Menu Close
Vokalis grup band Coldplay, Chris Martin beraksi dalam konser di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, akhir November lalu. (M Risyal Hidayat/Antara)

Tak hanya Coldplay, konser ramah lingkungan bisa Indonesia wujudkan dengan 3 langkah ini

Konser Coldplay pada November lalu menyadarkan kita bahwa Jakarta bisa menjadi tuan rumah bagi konser ramah lingkungan.

Konser atau festival musik memiliki dampak lingkungan yang serius. Di Inggris, organisasi pegiat lingkungan Powerful Thinking menghitung bahwa konser setiap tahunnya menghasilkan 16 ribu ton sampah yang tidak dapat di daur ulang.

Konsumsi energi sangat besar untuk tata suara, tata cahaya, maupun transportasi penampil dan para pengunjung selama pertunjukkan juga buruk bagi lingkungan. Analisis lembaga nirlaba pegiat pertunjukan ramah lingkungan, Greener Festival melaporkan, rata-rata satu konser bisa menghasilkan 500 ton karbon. Kontributor emisi terbesarnya adalah konsumsi energi tempat pertunjukan (34%) dan transportasi pengunjung (33%).

Sayangnya, aspek ini belum banyak jadi perhatian para pembuat kebijakan di Indonesia.

Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) mencatat ada kurang lebih 100 konser musik di Indonesia pada 2022, dan diprediksi meningkat dua kali lipat pada 2023.

Momen konser Coldplay yang menonjolkan komitmen dan upaya ramah lingkungannya mesti menjadi wake-up call bagi Indonesia maupun Pemerintah Jakarta–tempat kebanyakan konser berskala besar dilaksanakan–untuk membuat terobosan agar konser-konser yang diselenggarakan semakin ramah lingkungan.

Ketiadaan aturan konser ramah lingkungan

Indonesia memiliki beberapa aturan di tingkat pusat ataupun daerah terkait penyelenggaraan konser. Di antaranya, Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No. KM.103/UM.201/MPPT-91 tentang Usaha Jasa Impersiat yang mengatur bisnis hiburan. Ada juga Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.

Di Jakarta, ada Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2015 tentang Pajak Hiburan, Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah Yang Berketahanan Iklim.

Sayangnya, dari semua aturan itu belum ada kewajiban maupun standar yang ketat untuk penyelenggaraan konser melakukan pengurangan emisi, mengurangi penggunaan plastik maupun mendaur ulang sampah.

Padahal, standar penyelenggaraan konser ramah lingkungan sudah banyak dikembangkan. Misalnya, terdapat standar internasional ISO20121 sebagai standarisasi aspek keberlanjutan dalam penyelenggaraan acara (standar ini sedang dalam perbaikan).

Undang Undang Kepariwisataan Indonesia pun mengamanatkan agar pariwisata dijalankan dengan prinsip memelihara kelestarian lingkungan.

Indonesia juga sudah menandatangani Glasgow Declaration Climate Action in Tourism, komitmen global untuk membuat rencana pengurangan emisi dari sektor pariwisata. Artinya, dalam rangka memenuhi komitmen ini, Indonesia perlu melakukan intervensi lebih lanjut agar penyelenggaraan konser bisa lebih ramah lingkungan.

Tiga langkah intervensi

Indonesia perlu memperbaiki aturan penyelenggaraan konser agar sejalan dengan perkembangan terkini, komitmen dan target global untuk konser lebih ramah lingkungan.

Untuk ini, Pemprov DKI Jakarta memiliki peran yang strategis sebagai ibu kota dan wajah pariwisata Indonesia. Harapannya, langkah Jakarta menjadi cerminan dan dorongan untuk daerah lainnya melakukan penguatan aturan konser ramah lingkungan.

Untuk penyelenggaraan konser, Pemerintah Jakarta setidaknya dapat melakukan intervensi pada tiga hal.

1. Mengurangi emisi transportasi penonton

Untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi pengunjung, Pemprov DKI Jakarta perlu menetapkan area bebas kendaraan bermotor, memperpanjang jam layanan transportasi publik, dan memperluas jangkauan layanan transportasi publik di sekitar area konser. Aturan ini bisa menjadi rekayasa sosial agar pengunjung lebih memilih moda transportasi yang ramah lingkungan.

Hal serupa sudah dilakukan saat konser Coldplay. Kawasan Gelora Bung Karno (GBK) ditetapkan sebagai zona bebas kendaraan bermotor, terbatas hanya boleh untuk panitia dan tenant. Kebijakan ini ‘memaksa’ pengunjung memanfaatkan transportasi publik atau berhadapan dengan konsekuensi biaya parkir mahal di luar GBK.

Beberapa entitas bisnis memanfaatkan hal ini dengan baik. Misalnya restoran Hai Di Lao, menyediakan shuttle bus gratis untuk para pengunjung konser yang mau makan di restorannya.

Pemerintah Jakarta juga menyurati operator MRT dan TransJakarta untuk memperpanjang jam layanan untuk mengakomodasi pergerakan penonton saat meninggalkan lokasi konser.

Ketentuan ini sebaiknya tidak hanya untuk konser Coldplay sebagai musisi yang memang menaruh perhatian pada isu lingkungan dalam penyelenggaraan turnya, tetapi menjadi aturan penyelenggaraan konser secara umum, terutama yang berskala besar.

2. Pedoman pengurangan emisi dan sampah

Pemerintah Jakarta perlu menyusun pedoman pengurangan emisi dan pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan konser, dan menetapkan mandat daur ulang sampah.

Strategi menyusun ‘pedoman’ ini umum dilakukan institusi pemerintah. Saat masa pemulihan pandemi, ada Panduan Pelaksanaan Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian Lingkungan di Penyelenggaraan Kegiatan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pedoman ini dapat menjadi acuan bagi promotor untuk menyusun standar penyelenggaraan acaranya.

3. Kewajiban pengelolaan sampah dan pengurangan emisi

Pemerintah Jakarta dapat mewajibkan promotor memiliki prosedur operasional standar (SOP) pengelolaan sampah dan pengurangan emisi serta mengawasi pelaksanaannya.

SOP ini penting untuk menunjukkan sebesar apa komitmen promotor untuk mengalokasikan sumber daya maupun pertimbangan anggaran ke dalam perencanaan acara. Adanya SOP juga mendorong promotor melakukan penilaian mandiri terhadap dampak dari konser mereka dan melakukan inovasi.

Praktik ini sudah jamak dilakukan di dunia. Contohnya, grup musik Coldplay dan pengelola konser Glastonbury di Inggris memiliki Sustainability Consultant (konsultan keberlanjutan) untuk mengukur dan mengendalikan dampak lingkungan dari acara mereka.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,000 academics and researchers from 5,058 institutions.

Register now