mengambil risiko yang tidak perlu, menghasilkan produk-produk baru yang gagal, dan menunjukkan kinerja perusahaan yang tidak stabil.

Bertindak ‘layaknya seorang CEO’

Jika menemukan seorang CEO yang benar-benar rendah hati adalah hal yang sulit, maka melihat profil kepribadian orang yang ingin menjadi CEO membuat halnya jadi tambah rumit.


Baca juga: Empat pelajaran dari Paradise Papers tentang bisnis global dan elite politik


Penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan tertentu menarik orang dengan kepribadian spesifik. Para perekrut pada akhirnya mengandalkan penilaian, sering kali subjektif, tentang bagaimana kepribadian seorang kandidat sesuai dengan pekerjaan dan organisasi.

CEO cenderung mencetak skor lebih tinggi daripada orang kebanyakan dalam hal atribut-tribut kepribadian seperti orientasi pencapaian, ambisi, ketegasan, preferensi risiko. Individu-individu dengan sebagian, atau kombinasi, sifat-sifat itu mungkin lebih piawai dalam berpura-pura memenuhi kriteria ideal untuk sebuah peran spesifik.

Misalnya, berbagai studi menunjukkan bahwa orang-orang narsistik sangat mahir tampil karismatik pada kesan pertama. Karisma sendiri sudah lama dianggap sebagai karakteristik yang diinginkan dari CEO. Oleh karena itulah CEO yang dipandang karismatik menerima gaji lebih tinggi.

Dengan demikian, kerendahan hati sejati menjadi karakter kepribadian yang langka di kalangan kandidat untuk posisi CEO.

Yang menghambat untuk memimimpin dengan kerendah hatian

CEO rendah hati menekankan kepemimpinan sebagai aktivitas bersama dan aktif meminta saran orang lain. Pendekatan ini bisa berhasil untuk keputusan-keputusan yang lebih matang dan analitis, tetapi mengorbankan kecepatan.

Perusahaan-perusahaan berkinerja tinggi sering kali dicirikan dengan kemampuan membuat keputusan dengan cepat. Pada kenyataannya, beberapa bukti menunjukkan bahwa semakin narsistik CEO semakin cepat dia membuat keputusan subjektif, misalnya, mengenai pengadopsian teknologi baru.

CEO juga diharapkan memberikan ramalan tepat tentang masa depan yang tidak pasti. Meski begitu, saat menghadapi ketidakpastian para manajer sering membebek mayoritas, dan perusahaan-perusahaan pada akhirnya saling meniru. Berbeda dengan CEO rendah hati; berkat kesadaran diri mereka, mereka lebih mungkin mengeluarkan nasihat yang lebih realistis yang berbeda dari optimisme kolektif.

Biar bagaimanapun, para analis cenderung mengutamakan ramalan optimistis. Oleh karena itulah CEO rendah hati bisa jadi “dihukum” karena menyampaikan ramalan-ramalan yang lebih konservatif, meskipun itu lebih realistis.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa para profesional paripurna berpotensi menjadi lebih sadar diri pada tahapan-tahapan belakangan karier mereka. Jika memang demikian halnya, maka sebagian CEO bisa menjadi semakin rendah hati ketika mereka mendekati masa pensiun.

Meski begitu, keunggulan yang dianggap melekat dengan usia dan pengalaman itu bisa dimentahkan oleh kecenderungan-kecenderungan lain yang muncul selama fase belakangan karier. Misalnya, para CEO yang mendekati masa pensiun memiliki kecenderungan alamiah untuk mengurangi investasi dalam inovasi dan mereka yang menjabat lebih lama cenderung terlalu menentang perubahan.

Melengkapi organisasi dengan atribut-atribut kepemimpinan yang tepat sangatlah penting bagi kesuksesan. Kerendahan hati adalah komoditas berharga, tetapi langka, di jajaran puncak eksekutif.

Tetap benar-benar rendah hati di sepanjang tahapan-tahapan progresif pencapaian tingkat tinggi adalah perkara sulit bagi para CEO. Mereka yang sejatinya rendah hati, pada akhirnya, akan menghadapi tantangan-tantangan tersendiri yang bisa mengalahkan keunggulan kerendahan hati mereka.

Kerendahan hati terancam menjadi jargon kepemimpinan terbaru yang akan segera lewat. Organisasi-organisasi yang berhasil mendapatkan seorang CEO dengan kerendahan hati autentik, bagaimanapun juga, mungkin memang beruntung.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now